Sabtu, 20 April 24

Menggugat Definisi dan Perhitungan Tax Ratio Pemerintah Jokowi

Menggugat Definisi dan Perhitungan Tax Ratio Pemerintah Jokowi

Oleh: Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuanan

 

Berawal dari pidato Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2018 tentang RUU APBN dan Nota Keuangan 2019, disebutkan di dalamnya taget besaran tax ratio 2018 dan 2019. Kata Presiden,

Dengan kebijakan itu, melihat perkembangan positif penerimaan perpajakan, didukung momentum pertumbuhan ekonomi, diharapkan tax ratio tahun 2019 dapat mencapai 12,1 persen terhadap PDB, naik dari perkiraan di tahun 2018 sebesar 11,6 persen.

Karena ada suara-suara yang meragukan angka-angka tersebut, kami pun coba memeriksa kebenaran angka besaran tax ratio seperti yang disebutkan oleh Presiden tersebut.

Menggugat Definisi Luas Tax Ratio

Pemerintah Indonesia saat ini memiliki dua definisi tax ratio. Yang pertama adalah tax ratio dalam arti sempit, yaitu rasio penerimaan pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Definisi ini adalah definisi yang universal dan diterima di banyak negara di Dunia.

Yang kedua adalah tax ratio dalam arti luas, yaitu rasio penerimaan pajak terhadap PDB ditambah dengan penerimaan (PNBP) dari sumber daya alam (SDA) migas dan minerba.  Definisi ini baru diperkenalkan pada APBN 2016, diusulkan oleh Menkeu (saat itu) Bambang Brodjonegoro dan disetujui oleh Badan Anggaran DPR RI.

Artinya definisi luas tax ratio ini baru dimulai sejak 2016, baru dua tahun yang lalu. Jadi, tidak benar bila ada analis yang mengatakan, bahwa definisi luas ini sudah diperkenalkan sejak lama di sistem APBN kita. Zaman pemerintahan Presiden SBY dan pemerintahan sebelumnya, masih menggunakan definisi tax ratio dalam arti sempit.

Kurang jelas, apakah motivasi menggunakan definisi luas ini hanyalah untuk mengangkat besaran tax ratio kita agar terlihat seolah-oleh besar, terutama bila dibandingkan dengan pemerintahan masa lalu (sebelum Jokowi) atau bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Dunia.

Yang pasti, dalam internal Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu sudah mulai ada suara dari pegawai yang bernama MHD. Ricky Karunia Lubis yang mengkritisi definisi luas tax ratio ini, yang dikatakannya tidak fair (link: http://www.pajak.go.id/article/memperbaiki-kinerja-tax-ratio-sebuah-pendekatan-makro).

Menurut kami, bila akhirnya tetap digunakan definisi luas tax ratio ini, maka tidak ada lagi artinya penerimaan dari migas dan minerba disebut sebagai “Penerimaan Negara Bukan Pajak”. Karena toh akhirnya dianggap sebagai pajak juga. Lagipula bukankah dari sektor migas sudah ada yang nama Pajak Penghasilan (PPh) Migas? Membuat rancu saja.

Kalaupun hendak digunakan seterusnya, agar fair maka besaran tax ratio di pemerintahan sebelum Jokowi –dari SBY, Megawati, Gus Dur, Habibie, hingga Suharto dan Sukarno- juga harus direvisi mengikuti definisi luas ini. Jangan sampai definisi luas hanya digunakan untuk di pemerintahan Jokowi, sehingga memberi kesan bahwa tax ratio pemerintahan Jokowi tidak jelek-jelek amat bila dibandingkan tax ratio pemerintahan sebelumnya.

Terjadi Mark-Up Perhitungan

Sekarang kita coba hitung yang benar besaran target tax ratio dalam arti luas tersebut, apakah tepat yang disampaikan oleh Presiden Jokowi di pidato 16 Agustus 2018 yang lalu. Bila memasukkan data DJP, disebutkan target penerimaan pajak adalah Rp 1.424 triliun (Liputan6, 4/9/2018). Sedangkan target PNBP minerba, seperti disampaikan oleh BKF adalah Rp 24,1 triliun (Detik, 19/9/2018) dan PNBP Migas adalah Rp 59,6 triliun (Detik, 27/7/2018), yang bila ditotalkan adalah Rp 83,7 triliun.

Bila digunakan asumsi tahun 2018 pertumbuhan PDB adalah 5,1% (Bank Indonesia), maka besaran PDB tahun 2018 adalah Rp 14.281 triliun. Dari semua data tersebut, dapat dihitung pada tahun 2018 besaran target tax ratio dalam arti luas adalah sebesar 10,5% dan tax ratio dalam arti sempit (minus PNBP migas dan minerba) adalah sebesar 10,0%. Lalu mengapa dituliskan di teks pidato Presiden bahwa besaran tax ratio adalah sebesar 11,6%? Apakah ada definisi yang lebih luas lagi? Atau jangan-jangan ada mark-up yang disengaja oleh si penulis pidato tersebut? Kesalahan hitung ini cukup fatal, karena selisih 1% saja dalam tax ratio berarti kesalahan hitung sekitar Rp15 triliun.

Kemudian kita coba hitung yang benar untuk target tax ratio 2019, yang disebutkan Presiden adalah sebesar 12,1%. Bila menggunakan data DJP, bahwa tahun 2019 penerimaan pajak ditargetkan tumbuh 16%, maka besarannya akan menjadi Rp 1.576 triliun. Target PNBP Minerba tahun 2019 naik menjadi Rp 41,8 triliun dan PNBP Migas naik menjadi Rp 148 triliun (catatan: tiga kali lipat 2018? tidak masuk akal, mengingat harga minyak 2019 paling tinggi adalah dua kali lipat tahun 2018). Dengan asumsi pertumbuhan PDB tahun 2019 adalah 5,3%, maka besaran PDB tahun 2019 adalah sebesar Rp 15.038 triliun. Sehingga bisa dihitung target tax ratio dalam arti luas adalah 11,7%  dan tax ratio dalam arti sempit adalah sebesar 10,5%. Tidak sampai juga ke besaran tax ratio yang disebut Presiden sebesar 12,1%. Artinya terjadi kesalahan hitung, mark up, sekitar 0,4% atau bila dikonversi menjadi sekitar Rp 7 triliun.

Apapun, sudah dimark up sedemikian, ternyata capaian tax ratio -dalam definisi luas- di era Jokowi tetap lebih kecil dari era SBY, yang untuk tahun 2013 dan 2014 saja tax rationya -dalam definisi luas- berturut-turut sebesar 14,3% dan 13,7% (sumber: Informasi APBN 2018 Kemenkeu).***

 

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.