Jumat, 19 April 24

Mengapa Anak STM Lebih Berani Melawan Dibanding Mahasiswa?

Mengapa Anak STM Lebih Berani Melawan Dibanding Mahasiswa?
* Demo pelajar di kompleks Senayan, Rabu (25/9). (Foto; Alinea)

Jakarta, Obsessionnews.com – Ada pemandangan seru saat aksi demonstrasi yang dilakukan anak-anak STM di sekitar Gedung DPR, Senayan, Jakarta Rabu (25/9/2019). Para pelajar ini ternyata lebih berani dari mahasiswa. Meski masih tergolong anak-anak tapi nyali mereka melawan polisi ternyata sangat tinggi. Mengapa bisa demikian?

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Prof. Drs. Koentjoro, MBSc., Ph.D menyebut para pelajar ini bisa jadi lebih berani melakukan tindakan anarkis karena mereka punya ikatakan kuat dengan kelompok dan teman-temannya.

“Itu kemudian berlaku kesetiakawanan di sini. Makanya kalau ada satu perintah, semuanya datang ke sana, karena ini hubungannya dengan in group dan out group,” kata Koentjoro, dihubungi Kamis (26/9/2019).

Ikatan kelompok para pelajar ini, membuat mereka semakin kuat dan berani. Hal itu pun yang sering melatarbelakangi munculnya prilaku tawuran antar pelajar. Mereka juga takut dikucilkan oleh temen-temennya.

“Siapa yang masuk kelompok saya dan siapa yang bukan kelompok saya. Anak-anak ini kemudian takut kalau dia dianggap bukan sebagai kelompok saya, maka dia kemudian berangkat,” lanjutnya.

Diketahui para pelajar yang sebagian menggunakan seragam OSIS dan pramuka pada aksi kemarin tampak menyanyikan yel-yel, menaiki pagar, memblokade jalan, bahkan melakukan aksi pemukulan terhadap polisi yang berjaga.

Mereka melakukan semua itu tanpa tujuan konkrit sebagaimana aksi yang digelar oleh para mahasiswa sebelumnya. Bagi Koentjoro, apa yang dilakukan para pelajar itu lebih kepada pelampiasan ego.

“Saya kira enggak, mereka pikirannya belum sampai di situ. Kalau kakak-kakak mahasiswa itu kan sudah punya pikiran, punya tujuan tertentu. Kalau anak-anak ini mereka kumpul-kumpul bareng saja,” jelasnya.

Ia mencontohkan, jika seorang pemimpin kelompok menyerukan untuk melakukan suatu tindakan tertentu, pemukulan katakanlah, maka serentak seluruh anggota kelompok akan melakukan hal yang sama.

Koentjoro menyebut, para pelajar itu adalah korban oknum provokator yang memberikan informasi salah melalui jaringan tertentu, salah satunya pesan berantai.

“Saya menduga, ini salah satunya orang yang diselipkan di situ, yang memberikan provokasi, informasi yang salah, dan ada semacam agitasi-agitasi, semacam brain wash yang terjadi. Itu yang kebangetan yang mem-provoke kalau menurut saya, bisa dilacak itu,” sebut dia.

Terdapat sebuah istilah dalam bahasa Jawa yang disampaikan Koentjoro untuk menjelaskan hal ini. “Dugo prayugone durung ono,” atau belum memiliki tujuan yang jelas ketika melakukan suatu hal dan mungkin saja bertindak kurang pantas. (Albar)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.