Kamis, 25 April 24

Menyusuri “Little Netherlands”

Menyusuri “Little Netherlands”

Semarang, Obsessionnews – Sepasang jembatan bergaya victoria menghubungkan timur dan barat kota yang dulu dikenal sebagai “Outstadt” Jawa Tengah. Tugu-tugu berbentuk obelisk terpancang di pinggir kali. Agak menjorok ke dalam, terpampang siluet kubah besar berdiameter hampir 5 meter persegi. Di bawahnya beberapa pengayuh becak terkantuk-kantuk menunggu penumpang. Gaya bangunan kuno jelas terasa sangat kuat di Kota Lama Semarang yang dijuluki Little Netherlands ini.

Menyusuri Kota Lama Semarang bak memasuki sebuah lorong waktu. Bertebaran bangunan tua, merangsang imajinasi seakan menjadi Meneer Belanda lengkap dengan pipa rokok dan topi demang di kepala. Namun itu semua tak lengkap tanpa kehadiran kaca mozaik yang tertempel rapi bersama ornamen gedung-gedung peninggalan penjajah.

Kota Lama Semarang mempunyai luas wilayah 31 hektar. Luas tersebut sebanding dengan status kota yang menjadi pusat pemerintahan Belanda selama dua abad. Sebagai kota penting di pemerintahan Hindia-Belanda, dibangunlah sebuah benteng bernama Vijfhoek, yang berarti segi lima, untuk memisahkan dengan kaum pribumi.

Jumlah total bangunan 50 buah. Termasuk Jembatan Mberok yang berada di muka Kota Lama. Sebenarnya Jembatan Mberok bernama asli Gouvernementsbrug. Barangkali pengucapan orang pribumi menyebut “Burg” (jembatan, red.) menjadi “Berok”.

Tiap hari ramai orang melewati Jembatan Mberok. Maklum, fungsi vital jembatan adalah untuk mengirimkan komoditas dari pantai ke daratan Semarang. Tahun 1910 jembatan masih terbuat dari kayu, pendek dan terkesan gemuk. Di tengah jembatan terdapat jalur pemisah, sehingga jika ada kapal lewat jembatan akan terangkat. Konon, Laksamana Cheng Ho pernah singgah di jembatan ini.

Sekitar 100 meter ke arah barat, hiruk pikuk orang berbagai daerah berbaris menanti kereta datang di Stasiun Tawang. Siapa sangka ternyata stasiun itu merupakan stasiun kedua tertua di Indonesia. Hingga kini keaslian bangunannya masih terjaga.

Memasuki pintu utama stasiun, sayup-sayup terdengar alunan gamelan. Memang, pihak pengelola menghadirkan suara tembang “Gambang Semarang” sebagai tanda kereta akan datang. Tradisi ini sudah diadakan sejak dahulu kala.

Konstruksi gedung dibuat sangat apik. Sloth-Blauwboer, arsitek yang merancang Stasiun Tawang, sengaja mendatangkan bahan baku langsung dari negeri Kincir Angin berkualitas nomor wahid. Itu semua dapat dilihat dari keawetan bangunan yang kokoh berdiri selama lebih dari 96 tahun.

Arsitektur kolonial mungkin sebutan yang cocok disematkan. Keanggunan stasiun berupa kubah menjadikan ciri tersendiri dari stasiun lain. Adanya kanopi di bagian depan dan aksen lengkungan semakin menambah keindahan bangunan.

Bersebelahan dengan Stasiun Tawang terdapat polder Tawang Semarang. Polder Tawang Semarang salah satu daya tarik wisata di Semarang. Tak jarang di sore hari banyak warga yang berjalan santai. Terlebih lagi saat malam Minggu banyak pasangan muda-mudi yang nongkrong di kawasan ini. Selain itu seringkali polder Tawang dijadikan lokasi sesi foto pre wedding karena panoramanya yang indah saat sore hari menjelang matahari terbenam.
Polder tersebut berfungsi untuk menampung limpahan air ketika banjir melanda Semarang. Begitu juga saat air rob datang, sistem irigasi menyatukan seluruh aliran air menuju ke polder Tawang.

Agak ke kanan sedikit, tepatnya di sisi timur polder terdapat pabrik rokok Praoe Lajar. Pabrik ini patut diacungi jempol, karena masih bertahan lebih dari satu abad. Pertama kali dibangun, pabrik rokok ini merupakan sebuah kantor milik Maintz & co, perusahaan yang mengembangkan jaringan listrik milik Hindia-Belanda. Hingga akhirnya bangkrut dan dibuat pusat pengolahan tembakau.

Kondisi pabrik tersebut masih sangat terawat. Gradasi warna dan bentuk bangunannya dipertahankan sesuai aslinya. Di pelataran tertancap lampu-lampu jalan yang berbaris cantik. Jalanan berbahan batako menambah keeksotisan lingkungan ini.

Berlawanan arah dari pabrik Praoe Lajar, yakni di bagian barat polder, ada sebuah gedung berbentuk unik. Dua buah patung semut raksasa merangkak di atap. Sejarah bangunan ini sangat lekat dengan kegiatan seorang mata-mata Jerman, Margaretha Geertruida atau lebih dikenal dengan nama panggung Mata Hari. The Greatest Woman Spy pernah tinggal dan berpentas di Marabunta selama lima tahun. Di samping sejarah, bagian dalam gedung terbilang menarik. Bar dan panggung didesain layaknya gedung pentas zaman penjajahan Belanda. Sistem dinding menyangga dan pasangan bata rollag di atas ambang pintu maupun jendela memperkuat kesan jadul nan antik.

Berkunjung ke Kota Lama rasanya kurang lengkap jika belum menjajaki Gereja Blenduk. Berbeda dengan bangunan lain, landmark Semarang ini terlihat sangat menonjol. Dua kubah megah berbentuk mblenduk atau bulat, menjadi asal mula sebutan gereja yang bernama asli Gereja GPIB Immanuel. Gereja ini mempunyai dua buah menara yang bagian dasarnya berbentuk bujur sangkar, namun di atasnya berwujud setengah lingkaran. Sampai sekarang kegiatan jemaat gereja masih dilakukan tiap hari minggu.

Interior di dalamnya sangat memukau. Lampu gantung dari kristal  sanggup menawan mata. Kursi-kursi dan bangku ala Belanda semuanya masih asli seperti dulu. Sebenarnya terdapat juga piano Barok, namun karena sudah rusak piano itu tidak dapat dimainkan.

Persis di sebelah Gereja terdapat Taman Srigunting yang teduh. Tiap akhir pekan, bazar barang antik diadakan di taman ini. Berbagai macam perkakas antik diperdagangkan, mulai dari gelas kuno sampai motor perang.

Dan yang tak kalah menggoda adalah puluhan manusia berseragam Belanda bersepeda lalu lalang. Mereka tergabung dalam komunitas sepeda antik yang dengan ramah melayani pengunjung bila ingin berfoto bersama. (Yusuf Isyrin Hanggara)

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.