Sabtu, 20 April 24

Menanti Panglima Masirah Qubra

Menanti Panglima Masirah Qubra
* Ilustrasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). (Foto: Istimewa)

Ambillah periode yang paling dekat, tahun 1928, tahun di mana para pemuda Indonesia bersumpah bertanah air dan berbangsa serta berbahasa satu. Di situ dinyanyikan lagu dengan syair “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya”. Disadari betul, bahwa jiwa-ruhani perlu dibangun sebagai kekuatan perlawanan menentang penjajah, bukan fisik ansich.

Mimpi para pemuda dulu itu adalah Indonesia merdeka yang terbangun jiwa dan badannya, rohani dan fisik-jasmaninya. Membangun jiwa-ruhani lebih utama agar pembangunan fisik-jasmani memiliki arti buat kehidupan. Pembangunan bukan untuk pembangunan, tetapi untuk manusia yang mendiami Indonesia.

Jiwa-rohani hanya bisa dibangun dengan ajaran Tuhan. Tidak bisa dengan matematika, fisika, kimia atau sebutlah sains dan teknologi. Sains teknologi tanpa Tuhan akan melahirkan manusia tanpa hati, manusia robot, atau paling banter seperti hewan terlatih. Ini mengerikan. Indonesia akan menjadi belantara gedung pencakar langit yang dihuni oleh manusia hewani: Survival of the fittest, kata Charles Darwin. Yang kuat yang bertahan hidup. Memangsa sesamanya tanpa belas kasih. Begitulah hewan, begitulah falsafah orang tak ber-Tuhan.

Mengubah kesepakatan dengan kekuasaan, tanpa menghiraukan jeritan komponen bangsa yang menjadi stake holder, pada hakekatnya adalah penindasan. Penindasan penguasa terhadap rakyat dan Itu adalah penjajahan. Sebuah kejahatan kemanusiaan yang sesungguhnya kita tolak sesuai alenia pertama Pembukaan UUD 1945. Lebih menyakitkan dari Penjajahan sebelumnya, karena ini justeru dilakukan oleh bangsa sendiri.

Tetapi memang, begitulah tabiat pertarungan. Setiap orang berupaya keras melumpuhkan lawannya hingga tidak berkutik. Itu sah belaka. Apalagi petarungnya menganut paham bebas nilai alias tidak berke-Tuhan-an. Menghadapi petarung yang begini, adalah satu kebodohan bila berharap mereka akan mengikuti aturan main. Jangan harap ada perasaan tersentuh mendengar jeritan dan suara kecewa serta keluh kesah. Bertarung sampai mampus, tidak ada belas kasih. Mereka adalah manusia tanpa hati di mana ilmu dan teknologi jadi alat pembunuh.

Sebagai pihak yang paling bertanggung jawab memerdekakan Indonesia, yang betanggung jawab melestarikan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, selama ini umat Islam memang terlalu polos. Selalu saja berprasangka baik. Tidak pernah merasa bertarung. Tidak sadar kalau mereka diposisikan sebagai lawan oleh kelompok tertentu. Akibatnya, ketika kena “pukulan” keras, mereka cuma berkeluh kesah, kesal dan kecewa:“Kenapa kami diperlakukan begini ?”

Dalam konteks RUU HIP – RUU BPIP dan adanya upaya menyamakan khilafah dengan komunisme, misalnya, masih ada juga umat Islam yang menilai hal ini disebabkan kelompok tertentu itu dungu, bodoh, tidak faham tentang Pancasila dan khilafah. Inilah pertanda tidak sadar bahwa mereka sedang menghadapi pertarungan. Menganggap lawan bertindak tanpa rencana, tanpa perhitungan dan tujuan.

Halaman selanjutnya

Pages: 1 2 3 4 5 6

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.