Selasa, 23 April 24

Miris!! Pengguna Jasa Prostitusi dan PSK Tak Jadi Tersangka

Miris!! Pengguna Jasa Prostitusi dan PSK Tak Jadi Tersangka
* Artis Vanessa Angel (tengah). (foto: fajaronline.com)

Jakarta, Obsessionnews.comNama baik kalangan artis kembali tercoreng di awal 2019. Bagaimana tidak, baru-baru ini dua artis telah terciduk oleh polisi karena diduga terlibat dalam praktik prostitusi online.

Kasus ini muncul setelah anggota Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jawa Timur (Jatim) menangkap dua artis, yakni Vanessa Angel (VA) dan Avriellya Shaqqila (AS) di kamar hotel yang berbeda di Surabaya, Jatim sekitar 12.30 WIB pada Sabtu (5/1/2019).

 

Baca juga:

Sepak Terjang Vanessa di Dunia Artis Sampai Akhirnya Terciduk

Ini Syarat Tersangka Bagi Vanessa Angel, Avriellia Shaqqila, dan R

Selebriti Melacur Seks Lewat Prostitusi Online

Deretan Artis yang Terlibat Kasus Prostitusi Online

Pengungkapan Prostitusi di Kalibata City Tak Pakai Waktu Lama

 

Kedua artis itu terbukti terlibat kejahatan asusila yaitu prostitusi online. Vanessa dan artis berinisial AS ini digerebek di kamar hotel bersama pria bukan pasangan sah di sebuah kamar hotel. Setelah digrebek, keduanya langsung dibawa ke Polda Jatim untuk dimintai keterangan.

Awal terungkap kasus prostitusi online ini berkat laporan masyarakat. Dari laporan itu pihak Polda Jatim segera menindaklanjuti hal tersebut di media sosial.

Polda Jatim awalnya menelusuri akun media sosial jaringan prostitusi online yang diduga melibatkan artis. Anggotanya menyelidiki akun tersebut hingga melacak keberadaan yang bersangkutan bertransaksi prostitusi di salah satu hotel Surabaya. Alhasil, dalam penyelidikan tersebut, dua artis ditangkap saat berada di dalam kamar hotel bersama pria yang bukan suaminya.

Adapun modus operandi prostitusi artis tersebut pihak mucikari menghubungi dua artis itu saat ada pria yang tertarik kepadanya.Terkait lokasi sang mucikari bersama pria hidung belang menyepakati lokasi di sebuah hotel di Surabaya.

Tarif yang dipatokan kedua artis ini berbeda, mencapai puluhan juta rupiah. Tarif kencan artis VA ini rupanya mencapai Rp 80 juta untuk sekali kencan. Sedangkan tarif AS, artis FTV yang juga terciduk bersama dengan Vanessa memiliki tarif sebesar Rp 25 juta untuk sekali kencan.

Selain dua artis, polisi juga amankan dua manajer artis yang diduga sebagai mucikari. Dua mucikari diduga berperan sebagai pelaku penghubung antara pria hidung belang dengan kedua artis ini.

Meski demikian, Polda Jatim melepas Vanessa setelah memeriksanya selama 24 jam. Ia pun berstatus sebagai saksi dan hanya dikenai wajib lapor kepada Polda Jatim.

Polisi baru menetapkan dua orang tersangka dalam kasus prostitusi online yang melibatkan Vanessa dan AS. Keduanya, yang berinisial ES dan TN, diduga merupakan muncikari yang menjadi perantara kedua artis dengan pelanggan mereka.

Nampaknya, kasus ini juga mendapat sorotan dari kalangan pengamat. Seperti dilansir dari BBC News Indonesia pada Senin (7/1). Salah satunya Sosiolog Imam Prasodjo yang menilai, praktik prostitusi yang dilakoni oleh selebriti tercipta sebagai dampak era kapitalisme global.

“Segalanya bisa jadi komoditi, bisa diperjualbelikan, termasuk imaji,” ujar Imam, Minggu (6/1).

Menurut pria kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, 15 Februari 1960 ini, bahwa sosok selebriti yang tidak hanya berpenampilan menarik, tetapi juga punya ketenaran, berpendidikan, dan memiliki karier, memiliki nilai jual yang lebih di mata konsumen bisnis prostitusi. Mereka dianggap terbuai imaji dari sosok tersebut.

“Orang yang menjadi pembeli itu kan ‘wah ini beda nih, artis nih, orang terkenal nih’, segala macam. Jadi, dia bukan hanya orang cantik, tidak berpendidikan, di pinggir jalan yang dia temui, tapi ini ada fantasi nih, yang tentu harganya akan bisa lebih mahal,” tuturnya.

Imaji itulah yang membuat konsumen berduit berani membayar mahal. Logika tersebut diibaratkan Imam seperti seseorang yang membeli jam tangan mewah.

Sementara itu, Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Eva Ahyani Djulfa berpendapat, terdapat masalah klasik terkait penanganan kasus prostitusi. Dengan aturan yang ada saat ini, hanya muncikari yang selalu dijerat hukum oleh jaksa dalam kasus prostitusi ini.

Menurut dia, ada permasalahan yang memang agak klasik kalau dilihat aturan dalam KUHP, baik pasal tentang kesusilaan, pasal 296 misalnya, atau pasal 506 yang dibicara delik pelanggaran, itu semua mengacu kepada larangan tentang perbuatan memberikan fasilitas kepada perbuatan yang sifatnya memberikan sarana untuk dilakukannya prostitusi.

Hal ini yang terjadi pada tahun 2015 dalam kasus prostitusi online berbeda, yang saat itu juga melibatkan nama sejumlah artis. Sang muncikari Robby Abbas, dijatuhi hukuman satu tahun empat bulan penjara setelah terbukti melanggar pasal 296 KUHP tentang kesusilaan. Berkebalikan dengannya, pekerja seks dan klien-kliennya bebas dari segala tuntutan.

Menurut Eva, hal itu karena adanya konteks pencegahan dalam KUHP. “Sebenarnya kalau muncikarinya tidak ada, pelacuran (juga) tidak ada. Gitu, kan?” ungkap Eva.

Meski demikian, sebenarnya aktor lain dalam praktik prostitusi juga bisa terjerat hukum. Konsumen prostitusi bisa dijerat ketika ia menyewa pekerja seks komersial (PSK) di bawah umur. Jika itu yang terjadi, konsumen tersebut bisa dijerat Undang-undang Perlindungan Anak.

Di luar itu, pemidanaan baik konsumen maupun pekerja seks juga bisa dilakukan melalui pasal perzinahan. Itu pun jika ada aduan dari pihak yang merasa dirugikan. Misalnya, kalau istrinya yang melacurkan diri atau kalau suaminya yang menjadi konsumen dari kegiatan prostitusi ini. “Jadi, memang ada kelemahannya di situ, kaitannya dengan delik ini adalah delik aduan,” ujar Eva.

Sementara, terkait ancaman hukuman bagi pelaku perdagangan manusia (human trafficking) adalah 15 tahun penjara. Sementara berdasarkan Pasal 296 KUHP, pelaku diancam hukuman maksimal 1 tahun 4 bulan penjara.

Praktik prostitusi di Indonesia kerap kali masih dianggap sebagai praktik kejahatan jalanan biasa (street crime). Alasannya, istilah human trafficking lebih sering diasosiasikan dalam konteks besar, seperti perdagangan manusia lintas negara. “Padahal dalam konteks lokal  kita juga ada, itu bisa saja, dan jauh ancamannya lebih besar,” pungkasnya.

Lantas sementara ini tak ada pasal yang bisa digunakan menjerat pengguna PSK maupun PSK dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan KUHP hanya bisa digunakan untuk menjerat penyedia PSK/germo/muncikari berdasarkan ketentuan Pasal 296 jo dan Pasal 506 KUHP.

Pasal ini gunanya untuk memberantas orang-orang yang mengadakan bordil atau tempat-tempat pelacuran. Supaya dapat dihukum, harus dibuktikan bahwa perbuatan itu menjadi pencahariannya atau kebiasaannya.

Berikut bunyi kedua pasal tersebut:

Pasal 296

Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

Pasal 506

Barang siapa sebagai muncikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.

Apakah pengguna PSK tidak bisa dijerat hukum?

Tak ada ketentuan khusus mengatur tentang pengguna jasa PSK dalam KUHP. Namun jika pelanggan PSK memiliki pasangan mempunyai pasangan resmi alias pernikahan dan kemudian pasangannya tersebut mengadukan perbuatan pasangannya yang memakai jasa PSK, orang yang memakai jasa PSK tersebut dapat dijerat dengan pasal Perzinahan dalam Pasal 284 KUHP.

Mengenai pasal ini, yang dimaksud dengan zinah adalah persetubuhan yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.

Supaya masuk pasal ini, persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.

Tapi, di beberapa peraturan daerah ada sanksi pidana bagi pengguna PSK. Sebagai contoh adalah Pasal 42 ayat (2) Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Perda DKI 8/2007).

Pasal 42 ayat (2) Perda DKI 8/2007:

Setiap orang dilarang:

  1. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial;
  2. menjadi penjaja seks komersial;
  3. memakai jasa penjaja seks komersial.

Barangsiapa melanggar ketentuan ini, dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500 ribu dan paling banyak Rp 30 juta.

Jadi, ketentuan KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat germo/mucikari/penyedia PSK. Pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pemakai/pengguna PSK diatur dalam peraturan daerah masing-masing. (Poy)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.