Jumat, 26 April 24

Mencari Keadilan di Balik Merah Putih

Mencari Keadilan di Balik Merah Putih
* KH Arifin Ilham siap menjadi jaminan untuk menangguhkan penahanan Nurul Fahmi.

Jakarta, Obsessionnews.com – Simpatisan Front Pembela Islam (FPI) Nurul Fahmi (NF) tidak pernah menyangka aksinya membawa bendera merah putih bertuliskan kalimat “Laa Ilaha Illalloh” disertai dengan gambar pedang saat demo di depan Polda Metro Jaya, Senin (16/1/2017) berujung pada penangkapan dirinya oleh polisi.

Ia ditangkap pada malam hari di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (19/1/2017). Penangkapan NF disebut-sebut seperti layaknya tersangka gembong narkoba. NF diciduk polisi karena diduga telah menghina lambang negara.

Pria malang ini dijerat ‎Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Lambang Negara dengan ancaman lima tahun penjara. Sontak tindakan polisi ini menuai kecaman. Banyak pihak yang menilai polisi tidak memenuhi rasa keadilan dalam mengusut kasus ini.

Tak dapat disangkal penangkapan NF seperti ada rangkaian dari cerita panjang perjuangan Imam Besar FPI Habi‎b Rizieq yang gigih memperjuangkan kepentingan umat Islam. Sama halnya dengan NF, Rizieq juga tengah berurusan dengan polisi karena diduga melecehkan lambang negara Pancasila.

Banyak tokoh yang angkat bicara dalam menyikapi tindakan polisi yang dianggap sewenang-wenang. Arifin Ilham salah satunya. ‎Ulama besar ini bahkan siap menjadi jaminan untuk menangguhkan penahanan tersangka NF. Sampai akhirnya NF pun dibebaskan oleh polisi.

Pembelaan juga datang dari ‎pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Ia menilai penangkapan NF oleh polisi terlalu berlebihan. Sebab, sebagian besar masyarakat belum mengetahui bahwa tindakan menulis atau menggambar bendera merah putih dilarang dan dapat dipidana. ‎

Yusril menyebut ketidaktahuan itu juga ada di kalangan pejabat birokrasi pemerintah dan bahkan pada aparat penegak hukum sendiri.

“Coba saja search di internet, niscaya adanya tulisan pada bendera negara itu akan kita dapati dalam jumlah sangat banyak,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (23/1).

Dalam kasus ini, Yusril juga tidak yakin NF paham soal aturan penulisan bendera negara. Karena belum tentu ada unsur kesengajaan untuk melakukan penghinaan terhadap lambang negara. ‎‎Sebab itu, pengenaan pasal 66 terhadap NF dianggap berlebihan. ‎

Menurutnya pasal 66 UU No 24 Tahun 2009 bisa dikenakan bagi mereka yang dengan sengaja merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, dan seterusnya dengan maksud untuk menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara.

“Fahmi sama sekali tidak melakukan ini. Dia hanya membawa bendera merah putih yang ditulisi kalimat tauhid dan digambari pedang bersilang,” kata Yusril.

Karena itu, pasal yang tepat dikenakan untuk Fahmi adalah pasal 67 huruf c yakni menulis huruf atau tanda lain pada bendera negara. Menurut Yusril, polisi nampak dengan sengaja mengenakan pasal 66 yang lebih berat kepada Fahmi. Padahal itu diduga tidak dia lakukan.

Sementara terhadap apa yang dilakukannya, yang seharusnya dikenakan Pasal 67 huruf c, justru dijadikan subsider.

“Selain membolak-balik pasal dalam kasus Fahmi, tindakan penahanan terhadap Fahmi juga dapat dianggap sebagai tindakan berlebihan. Sebab ancaman pidana dalam pasal 66 itu bukan di atas lima tahun, melainkan selama-lamanya lima tahun,” ujarnya.

Yusril menyarankan polisi hendaknya mendahulukan langkah persuasif kepada setiap orang yang diduga melanggar pasal 67 huruf c, sebelum mengambil langkah penegakan hukum. Sebab langkah penegakan hukum atau langkah serupa harus dilakukan terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran yang sama.

Yusril mengatakan apabila langkah penegakan hukum itu hanya dilakukan terhadap Fahmi, terlepas dia anggota FPI atau bukan, maka terkesan penegakan hukum ini terkait langsung maupun tidak langsung terhadap FPI. Sementara perorangan yang terkait dengan ormas-ormas yang lain yang melakukan hal yang sama, belum ada langkah penegakan hukum apapun juga.

Yusril mengimbau polisi bersikap obyektif dan mengambil langkah hukum yang hati-hati. Hal tersebut bertujuan mencegah kesan yang kian hari kian menguat bahwa polisi makin menjauh dari umat Islam, dan sebaliknya makin melakukan tekanan terhadap ormas Islam.

Sama halnya dengan Yusril, Al Muzzammil Yusuf anggota DPR dari Fraksi PKS juga mengkritik tindakan polisi terhadap NF yang dinilai arogan. Sikap tegasnya itu disampaikan Muzzammil saat sidang paripurna anggota DPR, Selasa (24/1/2017).‎

Dengan nada tinggi, Muzzammil menyatakan keberatan atas tindakan polisi terhadap NF. Sebab, prinsip kesamaan warga negara di mata hukum tidak terlihat oleh polisi dalam menangani kasus dugaan penghinaan lambang negara bendera merah putih.  ‎

Hal ini mengacu pada pasal 27 ayat 1 UUD Negara RI Tahun 1945 ‎serta pasal 1 ayat 3 UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi‎ Negara Indonesia adalah negara hukum. ‎Adapun ciri negara hukum adalah adanya supremasi hukum persamaan di hadapan hukum due process of law, peradilan yang bebas merdeka dan pengakuan HAM.‎

Ia menyayangkan dari sekian banyak orang yang menulis huruf di bendera merah putih, mengapa hanya NF yang diproses secara hukum. ‎

“Kabid Humas Polda Metro di media mengatakan ada atau tidak ada pelapor kasus NF akan diproses hukum. Pertanyaan saya bagaimana dengan 5 pelaku serupa? Mengapa mereka tidak diproses hukum. Bukti foto dan gambar ada dan jelas,” jelasnya.

‎Menurutnya, Pasal 24 pada UU 24 tahun 2009 menegaskan bahwa perbuatan penodaan Bendera negara tersebut harus ada niat jahat dan unsur kesengajaan. Sungguh tidak masuk nalar jika kata-kata mulia “Laa Ilaha Illalloh” dimaksudkan untuk menodai, menghina, dan merendahkan bendera negara sebagaimana dimaksud UU 24/2009.

“Jangan sampai proses hukum yang sedang berjalan menggiring kesimpulan publik bahwa kata mulia “Laa ilaha Ilalloh” yang telah menemani para pejuang mengusir penjajah, menjadi kata yang terlarang dan direndahkan di bumi Indonesia yang mayoritas muslim dan negara muslim terbesar di dunia,” ucapnya.

Karena itu di depan anggota dewan yang terhormat, Muzzammil meminta kepada Kapolri untuk‎ menegakkan prinsip negara hukum, yakni supremasi hukum bukan kekuasaan, ‎Persamaan warga negara dihadapan Hukum bukan perbedaan dan ‎penegakan hukum dengan menghormati aturan hukum. Bukan dengan melabrak aturan hukum.

“NF telah ditangkap aparat penegak hukum di tengah malam seperti seorang teroris dan bandar narkoba. Padahal dalam kasus NF harus dibuktikan unsur kesengajaan dan niat jahat,” tuturnya. ‎

Ia juga berpesan kepada Presiden RI  Joko Widodo (Jokowi), jangan sampai sejarah mencatat dalam kepemimpinan Jokowi ada warga negara yang diproses hukum dengan cara tak patut hanya karena yang bersangkutan menulis kata “Laa Ilaha Illallah” pada Bendera Merah putih.

“Untuk teman-teman Anggota DPR RI, saya yakin saya tidak sendiri dalam merasakan ketidakadilan terhadap proses hukum ini. Saya yakin banyak anggota DPR yang merasakan hal yang sama. Untuk itu saya minta  teman-teman berdiri. Terima kasih. Saya tutup dengan ucapan: “Laa Ilaha Illalloh, Muslim Cinta NKRI,” tutupnya. (Albar)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.