Jumat, 29 Maret 24

Breaking News
  • No items

Mozaik Inspirasi Tokoh: Fahmi D. Saifuddin Sangat Menghargai Silaturahim

Mozaik Inspirasi Tokoh: Fahmi D. Saifuddin Sangat Menghargai Silaturahim

Oleh: M Fuad NasarPlt Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf atau Konsultan The Fatwa Center Jakarta)

 

Suatu hari saya menghubungi telepon rumah kediaman mantan Menteri Agama almarhum K.H.Saifuddin Zuhri. Maksud saya ingin ketemu dengan Ibu Solichah Saifuddin. Waktu itu saya baru selesai kuliah di Padang. Saya ingin menyambung tali silaturahim ayah saya almarhum H.S.M.Nasaruddin Latif dengan keluarga almarhum K.H. Saifuddin Zuhri. Kedua tokoh itu bersahabat cukup dekat. Ketika ayah saya meninggal dunia, K.H. Saifuddin Zuhri dan Ibu Solichah Saifuddin datang melayat.

Suara dari seberang menjawab, “Ibu Saifuddin sudah meninggal. Saya Fahmi, putranya.” Saya lalu berkenalan dengan Pak Fahmi. Biasanya kalau kita memperkenalkan diri dan ingin bertemu seseorang, apalagi orang yang terpandang di masyarakat, umumnya pasti ditanya maksud dan tujuannya. Tetapi yang saya alami ketika itu sesuatu yang berbeda.

Putra sulung K.H. Saifuddin Zuhri itu sangat menghargai silaturahim. Saya diminta mampir ke kantornya, gedung Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Semenjak itu saya akrab dengan Pak Fahmi yang nama lengkapnya dr. H. Fahmi Dja’far Saifuddin, MPH, atau biasa disingkat Fahmi D. Saifuddin. Saat itu dia menjabat sebagai Asisten II Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Bidang Agama, Kesehatan, KB, Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Fahmi Saifuddin menjadi Asisten Menko sejak periode Menko Kesra Soepardjo Roestam dan selanjutnya Menko Kesra Ir. H. Azwar Anas. Jabatan Asisten Menko kini berubah menjadi Deputi Menko.

Saya dan Pak Fahmi bertemu dalam semangat melanjutkan silaturahim orang tua kami. Orang tua kami hidup di zaman yang sama, mereka dikenal sebagai ulama dan tokoh masyarakat Islam. Ayah Pak Fahmi seorang aktivis dan Sekjen PBNU,  politisi, anggota DPA-RI, menteri, dan anggota DPR-RI, sementara itu ayah saya pernah menjadi anggota DPRD Kotaprapaja Jakarta Raya, birokrat, pemrakarsa organisasi penasihatan perkawinan BP4, anggota MPKS (Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’, Kementerian Kesehatan), Deputi Ketua BKKBN yang pertama serta Guru Besar Istimewa Pusat Rohani Islam TNI Angkatan Darat.

Orang tua kami tidak memilih-milih teman karena kesamaan organisasi atau gerbong politik. Ayah saya datang dari lingkungan organisasi Muhammadiyah dan Masyumi, bersahabat karib dengan tokoh-tokoh NU dan lainnya. Di antara sahabat karibnya dari kalangan tokoh NU yang saya tahu ialah K.H. Saifuddin Zuhri dan K.H.M. Dachlan yang keduanya pernah menjabat Menteri Agama. Sahabat ayah saya berasal dari berbagai kalangan tanpa terkotak-kotak dalam organisasi, suku dan golongan. Saya kira itulah contoh baik yang diwariskan kepada kami, generasi penerus. Persatuan dan persaudaraan dalam membangun dan memajukan umat tidak boleh direduksi dalam kotak-kotak organisasi dan golongan.

Pak Fahmi seorang yang respectfully terhadap orang lain. Sikapnya selalu ramah, hangat dan bersahabat. Kepribadian yang humble, sederhana dan rendah hati, membuat setiap orang yang berinteraksi dengannya merasa dekat dan merasa memiliki kedekatan pribadi. Pak Fahmi sangat takzim kepada orang tuanya yang telah berpulang. Saya membaca di sebuah majalah yang menceritakan hampir setiap Jumat pagi dalam perjalanan ke kantor dari rumahnya Perumahan Dosen UI di Ciputat, Fahmi Saifuddin menyempatkan berziarah ke makam orang tuanya di TPU Tanah Kusir.

Dalam satu perbincangan dengannya Pak Fahmi berkata, ayahnya K.H. Saifuddin Zuhri menulis buku memoar Berangkat Dari Pesantren, ayah mertuanya K.H.A. Sjaichu menerbitkan buku biografi Kembali Ke Pesantren. Kalau saya membikin buku, kata beliau, mungkin judulnya, “Selama Di Pesantren”. 

Setahu saya beliau tidak sempat mewujudkan keinginannya menulis memoar.

Suatu kali saya mengobrol dengan Ali Zawawi, Sekretaris Yayasan Saifuddin Zuhri. Menurut Ali Zawawi yang cukup lama bergaul dengan Pak Fahmi, “pesantren” bagi Fahmi Saifuddin memiliki makna yang luas. Johns Hopkins University Amerika Serikat adalah juga “pesantren” baginya.

Saya pernah diberi buku yang dibubuhi tanda tangan Pak Fahmi dan disertai dengan kata-kata, “Dihadiahkan untuk adikku Fuad Nasar. Semoga bermanfaat. Marilah kita saling mendoakan.” Dalam sebuah suratnya kepada saya dengan tulisan tangan juga ditutupnya dengan kata-kata yang menyejukkan, “Mari kita saling mendoakan.”

Suatu ketika saya diundang untuk hadir di kediaman almarhum orang tuanya yang menjadi kantor Yayasan Saifuddin Zuhri di Jalan Darmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Waktu itu sedang ada kegiatan Penataran Peningkatan Kemampuan Guru, sekitar tahun 1993. Saya merasa tersanjung Pak Fahmi memperkenalkan diri saya, putra dari salah satu sahabat K.H. Saifuddin Zuhri, di depan forum yang dihadiri para guru. Yang menghubungi saya meneruskan pesan Pak Fahmi waktu itu ialah Lukman Hakim Saifuddin. Mungkin maksudnya agar saya juga berkenalan dengan Mas Lukman. Dari persahabatan dengan Pak Fahmi Saifuddin, saya kenal dengan adik bungsunya, Lukman Hakim Saifuddin, yang sekarang menjadi Menteri Agama RI.

Sewaktu saya menyusun buku Biografi dan Pemikiran H.S.M. Nasaruddin Latif, interaksi saya dengan Pak Fahmi cukup sering. Saya meminta kesediaan Pak Fahmi untuk dicantumkan namanya sebagai penasihat “panitia buku” bersama K.H. Hasan Basri (Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia) dan Drs. H. Amidhan (Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama RI). Saya diajari bagaimana membuat time table kegiatan penyusunan dan penerbitan buku. Pak Fahmi menuliskan rincian tahapan pekerjaan dan target penyelesaian setiap tahapan pada flip chart, sebagaimana dosen memimpin diskusi dengan mahasiswa di kelas. Kertas lembaran flip chart berisi tulisan tangan Pak Fahmi saya bawa pulang dan simpan sebagai arsip.

Pak Fahmi mengapresiasi usaha saya menerbitkan buku biografi dan pemikiran orang tua yang nyaris gagal karena kendala penerbit. Menko Kesra Azwar Anas memberi kata sambutan pada buku saya yang terbit pada 1996 karena bantuan Pak Fahmi.

Beberapa waktu setelah buku itu terbit Pak Fahmi menyarankan saya ketemu Drs. H.M. Ichwan Syam dan memberi buku tersebut sebagai tanda perkenalan.

“Bilang sama beliau, saya disuruh Pak Fahmi.” ujarnya.

Ichwan Syam kemudian menjadi Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Secara tidak langsung Pak Fahmi mendorong saya agar memperluas silaturahim dan menambah relasi.

Saya ingat betul Pak Fahmi menceritakan dengan perasaan terharu pengalamannya melaksanakan wasiat ayahandanya almaghfurlah K.H. Saifuddin Zuhri  (wafat 25 Februari 1986) untuk mengurus penerbitan naskah memoar Berangkat Dari Pesantren. K.H. Saifuddin Zuhri tidak sempat melihat buku karya terakhirnya itu terbit. Salah satu nasihat Pak Fahmi pada waktu itu, “Lebih baik hampir gagal daripada hampir berhasil.”

Satu ketika Pak Fahmi memperlihatkan kepada saya beberapa foto ulama karismatik pada kalender yang terpasang di ruangannya. Seingat saya Pak Fahmi dengan mata berkaca-kaca mengatakan, “… orang-orang yang telah meninggal itu saya kagumi. Kalau yang masih hidup, jangan dulu, karena bisa saja mereka berubah…”

Saya sering datang menemui Pak Fahmi di kantornya tanpa ada janji, namun beliau selalu menerima saya dengan hangat dan menyediakan waktunya. Kalaupun sedang ada kesibukan, saya dipersilahkan masuk dan menunggu di dalam ruangannya, bukan menunggu di luar.

Dalam buku mengenang Fahmi D. Saifuddin, dokter NU Itu... (editor Lukman Hakim Saifuddin) saya membaca tulisan K.H. Mustofa Bisri melukiskan sosok Fahmi Saifuddin yang serba teratur dan ahli mengatur, bicaranya sesuai jalan pikirannya, sangat teratur, pandai merumuskan masalah dan menjelaskannya serta mencari jalan keluarnya. Semua hal dipikirkannya secara tuntas, tanpa melewatkan aspek-aspek terkecil sekali pun. Semua langkah kegiatan yang ia lakukan terencana dan terarah. Setiap kegiatan disusul dengan kegiatan berikutnya secara tertib dan setiap kali dilakukan evaluasi dengan cermat. Semua rencana dilaksanakan dengan konsekuen. Umumnya kawan-kawan yang bekerja sama dengannya merasa tersemangati oleh perhatiannya, keseriusan, dan cara kerjanya.

Suatu malam, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Fahmi Saifuddin berkendaraan mobil di kawasan Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Tiba-tiba Fahmi menghentikan mobil yang dikendarainya, karena lampu merah menyala. Gus Dur berkomentar, mengapa berhenti, menjelang tengah malam di kawasan itu toh tak ada orang yang menyeberang. Jawab Fahmi sangat menakjubkan, “Kalau kita saja yang dianggap pemimpin oleh masyarakat, melanggar lampu merah, bagaimana kita dapat mengajari masyarakat untuk selalu patuh dengan peraturan?”

Fahmi Saifuddin lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 18 Oktober 1942. Lulus pendidikan dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Meraih gelar Master of Public Health dari The Johns Hopkins University Amerika Serikat. Fahmi Saifuddin terpilih sebagai Dosen Teladan Tingkat Universitas Indonesia (UI) dan Tingkat Nasional tahun 1982. Dia ikut merintis Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, dan menjadi Dekan FKM UI selama 3 periode. Dokter berjiwa sosial itu suka menolong pasien yang tidak mampu semasa buka praktek. Pernah kuliah singkat di University of Michigan dan University of Texas, Amerika Serikat, serta terpilih sebagai President The Asia Pacific Academic Consortium for Public Health.

Sejawatnya di kampus Salemba, Prof. Dr. Sujudi, mantan Menteri Kesehatan, menulis kesannya tentang Fahmi Saifuddin yang pernah menjadi mahasiswanya di FKUI, “Kehadiran Dr. Fahmi di UI telah banyak membantu saya yang kebetulan pada saat itu dipercaya menjabat sebagai Rektor UI selama 2 periode. Dr. Fahmi selalu hadir dan tampil dalam hal UI menghadapi masalah untuk turut memecahkannya. Maka sering beliau disebut oleh teman-teman sejawatnya sebagai trouble shooter.” tulis almarhum Sujudi

“Mengerjakan sesuatu itu jangan setengah-setengah dan harus lillahi ta’ala, kalau enggak, akan rugi sendiri.” begitu nasehat Pak Fahmi kepada putra-putrinya yang saya baca dalam buku mengenang Fahmi D. Saifuddin.

Sewaktu Pak Fahmi meninggal dunia, Minggu 3 Maret 2002 pukul 08.20 WIB dalam perawatan di RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, saya sedang bertugas ke  Arab Saudi. Setelah pulang ke tanah air, saya mendengar kabar wafatnya Pak Fahmi, saya lupa dari siapa, segera saya konfirmasi kepada Lukman Hakim Saifuddin. Hari itu bertepatan diadakan acara memperingati 40 hari wafatnya almarhum, saya mencatat tanggal 15 Juni 2002, di Komplek Perumahan Dosen UI Ciputat Jakarta Selatan, dirangkai dengan peluncuran buku mengenang Fahmi D. Saifuddin yang diterbitkan oleh Yayasan Saifuddin Zuhri.  Saya memerlukan untuk datang pada acara itu. Beberapa hari kemudian saya mengunjungi makam almarhum di TPU Tanah Kusir.

Kenangan yang tak terlupakan adalah sewaktu saya bezuk Pak Fahmi di Paviliun Cendrawasih IV Kamar 5 RSCM Jakarta. Pada waktu saya pamitan mau pulang, beliau mengajak berdoa dan mendoakan saya, membacakan ayat Quran surah Al-Fatihah, yang kami amiin-kan bersama. Pak Fahmi didampingi istrinya Ibu Hj. Mariam Sjaichu Fahmi. Itulah pertemuan terakhir saya dengan Pak Fahmi sebelum beliau dipanggil ke hadirat Allah SWT, berangkat ke alam baka.

Silaturahim dan persahabatan saya dengan Pak Fahmi memberi ilmu dan pengalaman yang berharga. Fahmi Saifuddin salah satu orang baik yang saya kenal dari dekat. Hal itu saya ceritakan kepada adiknya, Mas Lukman Hakim Saifuddin dalam satu kesempatan. Menteri Agama itu berkata, “Ia mentor saya. Sayangnya terlalu cepat pergi…”

Saya terkesan membaca dialog almarhum dengan putranya Anto (Rakhmat Fajar Trianto), sarat dengan inspirasi dan nilai-nilai keteladanan bagi kita semua:

“Pa, temen Papa banyak banget sihemang Papa kenal semua?”

Papa (Fahmi Saifuddin, pen) menjawab, “Temen-temen Papa sekarang ini ada yang dulunya temen-temen Eyang Kakung juga yang Papa nggak kenal baik sebelumnya. Jadi jumlah temen Papa sekarang lebih banyak dari Eyang Kakung. Nah nanti temen-temen Anto juga pasti lebih banyak dari temen-temen Papa kalau Anto meneruskan tali silaturahim ini.”

Semoga Allah SWT menempatkan almarhum dokter Fahmi D. Saifuddin di surga-Nya yang terindah. ***

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.