Tampaknya para pengusung RUU HIP-BPIP mengajak bangsa ini kembali kepada dialektika awal, yakni masa-masa perdebatan di BPUPK. Mereka memperjuangkan sekulerisme sebagai tesa. Maka, agar terlahir sintesa baru, Gerakan Masirah Qubra, melalui panglimanya, harus dengan gigih memperjuangkan negara ini berdasar Islam. Ini tidak terelakan. Kalau umat Islam kalah, atau tidak melakukan perlawanan, Indonesia akan menjadi sekuler-komunis. Kalau umat Islam menang, negara ini berdasarkan Islam. Kalau remis, akan lahir lagi sintesa baru: Piagam Jakarta, setidaknya flsafah negara Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dipertahankan.
Selanjutnya, mengingat pertarungan (dialektika) ini menyangkut Falsafah NKRI (bukan RI), maka segala yang berkaitan dengan Pancasila –baik (rancangan) produk hukum maupun lembaga, yang diusung oleh pihak lawan tarung harus dipandang sebagai satu kesatuan yang ditolak. Sebab, tidak sesuai dengan Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Peta jalan menuju sempurnanya penggusuran Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu dimulai dari terbitnya Keppres no 24 tahun 2016 tentang hari lahirnya Pancasila. Keppres ini telah digunakan sebagai landasan dalam menyusun Naskah Akademik dan RUU HIP, seolah dengan Keppres ini, Pancasila 1 Juni adalah Pancasila yang sah berlaku. Selanjutnya terbit Perpres no 54 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila yang kemudian berganti nama menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, telah menjurus pada penafsir tunggal Pancasila dan telah secara terang-terangan (melalui ketuanya) menyatakan musuh Pancasila adalah agama. Kemudian lahir RUU HIP yang secara fundamental menggusur Pancasila yang sah sebagaimana telah jelaskan di atas. Terakhir, lahir RUU BPIP yang akan memiliki kekuatan hukum untuk menjadi penafsir tunggal Pancasila sesuai kehendak lawan tarung. RUU HIP dan RUU BPIP itu satu paket. Makanya BPIP tidak berkemomentar terhadap upaya penggantian Pancasila dalam RUU HIP.
Oleh karena itu, sekali lagi, semua yang ada di peta jalan penggusuran Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu harus ditolak. Ini memerlukan Panglima yang berani tapi juga cerdas dan tangkas yang didukung oleh semua lapisan umat Islam.
Selamat berjuang Panglima, selamat memimpin Masirah Qubra.