
Oleh: Rinaldi Munir, dosen Teknik Informatika ITB
Baru-baru ini Kemenristekdikti mengeluarkan surat edaran tentang larangan bagi dosen untuk menerima hadiah atau pemberian lainnya dari mahasiswanya. Tujuannya untuk menjaga integritas proses akademik antara mahasiswa dan dosennya. Dengan kata lain, dosen dilarang menerima gratifikasi dalam bentuk apapun dari mahasiswa yang berada dalam tanggung jawabnya (dosen wali, dosen pembimbing Tugas Akhir (TA), dosen pengampu mata kuliah). Begitu juga mahasiswa dilarang memberi apapun kepada dosennya.
Surat edaran tersebut ditanggapi secara beragam oleh para dosen di berbagai perguruan tinggi. Setidaknya tanggapan tersebut dapat dibaca pada forum-forum diskusi di media sosial. Ada yang setuju, tetapi ada juga yang mengomentari bahwa jawabannya tidak hitam dan putih, tetapi ada variabel lain yang juga perlu dipertimbangkan. Misalnya, jika tiba-tiba ada mahasiswa yang pulang dari kampung lalu datang ke ruangan dosen membawa sedikit oleh-oleh, apakah langsung ditolak?
Contoh lain, setelah mahasiswa bimbingan lulus sidang TA, dia sudah beres urusan laporan, nilai, wisuda dan sebagainya, artinya tidak punya hubungan akademik lagi, lalu datang memberikan kenang-kenangan (makanan, pulpen, batik, jam tangan, dan lain-lain) sebagai ucapan terima kasih, apakah itu termasuk gratifikasi jugakah?
Pada prinsipnya saya sepakat dengan surat edaran tersebut. Dulu saya pernah menulis tentang masalah gratifikasi di lingkungan kampus (Baca: Termasuk Gratifikasikah Ini?). Jauh sebelum muncul surat edaran di atas, saya sendiri sudah berusaha untuk berhati-hati dalam masalah pemberian ini. Secara pribadi saya menolak secara halus pemberian mahasiswa yang masih ada urusan dengan saya. Ini untuk menjaga independensi dan conflict of interest. Pernah ada mahasiswa bimbingan saya membawa oleh-oleh dari kampung halamannya, saya mengucapkan terima kasih atas perhatiannya, namun dengan menyesal saya katakan bahwa saya tidak bisa menerimanya. Setelah saya jelaskan sikap saya ini, dia bisa mengerti. Saya sarankan kepadanya untuk membagi oleh-oleh itu untuk teman-temannya di lab saja :-).
Masih ada beberapa pengalaman lain tentang masalah pemberian ini dengan mahasiswa saya, baik mahasiswa S1, S2, maupun S3. Selama mereka masih dalam tanggung jawab saya, saya menjaga prinsip untuk tidak menerima pemberian atau hadiah dari mereka. Untunglah mahasiswa di ITB sudah paham tentang hal ini, jadi mereka juga tahu diri untuk tidak membawakan dosennya hadiah atau benda-benda lainnya selama mereka masih menjadi mahasiswa di kampus.
Tapi menjaga prinsip ini tidak selalu mudah untuk dipertahankan, khususnya jika yang datang itu adalah orangtua mereka. Saya pernah kedatangan orangtua mahasiswa di bawah perwalian saya. Maksud kedatangannya adalah untuk silaturahmi saja, kebetulan orangtua itu sedang dinas ke Bandung. Nah, orangtua mahasiswa ini ternyata datang dengan membawa oleh-oleh makanan khas dari kotanya. Ini sedikit oleh-oleh, Pak, katanya. Seharusnya saya tolak pemberian itu, namun saya tidak tega, tidak ingin menyakiti perasaannya. Saya tidak punya cara dan kata-kata yang tepat untuk mengatakan tidak. Saya tahu itu pemberian yang tulus. Saya terima juga akhirnya (maafkan saya jika ini termasuk gratifikasi).
Pernah juga sekali waktu orangtua mahasiswa di bawah perwalian saya datang bersilaturahmi membawakan oleh-oleh seperti batik, tas buat laptop, dan ikat pinggang. Saya sudah berkali-kali menolaknya, saya suruh bawa kembali, namun orangtua itu kekeuh mengatakan ini tidak ada maksud apa-apa dan meminta saya untuk menerimanya. Saya pun menyerah.
Pernah terpikir oleh saya untuk mengembalikan hadiah itu kepada anaknya (yang merupakan mahasiswa saya), namun tidak jadi saya lakukan, karena bisa muncul masalah baru seperti mahasiswa tersebut merasa malu, atau malah bisa menimbulkan konflik antara orangtua dengan anak. Saya pun pernah meminta pendapat kolega dosen bahkan Dekan, sebaiknya saya apakan hadiah ini, namun tidak ada jawaban yang memuaskan, mungkin mereka pun dilematis. Sampai saat ini barang-barang pemberian itu masih tersimpan rapi di dekat meja saya. Belum pernah saya buka bungkusnya, apalagi memakainya. Mungkin kalau kalau anaknya sudah lulus dari ITB, akan saya pertimbangkan lagi apakah akan tetap memakainya atau mau diapakan.
Untuk amannya bagi kami, kepada orangtua mahasiswa, kami imbau tidak usah membawa makanan atau barang apapun dari kota anda untuk dosen anak anda. Tidak semua kami mampu berkata tidak untuk menolaknya tanpa berniat menyakiti perasaan anda. Kalau mau berkunjung, silaturahmi, atau konsultasi, ya berkunjung saja, tidak perlu membawa macam-macam agar tidak dianggap gratifikasi. Kami menjadi dilematis dan serba salah.
Mungkin kasus-kasus di atas yang disebut variabel bagi sebagian orang, yang dalam hal ini jawabannya tidak hitam dan putih. Tetapi sekali lagi, menjaga prinsip itu tidak selalu mudah. (*)