Jumat, 29 Maret 24

Breaking News
  • No items

Mendagri Didesak Tidak Perpanjang Pj Bupati Muna Barat

Mendagri Didesak Tidak Perpanjang Pj Bupati Muna Barat

Jakarta, Obsessionnews – Koordinator Masyarakat Muna yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil Pro-Demokrasi (AMS-Prodem) Sulawesi Tenggara (Sultra), Wahidin menilai Penjabat (Pj) Pupati Muna Barat saat ini perlu diganti dan tidak lagi diperpanjang jabatan LM Rajiun Tumada.

“Sebab selama kerjanya satu tahun dianggap banyak melakukan pelanggaran wewenang jabatan yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan,” tandasnya kepada Obsessionnews.com, Minggu malam (4/10/2015).

Wahidin juga menganggap PJ Bupati Muna Barat telah mengabaikan aspirasi masyarakat bahkan tidak menghiraukan tugas pokok dan fungsi DPRD Muna Barat sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah setempat.

Dijelaskan, tugas dan kewajiban PJ Pupati di Daerah Otonom Baru (DOB), UU No.14/2014 Tentang pembentukan Kabupaten Muna Barat Provinsi Sultra dan Peraturan Mendagri No.55/2012 tentang Pedoman Pembinaan Daerah Otonom Baru yaitu Pembentukan organisasi perangkat daerah, Pengisian Personil, Pengisian keanggotaan DPRD, penyelenggaraan urusan wajib dan pilihan, pembiayaan, Pengalihan Aset, Peralatan dan Dokumen, Pelaksanaan Penetapan batas wilayah, penyediaan sarana dan prasarana pemerintah serta penyiapan rencana umum Tata Ruang.

Wahidin yang juga Ketua Pospera Sultra mengungkapkan, saat ini Pj Bupati Muna Barat terlihat cenderung berupaya mengedepankan pembangunan pencitraan daripada menjalankan tugas dan fungsinya sebagai eksekutif.

Ia pun menduga ada penyalahgunaan anggaran atau gratifikasi yang mengalir dalam SKPD yang jelas-jelas menerima tunjangan Jabatan namun tidak memiliki belanja Operasional Kantor dan belanja pegawai. Sehingga dinilai Fakta kebijakan Rajiun Tumada juga bertentangan dengan PP 41 Tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah.

“Lima SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang tidak mendapatkan PAGU anggaran, Badan Lingkungan Hidup, Badan Pemberdayaan Perempuan, perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, Dinas Koperas dan UKM, Badan Kepegawaian Daerah dan Dinas Perindustrian perdagangan,” bebernya.

Artinya, jelas dia, dalam APBD ini tidak diporsikan anggaran untuk SKPD kepala dinas, namun kalau sudah diadakan kelembagaan itu maka sudah pasti ada anggaran yang mengalir untuk dikelola SKPD.

“Kan tidak mungkin ada SKPD tidak ada anggarannya, namun dokumen APBD tidak diporsikan artinya bisa jadi ada penyelahgunaan anggaran disitu. Karena lima SKPD ini belum pantas untuk ada, dan pemerintah tidak menyediakan itu,” terangnya.

Selain itu pembanguan infrastruktur jalan saat ini di Muna Barat disinyalir belum memiliki anggaran namun perbaikan jalan sedang dilakukan, bahkan terjadi penggusuran lahan, rumah dan warung warga tanpa ganti rugi. Kondisi ini menjadi polemik kalangan masyarakat Muna Barat sehingga diduga ada dana gratifikasi yang mengalir kerena proses tendernya tidak dilelalang.

“Banyak proyek yang sedang berjalan dan kontraktor-kontraktor itu menggunakan dana sendiri, sebab belum ada anggarannya namun sudah dikerjakan lebih awal. Mestinya setelah ada APBD perubahan kemudian dianggarkan. Nah ini kan gratifikasi, sebab proyek itu kan harus dilelang, tapi fakta dilapangan lain juga,” kritiknya.

“Seharusnya ada dulu rincian anggarannya yang ditetapkan bersama DPRD kemudian bisa dilelang. Selama ini kan banyak proyek di Muna Barat tidak melalui proses lelang, dan polanya itu main tunjuk saja,” tambahnya.

Wahidin menambahkan, persoalan SKPD mestinya memiliki payung hukum (PERDA) namun selama satu tahun jabatan PJ Bupati sebagaimana kewajiban PJ Bupati tidak membuat satupun Perda kelembagaan.

“SKPD tadi itu kan harus ada Perda-nya yang dihasilkan pemerintah eksekutif bersama DPRD Kabupaten, tapi faktanya sampai saat ini belum ada sidang DPRD. Saya pikir Perda itu dibuat lewat pembahasan DPRD atas usulan Bupati kemudian disidangkan dan dimusyawarahkan, sebab eksekutif tidak punya hak buat Perda. Hasil sidang DPRD diserahkan kepada bupati kembali, dan kalau tidak ada pembahasan kembali berarti lembaga di Muna Barat itu tidak sah,” paparnya.

Ia juga menyoroti dokumen anggaran sebagai acuan pengajuan anggaran, yang sampai hari ini dokumen APBD mini itu tidak ada. “Bicara anggaran pendapatan daerah itu harus ditetapkan di DPRD, tapi sampai hari ini tidak ada, jangankan ditetapkan di DPRD, pihak DPRD saja mengaku tidak tahu. Kalau peraturan Bupati itu bisa muncul ketika posisi DPRD itu tidak ada, tapikan di Muna Barat DPRD-nya ada sejak Februari lalu. Artinya kalau ada keinginan menggodok APBD seharusnya kan digodok secepatnya termasuk Perda yang dimaksud tadi itu,” tuturnya.

Wahidin mempertanyakan rujukan eksekutif pelaksanaan berbagai proyek yang nota bene tidak dibahas melalui APBD. “Kalau APBD saja tidak jelas maka rujukan pembangunan selama ini diambil dimana, keuangan-keuanagn pembiayaan perjalanan Dinas dan beberapa proyek dananya diambil dimana? Bagaimana tidak mau carut-marut pembangunan kalau APBD-nya tidak jelas. Katanya APBD sudah ditetapkan tapikan tidak bisa ditetapkan dengan melalui peraturan Bupati,” tegasnya.

Sejak 2014 lalu Muna Barat memisahkan diri dari Muna Induk (DOB), kesepakatan saat itu ada dana bagi hasi dan sharing. Sehingga Muna Induk memporsikan anggaran untuk infrastruktur sebagaima tupoksi PJ Bupati itu membangun Kantor, khusus kantor Bupati dan Dewan. Mestinya kata Wahidin Muna Barat sebagai DOB merampungkan terlebih dahulu adimnistrasi daerah sebagai fondasi menjalankan roda pemerintahan.

“Saya tidak menolak pembangunan jalan, tapikan yang mendesak kebutuhan rakyat saat ini adalah akses masyarakakat dapat dilayani dengan baik. Yang dibutuhkan awal itu kan fasilitas, sarana dan prasarana pemerintah bukan jalan. Sekali lagi saya tidak tolak jalan namun gambaran utama sebuah daerah itu adalah terlebih dahulu administrasi sebagai akarnya. Kalau tidak beres administrasinya disitu ada celah korupsi, mencuri, pasti sudah ada. Dan tentunya kondisi ini membuat pembangunan akan carut marut,” resahnya.

Diuraikan pula, polemik pembangunan jalan ruas baru yang jelas-jelas sampai saat ini PJ Bupati belum membahas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sehingga tindakan Rajiun terkesan terburu-buru dan hanya menghambur-hamburkan uang negara.

“Mestinya RTRW itu kan digodok duluan, tapi sampai saat ini RTRW tidak ada. Bagaimana bisa melakukan pelebarana ruas jalan baru, pembuatan Bundaran jalan kalau tidak ada RTRW hingga kemudian rumah digusur. Bagaimana kalau ada bupati defenitif, syukurlah kalau Rajiun, kalau defenitifnya bukan dia kemudian tiba-tiba RTRW ditolak dan ada perubahan, apakah ini tidak menghambur-gamburkan uang negara atau daerah,” tuturnya.

Wahidin menilai, Rajiun terlihat terburu-buru dan mengejar popularitas sehingga masyarakat menganggapnya hebat, padahal tupoksi PJ. Bupati (Pejabat Daerah) hanya menyiapkan infrastuktur bukan membangun yang lain.

“Makanya kami bingung, RTRW tidak ada, APBD juga tidak dibahas, Perda tidak ada. Terus bagaimana cara mau mengukur serapan anggaran 2015 ini, padahal kan sekarang mau masuk tahapan pembahasan APBD perubahan, sedangkan DPRD tidak mau bahas. Bagaimana pemerintahan bisa jalan,” tanya dengan heran.

Setiap Oktober DPRD akan melakukan proses evaluasi anggaran dan pelaksanaan pembahasan APBD perubahan. Sisa dana serapan anggaran 2015 mesti dibahas dalam APBD perubahan guna mengantisipasi adanya perubahan-perubahan selama berjalannnya pembangunan.

“Tapi kan DPRD sendiri saat ini tidak mau melakukan pembahasan APBD perubahan, apa yang mau dibahas kalau APBD tidak ada. Anehnya lagi Bupati ini melarang SKPD untuk menghadiri rapat koordinasi, rapat dengar pendapat maupun rapat kerja dengan pimpinan serta alat kelengkapan DPRD Muna Barat,” katanya.

Hal ini dibenarkan oleh salah satu anggota komisi I DPRD Muna Barat Munawir saat dihubungi Obsessionnews.com lewat seluler bahwa selang waktu Februari DPRD dilantik sampai saat ini belum ada rapat dengan eksekutif.

“Memang belum ada rapat antara lesgliatif dan DPRD, tidak ada pembahasan APBD, dan Perda, jadi kita tidak tahu menahu persoalan pembangunan di Muna sebab kami tidak dilibatkan. Sudah dua kali kami surati namun kan selalu mangkir, ini kita sesalkan juga,” tuturnya.

Fatalnya lagi, lanjut Wahidin, Bupati Muna Barat secara sadar dengan menunjukan sikap arogansi sebagaimana melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis dengan hadir diatas panggung deklarasi pasangan Calon Bupati Muna (dr.H.LM. Baharuddin, M.Kes – H.La Pili, S.Pd) 28 Juli 2015 di Alun-Alun Kota Raha, Kabupaten Muna.

Menurut Wahidin, tindakan itu dianggap melanggar Peraturan Pemerintah (PP) pasalnya mereka masih berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) sementara kampanye itu adalah tindakan politik.

“Sikap itu juga bertentangan dengan imbauan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, poin melarang PNS memberi keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan satu pasangan calon,” pungkasnya. (Asma)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.