
Jakarta, Obsessionnews.com – Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tokoh fenomenal. Mantan Menko Polhukam ini secara mengejutkan terpilih menjadi Presiden keenam RI dalam Pilpres 2004, yang untuk pertama kalinya dipilih langsung oleh rakyat. Ketika itu SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) diusung oleh Partai Demokrat dan PBB. Mereka berkuasa pada periode 2004-2009. Mereka mengalahkan Presiden petahana yang juga Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang berpasangan dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) KH Hasyim Muzadi.
SBY kembali maju di Pilpres 2009. Kali ini purnawirawan jenderal bintang empat ini berduet dengan Gubernur Bank Indonesia Boediono. Mereka diusung Partai Demokrat, PAN, PPP, PKS, PBB, dan PKB. SBY-Boediono berhadapan dengan Megawati-Prabowo Subianto yang diusung PDI-P, Partai Gerindra, dan Partai Hanura.
Dalam pesta demokrasi tersebut SBY-Boediono secara meyakinkan menaklukkan Megawati-Prabowo. Dengan demikian SBY-Boediono mendapat mandat dari rakyat untuk memimpin Indonesia periode 2009-2014.
Di periode keduanya menjadi Presiden, SBY yang juga Ketua Umum Partai Demokrat mendapat banyak ujian. Di periode ini terjadi berbagai demonstrasi besar-besaran yang digerakkan oleh lawan-lawan politiknya untuk menggulingkan kekuasaannya. Namun, SBY memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat dan dicintai rakyat. Terbukti upaya tersebut tidak berhasil. SBY mengakhiri kekuasaannya dengan mulus.
Pada 20 Oktober 2014 SBY menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Seperti diketahui Jokowi yang menggandeng JK berhasil mengalahkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014. Jokowi-JK berkuasa peeriode 2014-2019.
Meski tidak lagi menjadi Presiden, SBY masih memiliki pengaruh besar di kancah politik. Partai yang dipimpinnya berada di luar lingkar kekuasaan dan menjadi penyeimbang.
SBY Diusulkan Maju Capres 2019
Dalam pekan ini nama SBY menjadi trending topic di media sosial. Ia diusulkan maju sebagai capres Pilpres 2019 mendatang. Gagasan ini dilontarkan oleh peneliti senior politik/pemerintahan Network for South East Asian Studies (NSEAS ), Muchtar Effendi Harahap, dalam dskusi “Ancaman Komunisme Cina Raya dan Bahaya Politik Kartel Keturunan: Fakta atau Ilusi?” di Kampus Sjafruddin Prawiranegara, Sekolah Tinggi Ekonomi Perbankan Islam (STEBANK), Jakarta Pusat, Kamis (5/1/2017).

Dalam diskusi tersebut Muchtar menegaskan untuk mengubah kebijakan pemerintah haruslah mengganti rezim. Ia melihat sosok SBY dan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab sebagai pasangan serasi.
“Nanti kan ada pertemuan di Al-Azhar, kabarnya SBY juga datang, saya sih berharap Habib Rizieq juga hadir, jadi langsung kita deklarasikan saja (untuk Pilpres 2019), ” kata Muchtar.
Ia menilai sosok SBY bisa diandalkan untuk melawan rombongan Neo Nasakom yang didalangi oleh Megawati dan Jokowi. Salah satu buktinya adalah keberhasilan SBY memenangi pemilu presiden dalam dua periode.
“Kalau geopolitik Indonesia, menurut pengamatan saya, ada namanya Neo nasakom itu adalah Jokowi dan Mega. Sedangkan anti Nasakom adalah kelompok 212, SBY, Prabowo. Dari ketiganya yang paling dekat dengan Amerika adalah SBY. Kemudian yang faktanya bisa menang selama dua periode adalah SBY,” tandas lumnus Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Univrsitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1982 ini.
Dihubungi Obsessionnews.com, Sabtu (7/1), Muchtar dengan gamblang memaparkan alasannya mengusulkan SBY menjadi capres pada Pilpres 2019. Berikut keterangan Muchtar selengkapnya:
Sepengetahuan saya SBY tidak pernah bilang langsung secara pribadi, tidak akan menjadi capres 2019. Yang bilang dia ngak mau jadi capres adalah kader Partai Demokrat. Hal itu juga terjadi pada Megawati dan Prabowo. Tentu juga Jokowi, walau tak bisa membuktikan keberhasilan satupun mengurus pemerintahan sesuai regulasi.
Dalam budaya politik Indonesia yng berlaku kini tidak ada larangan, bahkan disarankan berkuasa dalam politik seumur hidup kalau bisa. Umur tak jadi kendala. Bahkan mau dipimpin olh yang lebih muda dan lebih tak berpengalaman, contohnya JK.
Nanti juga kalau SBY didukung parpol-parpol yang memiliki kursi di DPR, penafsiran menguat dan jadi keputusan politik dan hukum bahwa SBY boleh menjadi capres 2019. Budaya politik tidak melarang seumur hidup. Adanya batasan dua periode jabatan presiden dalam UU 1945 , bukan hasil idealisme dan visi bangsa, tapi hanya reaksi atas posisi Soeharto. Tidak fundamentalis.
Saya usulkan SBY menjadi capres 2019, karena saya berpikir dalam ilmu politik disebut realisme politik, bukan pragmatisme.
Di mata saya, rezim Jokowi ini gagal mengurus pemerintahan dan rakyat berdasarkan janji-janji politik kampanye yang dituangkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019. Dua tahun rezim ini berkuasa, indikator-indikator dapat ditunjukkan kondisi atau kualitas menurun, bukan bahkan bertahan. Istilahnya terpuruk.
Lalu saya berasumsi bahwa variabel intervening atau faktor terutamanya adalah ketidakmampuan manajerial dan kepemimpinan rezim mengurus pemerintahan dan rakyat Indonesia. Lalu muncul pertanyaan, apa solusinya? Jawabannya tentu perlu ada kebijakan-kebijakan lain alternatif yang tidak condong ke Cina, tapi tetap Nonblok atau sedikit ke Amrika Serikat (AS). Karena itu rezim Jokowi harus diganti, tentu via Pilpres 2019.
Lalu siapa penggantinya?
Nah, di sini masalahnya! Ada banyak orang lebih berintegritas, bersih, bahkan pintar akademis, tapi mampukah memenangkan perebutan kekuasaan nasional menurunkan rezim Jokowi ? Saya lalu cari, jawaban ada pada SBY Group. Bagaimana Prabowo? Sudah dua kali maju gagal melulu. Bagaiamana Cendana Group? Saya pesimis didukung AS. Bagaimana dengan tokoh Islam politik? Belum punya bukti sejarah bisa memenangkan pertarungan via pilpres langsung, miskin dana politik dan tak didukung AS.
Saya bukan orang Partai Demokrat dan bukan pendukung SBY. Bahkan saya pernah membuat buku Kegagalan-kegagalan SBY dan JK, juga menulis sejumlah kegagalan SBY-Boediono. Cuma rezim SBY tidak menangkap saya.
Saya bandingkan dengan era rezim Jokowi, ternyata kondisi rakyat dan urusan pemerintahan lebih baik era rezim SBY. Ada data, fakta dan angka untuk membuktikan hipotesis ini.
Ini pikiran realisme politik saya. Jika teman-teman mau mengubah sistem dulu dengan idealisme politik, silakan juga jalan, kita dukung walau sudah 14 tahun nggak juga ada kemajuan berarti, kecuali polemik di publik.
Gagasan SBY mengambil alih kekuasaan rezim Jokowi adalah gagasan alternatif strategis. (arh)
Baca Juga:
SBY Potensial Tangkal Komunisme
Jokowi Pakai Warna Biru Bukan Sindir SBY?
Jokowi Perlu Ketemu SBY, Untuk Kendalikan Situasi
Demokrat: Jangan Tuduh SBY di Balik Rencana Demo