Selasa, 3 Oktober 23

MK Tunda Sidang UU MD3 yang Digugat PDIP, DPD dan KPK

MK Tunda Sidang UU MD3 yang Digugat PDIP, DPD dan KPK

Jakarta – Nampaknya,  pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tetap saja ogah belajar dari kesalahan terkait Undang Undang (UU) yang digolkannya banyak yang digugat (judicial review) ke Mahkamah Konsitusi (MK) karena tidak sesuai atau bertentangan dengan  amanat konstitusi UUD 1945.

Kini, Undang Undang  Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) terbaru yang telah disahkan DPR RI, digugat oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

PDIP mengajukan permohonan uji materi (judicial review) alias menggugat pasal 84, pasal 97, pasal 104, pasal 109, pasal 115, pasal 121, dan pasal 152 UU MD3 ke MK. Diantaranya, pada ayat 5 Pasal 84 menyebutkan bahwa pimpinan DPR dipilih, bukan menjadi jatah partai politik pemenang pemilu (dalam hal ini PDIP pemenang Pemilu 2014) sebagaimana tertera dalam UU MD3 sebelum direvisi. Ayat 4 Pasal 97, pimpinan Komisi DPR dipilih, bukan dibagi sesuai jatah fraksi seperti sebelumnya. Demikian juga, pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya juga dipilih.

Sedangkan DPD RI mengajukan uji materi 21 pasal pada UU MD3 ke MK. Pasal-pasal itu adalah pasal 71 huruf c, pasal 72, pasal 165, pasal 166 ayat (2), pasal 167 ayat (1), pasal 170 ayat (5), pasal 171 ayat (1), pasal 174 ayat (4), ayat (5), pasal 224 ayat (5), pasal 245 ayat (1), pasal 249 huruf b, pasal 250 ayat (1), pasal 252 ayat (4), pasal 276 ayat (1), pasal 277 ayat (1), pasal 281, pasal 305, dan pasal 307 ayat (2) huruf d.

Ketua DPD RI Irman Gusman, Sabtu (30/8), menyatakan kualitas UU MD3 buruk sekali. Menurut dia, UU MD3 pantas ditolak dan diperbaiki. Selain prosedur pemeriksaan anggota DPR yang lebih rumit, UU MD3 dianggap tidak pro-pemberantasan korupsi karena menghapus kalimat yang melarang anggota DPR menerima gratifikasi. UU tersebut juga menghapus Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR RI dan memberikan kewenangan kepada DPR untuk membahas anggaran hingga satuan tiga.

Sementara itu, KPK menolak UU MD3 yang baru disahkan lantaran UU MD3 tersebut diniali telah mengorupsi kewenangan lembaga lain, termasuk mengorupsi konstitusi. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menolak UU MD3 karena undang-undang tersebut disusun dengan tidak transparan dan tampak terburu-buru. Selain itu, menurut Busyro, penyusunan UU MD3 kurang melibatkan stake holder atau pemegang kepentingan terkait.

KPK juga menganggap undang-undang ini hanya mengakomodasi kepentingan anggota DPR. “Ini suatu undang-undang yang substansinya holistik, sistemik. Itu harusnya membawa konsekuensinya, dilakukan dengan menjaga marwah DPR disusun secara cermat naskah akademiknya, disusun dengan melibatkan semua stake holder secara transparan. Pembahasannya tidak terburu-buru. Yang kami dengar pembahasan dari 8 Juni hingga 8 Juli. Itu berapa hari yang dipakai, berapa jam, dan siapa saja yang diundang? Kesannya tidak begitu transparan,” ungkap Busyro.

Menurutnya, UU MD3 telah mengorupsi kewenangan lembaga lain, terutama penegak hukum seperti KPK, kepolisian, dan Kejaksaan Agung. Undang-undang ini, juga mengorupsi kewenangan DPD dan mengorupsi konstitusi. Busyro mencontohkan proses pembahasan RUU MD3 yang tidak melibatkan DPD secara maksimal. DPD mengaku hanya dilibatkan selama dua jam dalam rapat pembahasan undang-undang tersebut. Padahal, putusan MK pada 27 Maret 2013 memberikan wewenang bagi DPD untuk ikut mengusulkan undang-undang dan ikut dalam pembahasan daftar inventaris masalah (DIM).

Selain itu, lanjut Busyro, ada potensi pelanggaran hak aparat penegak hukum terkait prosedur pemeriksaan anggota DPR yang diatur dalam UU MD3. Pasal 245 ayat 1 UU MD3 memuat ketentuan bahwa penyidik, baik dari kepolisian maupun kejaksaan, harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Namun, dalam Pasal 245 ayat 3 UU MD3 disebutkan bahwa kepolisian, kejaksaan, dan KPK tak perlu izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memeriksa anggota DPR jika (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana, (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, (c) disangka melakukan tindak pidana khusus.

Apabila dalam waktu 30 hari sejak permohonan diajukan tak juga keluar surat izin tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan, pemanggilan keterangan untuk penyidikan baru bisa dilakukan. “Pasal-pasal yang tadi disebutkan itu ada korupsi konstitusi, hak DPD dilanggar, hak aparat penegak hukum dilanggar. Terkait pemeriksaan anggota DPR, dalam waktu 30 hari sudah cukup untuk menghilangkan alat bukti. Hak masyarakat pun sebetulnya dibajak melalui pasal-pasal tersebut. Putusan MK tidak diakomodasi. Ini bentuk pelecehan terhadap MK,” jelasnya.

Lembaga konstitusi yang diketuai Hamzan Zoelva ini pun menggelar sidang perdana uji materi UU MD3, pada Kamis (28/8/2014), yang membahas uji materi UU MD3 dengan nomor perkara 73/PUU-XII/2014 yang dimohonkan oleh PDIP. “Para pemohon memandang penting untuk menunda berlakunya UU 17/2014, terutama Pasal 84, Pasal 104, Pasal 109, PAsal 115, Pasal 121, dan Pasal 152, sampai MK memberi putusan,” kata Kuasa hukum PDIP, Muhammad Asrun dalam sidang uji materi UU MD3 di Gedung MK.

Penundaan tersebut, menurut Asrun, diajukan oleh pihaknya untuk mencegah potensi kerugian konstitusional yang akan dialami oleh pemohon jika UU tersebut diberlakukan pada saat uji materi masih digelar oleh MK. Namun, sidang perdana yang digelar MK tersebut memiliki agenda pembahasan pendahuluan, para pemohon membacakan permohonan di depan majelis hakim dan mendapatkan saran untuk selanjutnya diperbaiki oleh para pemohon. Sidang dipimpin oleh Hakim Arief Hidayat dengan anggota Hakim Patrialis Akbar dan Ahmad Fadlil Sumadi.

Adapun DPD menyoal tentang tidak dilibatkannya dalam proses pembahasan RUU MD3. DPD memang diundang di awal proses pembahasan RUU dan telah menyampaikan DIM, tetapi setelah itu tidak diundang lagi. Terkait permohonan ini, hakim konstitusi, Ahmad Fadlil Sumadi, meminta PDIP mempertegas dimensi kerugian konstitusional yang diderita akibat diberlakukannya UU MD3, misalnya kerugian yang diderita karena tidak dapat menjadi pimpinan DPR.

Sebelumnya, Wakil Ketua Fraksi PDIP Eva Kusuma Sundari menyatakan, pihaknya menyayangkan penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR melalui pengesahan UU MD3 terbaru. Padahal, BAKN dianggap merupakan alat kelengkapan DPR yang paling akuntabel dan berbiaya paling sedikit sekitar Rp 3,7 miliar per tahun.

Namun saat sidang gugatan UU MD3 digelar Kamis (28/8), ternyata belum ada putusan MK, melainkan MK hanya meminta PDIP dan DPD untuk mempertajam dalil-dalil permohonannya terkait pengujian formal UU MD3. Keduanya diminta menguraikan proses pembuatan UU tersebut yang dinilai tidak konstitusional.

“Pengujian formil itu artinya proses pembuatan UU–nya tidak konstitusional. Itu diturunkan dari pasal mana di UUD 1945, lalu didukung fakta empiriknya bagaimana, misalnya (DPD) tidak pernah diajak bicara atau tidak muncul di dalam daftar isian masalah (DIM),” kata Wakil Ketua MK Arief Hidayat saat memimpin sidang panel pemeriksaan pendahuluan uji formil dan masteriil UU 17/2014.

MK menyidangkan lima permohonan pengujian UU 17/2014 dalam dua sidang panel terpisah. Sidang uji materi yang diajukan PDI–P digabung dengan yang diajukan pegiat perempuan, seperti Khofifah Indar Parawansa dan Rieke Diah Pitaloka, karena keduanya mempersoalkan substansi yang hampir sama, yaitu pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR. Setelah itu, MK menyidangkan perkara yang diajukan DPD.

Sembari menunggu sidang lanjutan yang akan digelar MK, Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo yang hadir dalam sidang tersebut, mengungkapkan pihaknya menggugat ke MK karena ingin memperjuangkan sikap politik dan keputusan politik yang telah dibuat rakyat. “Kami sebagai parpol, yang memilih dan yang menentukan kami menang adalah rakyat. Oleh karena itu, pada 2004 kami mendukung Golkar (sebagai pimpinan DPR), 2009 kami mendukung Demokrat (sebagai pimpinan DPR). Mereka adalah partai pemenang, otomatis mendapatkan hak politik dari rakyat sebagai pimpinan DPR,” terangnya.

Sementara kuasa hukum PDIP, Andi M Asrun, mengungkapkan, PDIP sebagai partai pemenang pemilu legislatif (Pileg) 2014 dengan suara 18,9 persen dari total suara sah dan menguasai 109 kursi di DPR sudah seharusnya memegang jabatan ketua DPR. Namun, UU 17/2014 mengatur, ketua DPR tidak langsung otomatis dipegang partai pemenang pileg, tetapi dilakukan berdasarkan pemilihan. Begitu juga dengan pimpinan alat kelengkapan DPR.  (Ars)

Related posts