Kamis, 25 April 24

Muchtar E Harahap: Petani Miskin Jawa Tidak akan Menimbulkan Bencana Alam

Muchtar E Harahap: Petani Miskin Jawa Tidak akan Menimbulkan Bencana Alam
* Peneliti Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS), Muchtar Effendi Harahap.

Jakarta, Obsessionnews.com – Kebijakan perhutanan sosial di Pulau Jawa kini diperkuat regulasi Peraturan Menteri  Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di wilayah Kerja Perum Perhutani.

Jokowi
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melakukan peninjauan ke lokasi Perhutanan Sosial di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Senin (6/11/2017).

Peneliti Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS), Muchtar Effendi Harahap, mengungkapkan, Permen LHK P.39/2017 ini antara lain untuk menyukseskan pengentasan kemiskinan masyarakat atau yang petani tinggal di sekitar dan di dalam wilayah kerja Perhutani di Jawa. Petani miskin mendapat Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) untuk memanfaatkan maksimal 2 Ha tanah hutan yang gundul atau maksimal tegakan 10% dan mangkrak, yang tidak dikelola Perhutani. Masa waktu IPHPS 35 tahun, dievaluasi 5 tahun sekali.

“Jika pemegang IPHPS tidak melaksanakan kewajiban, maka Pemerintah mengambil kembali tanah hutan tersebut,” kata Muchtar ketika dihubungi Obsessionnews.com, Kamis (9/11/2017).

Di Jawa Barat terdapat beberapa warga negara dari  kelas menengah atas yang mengkritik dan bahkan mengajukan permohonan uji materiil di Mahkamah Agung agar Permen LHK No.P39/2017 itu dibatalkan, atau tidak berlaku.  Tentu saja para pemohon ini dengan beragam alasan dan kepentingan baik pribadi maupun kelompok. Pengkritik mengklaim pelaksanaan Permen LHK No. P.39/2017 akan menimbulkan banyak bencana alam.

“Klaim pengkritik ini salah, mengada-ada, prasangka, apriori, ahistoris dan fiksi. Pengkritik  memprediksi kebijakan perhutanan sosial di Jawa akan merusak lingkungan alam dan pada gilirannya menyebabkan terjadinya bencana alam. Penyebab utama adalah rakyat miskin penerima IPHPS tidak cakap. Pengkritik  mencitrakan dirinya adalah orang  yang cakap dalam mengelola atau memanfaatkan lahan hutan. Kerangka berpikir diskriminatif telah mewarnai kritik dan penolakan atas kebijakan perhutanan sosial di sekitar wilayah kerja Perum Perhutani,” tandas Muchtar.

Apakah petani miskin yang tak cakap mengelola hutan, lalu otomatis merusak alam dan karenanya timbulkan bencana alam? Alumnus Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1986 menjawab: pasti tidak!

Muchtar menegaskan Permen LHK No. P.39/ 2017 menetapkan IPHPS diberikan pada areal hutan tutupan lahan terbuka atau tegakan hutan kurang atau sama dengan 10%, secara terus menerus selama 5 tahun atau lebih. Areal hutan terbuka itu akan ditanam kembali lewat kegiatan perhutanan sosial disertai monitoring dan evaluasi (monev), melibatkan pendampingan dalam hal permohonan, pemanfaatan, penyuluhan, teknologi, akses pembiayaan dan pemasaran.

Pengkritik mengklaim petani miskin pemegang IPHPS yang tidak cakap akan menjadikan hutan Indonesia rusak dan menimbulkan bencana.

“Klaim itu tidak logis dan tidak faktual,” tutur Muchtar.

Ia menjelaskan pasal 5, ayat (2) Permen LHK Nomor P. 39/2017  menetapkan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dilaksanakan di hutan produksi. Artinya, pemegang IPHPS tidak boleh usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan lindung.

Selanjutnya pasal 6 menetapkan IPHPS dalam hutan produksi diatur pada lahan efektif untuk produksi dengan pola tanam budidaya tanaman pokok hutan seluas 50%, budidaya tanaman multi guna/Multy Pupose Trees Species (MPTS) seluas 30%, dan budidaya tanaman semusim seluas 20%.

“Maknanya implementasi Permen LHK No.P.39/2017 akan menyebabkan pemegang IPHPS melakukan budi daya tanaman pokok hutan seluas 50%. Hal ini berarti kondisi lingkungan hutan wilayah kerja semakin baik, bukan semakin buruk. Justru kalau tidak dilaksanakan Permen LHK No. P.39/2017 ini dengan kondisi tegakan hanya sama atau kurang 10 % atau juga gundul, kondisi lingkungan semakin buruk dan dapat menimbulkan bencana alam seperti banjir,” ujar Muchtar.

Untuk hutan lindung, pola tanam yang harus dilaksanakan pemegang IPHPS (Pasal 7) yakni pertama,  tanaman kayu non fast growing species untuk perlindungan tanah dan air seluas 20%. Kedua, tanaman multi guna /MPTS seluas 80%. Ketiga, tanaman di bawah tegakan berupa tanaman selain jenis umbi-umbian dan/atau tanaman lainnya yang menyebabkan kerusakan lahan.

“Ketentuan ini harus dinilai berdasarkan kondisi eksisting hutan lindung yang hanya memiliki tegakan kurang atau sama dengan 10% atau juga gundul. Jadi, angka 20% tanaman kayu non fast growing species bermakna mendapatkan dampak positif sebesar minimal 20% kayu non fast growing,” kata Muchtar menjelaskan.

Ia menambahkan, pengkritik mungkin membayangkan  kondisi eksisting hutan lindung dimaksud penuh tegakan dan masih normal sebagai hutan lindung.

“Permen LHK Nomor P.39 bukan menyebabkan bencana alam, tapi justru memperbaiki kondisi lingkungan wilayah kerja menjadi lebih baik dan mengurangi potensi bencana alam.  Tidak boleh dibayangkan pemegang IPHPS menebang tanaman kayu yang sudah ada di hutan lindung atau hutan produksi penuh tanaman kayu,” tandasnya.

Lebih-lebih lagi ketentuan IPHPS dalam hutan produksi mengharuskan budidaya tanaman pokok hutan seluas 50%, budidaya tanaman multiguna seluas 30%, budidaya tanaman semusin seluas 20%. Sedangkan IPHPS pada hutan lindung, pola tanamnnya adalah 20% tanaman kayu untuk perlindungan tanah dan air, tanaman multi guna 80%.

“Apabila program ini berjalan baik, besar kemungkinan meletakkan dasar Pulau Jawa dari pulau padi menjadi pulau buah-buahan,” tuturnya optimis.

Muchtar menduga tim hakim Mahkamah Agung akan menolak permohonan para pengkritik, karena argumentasi yang mereka ajukan tanpa data, fakta tidak faktual dan angka, dan juga tidak logis.

“Prediksi dan opini pengkritik mengada-ada,  mencari-cari alasan. Masyarakat atau petani miskin yang hidup di sekitar dan di dalam hutan tidak sebodoh atau serendah diperkirakan pengkritik,” tegas Muchtar.

Ia menambahkan, bisa jadi masyarakat atau Petani Miskin ini lebih cakap dalam mengelola hutan ketimbang pengkritik yang sesungguhnya bukan petani, tetapi penikmat rente, tidak pro rakyat miskin di Pulau Jawa, termasuk di Jawa Barat. (arh)

 

Baca Juga:

Perhutanan Sosial Madiun:  Pemanfaatan Lahan Hutan Negara Untuk  Pemerataan Ekonomi

Peneliti NSEAS: Tidak Ada Tumpang Tindih dalam Kebijakan Perhutanan Sosial

Kunjungi Muara Gembong, Presiden akan Tebar Perdana Udang di Tambak Perhutanan Sosial

Dampak Positif Kebijakan Perhutanan Sosial Terhadap Kesejahteraan Petani Miskin di Jawa

Petani Miskin Lawan Penikmat Rente Soal Kebijakan Perhutanan Sosial di Pulau Jawa

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.