Jumat, 26 April 24

Mendekat Kepada Habib

Mendekat Kepada Habib
* Pada zaman pendudukan Jepang, Jakarta, 1943. (Inset): Haji Muhammad Abdul Muniam Inada di depan mimbar menguraikan cita-cita pemerintah Jepang yang terkait Islam.

Mereka mengajarkan agama tanpa meninggalkan usahanya. Tak dapat menghindari urusan politik.

 

HARI masih pagi ketika Habib Ali bin Abdurahman al-Habsyi (1870-1968), lebih dikenal sebagai Habib Ali Kwitang, membuka tokonya di Tanah Abang Jakarta Pusat. Menjelang zuhur, dia menutup toko. Lalu, dia keliling kampung untuk menjual barang dagangannya sambil berdakwah.

Habib Ali Kwitang merajut hubungan dengan kiai dan pemuka masyarakat. Di rumahnya di Kwitang, dia mengadakan pengajian mingguan. Dia juga rutin menghelat acara maulid, perayaan ulang tahun Nabi Muhammad. Dalam mengelola pengajiannya, dia kemudian dibantu Habib Salim bin Jindan dan Habib Ali Alatas.

Di masa pendudukan Jepang, Habib Ali Kwitang menjalin hubungan dengan pemimpin nasionalis dan Jepang. Sementara Habib Salim Jindan memilih jalan berlawanan sehingga dipenjara karena menolak melakukan saikeirei, menghormati Kaisar Jepang dengan membungkukkan badan ke arah matahari terbit.

Era berganti, keduanya tetap tokoh yang disegani di kalangan elite politik maupun agama. Sukarno, misalnya, pernah berguru kepada Habib Salim bin Jindan mengenai agama Islam. Namun, itu bukan berarti dia tak berani mengkritik Sukarno. “Pada 1957 Ibnu Jindan menjadi pengkritik kuat Nasakom Sukarno, yang berpuncak pada sikap antikomunis,” tulis Ismail Fajrie Alatas, “Becoming Indonesians: The Ba’Alawi in the Interstices of the Nation”, dalam Die Welt des Islams, Vol. 51, tahun 2011.

Habib Ali Kwitang meninggal dunia pada 1968, sementara Habib Salim Jindan kurang dari setahun kemudian. Muhammad al-Habsyi menjadi penerus ayahnya.

Habib dan Politik

Beberapa bulan sebelum pemilu 1971, Muhammad al-Habsyi dan Novel, anak Habib Salim Jindan, menyatakan bergabung dengan Golkar. Muncul protes dari para kiai yang mayoritas pendukung Nahdlatul Ulama. Merasa tertekan, Habib Ali Alatas meninggalkan Kwitang dan tak pernah kembali. Para kiai memisahkan diri dari Kwitang.

Muhammad al-Habsyi dan Novel memainkan peran penting dalam kampanye Golkar. Dengan menggunakan otoritas keagamaan, mereka menggalang massa untuk mendukung Golkar. Golkar juga mendapat sokongan dari organisasi sayapnya, Satuan Karya Ulama Indonesia, yang juga beranggotakan para habib.

Golkar menang pemilu. Sebagai imbalan, Muhammad al-Habsyi mendapat bantuan dana untuk merenovasi dan memperluas majelis taklim Kwitang. Presiden Soeharto meresmikan dan menamainya Islamic Center Indonesia. Kedekatan hubungan itu berlangsung hingga Muhammad al-Habsyi meninggal pada 1992.

Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Habsyi, anak Muhammad al-Habsyi, melanjutkannya dengan jadi penasehat spiritual keluarga Cendana. Menantunya, Habib Ali Baagil, dekat dengan para ulama dan pejabat militer.

Pendukung Belanda

Bukan hal baru habib berkelindan dengan politik dan kekuasaan. Salah satu guru Habib Ali Kwitang, yakni Habib Usman bin Yahya (1822-1914), menjadi honorair adviseur (penasihat kehormatan) pemerintah kolonial. Dia dekat dengan penasehat pemerintah seperti C. Snouck Hurgronje, KF Holle, dan LWC van den Berg. Dia juga menentang gerakan Pan-Islamisme dan aliran mistis Islam karenanya menjadi musuh ulama pribumi.

Menurut Nico JG Kaptein dalam The Arabs in the Netherlands East Indies and The House of Orange, untuk menunjukkan loyalitasnya, Habib Usman membuat doa berbentuk puisi untuk Ratu Wilhemina ketika naik tahta pada 1898. Bahkan dia mengeluarkan fatwa berisi anjuran mengucapkan doa ini. Para bupati meneruskan fatwa ini kepada pejabat agama Islam (panghulu).

Kalangan nasionalis memprotes dan menuduh panghulu menggunakan Islam “bukan untuk menghormati Nabi Muhammad, tapi kafir ratu.” Protes juga datang dari orang-orang Arab yang berorientasi Pan-Islamisme.

Jika Habib Usman menjadi penasihat Belanda, Habib Abdul Rahman bin Muhammad az-Zahir justru menjadi hakim agung lalu patih di Kesultanan Aceh. Dia menjadi pemimpin tertinggi dalam Perang Aceh melawan Belanda. Menurut LWC van den Berg dalam Orang Arab di Nusantara sadar bahwa keinginan rakyat Aceh untuk merdeka tak mungkin terwujud, dia mau meninggalkan perang asalkan digaji seumur hidup sebanyak 30.000 gulden. “Tawaran itu diterima oleh pemerintah Belanda dan sejak itu dia menetap di Mekah,” tulis van den Berg.

Lebih dari itu, orang-orang Hadrami berhasil menjadi penguasa: Habib Ali bin Usman bin Syihab (Sultan Siak), Habib Aidrus bin Abdul Rahman al-Aydrus (Sultan Kubu), dan Habib Syarif Abdul Rahman al-Gadri (Sultan Pontianak). Namun umumnya, para habib menjadi penasihat agama bagi penguasa, peran yang masih berlangsung hingga masa Orde Baru. (Sumber: historia.id)

 

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.