Kamis, 25 April 24

Menangisi Nasib Rohingya yang Nestapa

Menangisi Nasib Rohingya yang Nestapa
* Warga muslim Rohingya. (Foto: http://bdnews24.com)

Oleh: Rinaldi Munir, Dosen Teknik Informatika ITB

 

Kekerasan terhadap warga Rohingya di Myanmar yang dilakukan oleh tentara Myanmar dan sebagian massa Budha radikal mewarnai pemberitaan dunia hari-hari ini. Media setiap hari memberitakan pembunuhan keji yang dilakukan oleh tentara Myanmar kepada warga Rohingya di negara bagian Rakhine (Arakan). Kaum lelaki dibunuh dan dibakar, para perempuan diperkosa,  anak-anak yang melindungi ibunya dipotong lehernya dengan pisau, rumah-rumah mereka dibakar (Baca: Mengerikan, Kekerasan Tentara Myanmar terhadap Rohingya). Puluhan ribu orang yang selamat melarikan diri ke perbatasan Bangladesh menyeberangi sungai Naf. Perahu yang sarat penumpang itu ada yang terbalik menghanyutkan penumpangnya, yang akhirnya menjadi mayat-mayat yang terdampar di pinggir sungai. Ethnic cleansing atau genosida sedang dilakukan oleh tentara dan Pemerintah Myanmar.

Orang Rohingya adalah etnik yang tidak diakui oleh negara Myanmar. Mereka dianggap imigran dari Bangladesh yang memasuki wilayah Rakhine, meskipun menurut sejarah mereka sudah tinggal di Rakhine beberapa generasi. Secara fisik mereka berbeda dengan orang Myanmar pada umumnya. Orang Rohingya berkulit gelap (hitam) dan, sedangkan orang Burma (suku terbesar di Myanmar) berkulit putih. Bahasa mereka juga berbeda dengan bahasa di Myanmar. Satu pembeda lain dengan warga Myanmar adalah agama. Penduduk Myanmar umumnya beragama Budha, sedangkan orang Rohingya ini beragama Islam. Kelak soal agama ini juga ikut memicu ketegangan rasial antara warga Rohingya dengan kelompok Budha yang dipimpin oleh Bhiksu radikal.

Pemerintah dan warga Myanmar menyebut mereka Bengali ketimbang Rohingya. Jumlah mereka mencapai 1,1 jiwa yang sebagian besar hidup di Rakhine. Karena tidak diakui sebagai warganagera yang sah, maka warga etnik Rohingya tidak mendapat hak-hak seperti hak pendidikan, hak politik, kesehatan, hak mendapat pekerjaan formal, dan lainnya. Mereka didiskriminasi dalam segala bidang. Pemerintah dan warga Myanmar membenci warga Rohingya dan menjadikan mereka sebagai musuh bersama yang harus dijauhi dan diusir dari Myanmar. Malangnya, Bangladesh pun tidak mengakui mereka sebagai warga Bangladesh. Jadilah orang Rohingya menjadi stateless, tidak memiliki kewarganegaraan apapun. Faktor stateless inilah yang menjadi pemicu awal diskriminasi terhadap orang  Rohingya.

Hampir setiap waktu terjadi aksi kekerasan terhadap orang Rohingya. Tak tahan dengan kekerasan yang terus menerus yang dialami etniknya, maka sekelompok kecil warga Rohingya akhirnya menjadi militan dan melakukan perlawanan mengangkat senjata. Mereka sudah putus asa dan sudah kehilangan harapan untuk hidup.  Dalam pikiran mereka, jika pun masih hidup, maka nanti akan mati juga di tangan tentara atau warga Myanmar. Satu-satunya jalan adalah melawan, mau mati atau hidup sudah tidak ada harapan lagi, mungkin begitu yang terlintas di kepala mereka. Kelompok militan yang dinamakan ARSA ini  menyerang pos polisi dan tentara, membunuh target yang mereka temui. Rupanya, aksi kekerasan yang dilakukan oleh ARSA ini berimbas kepada warga Rohingya lain yang tidak berdosa. Mereka menjadi target tentara Myanmar untuk memburu kelompok militan itu, dengan alasan tidak bisa membedakan mana militan dan  mana warga biasa. Dengan keji tentara Mynamar membunuh warga Rohingya yang tidak bersalah, membakar rumah-rumah mereka, sehingga menghasilkan arus pengungsian seperti yang saya sebutkan di bagian awal.

Sesungguhnya pengusiran dan pembunuhan warga Rohingya sudah berlangsung selama puluhan tahun. Sekarang saja puncaknya karena ada momentum untuk menjadi alasan pembenaran aksi kekejaman itu, yaitu sebagian warga Rohingya dianggap teroris yang  harus dibasmi.

Kebetulan warga Rohingya ini beragama Islam, maka solidaritas dan aksi demo di negara-negara muslim pun marak memprotes kekejaman tentara Myanmar. Di tanah air, solidaritas kepada warga  Rohingya memancing sekelompok orang lain untuk bersikap sebaliknya. Kelompok ini sepertinya tidak memiliki hati nurani. Aksi keji tentara dan warga Myanmar terhadap warga Rohingya tidak mampu menumbuhkan empati pada diri mereka. Mereka malah nyinyir kepada warganet (netizen) yang memberikan rasa empati dan simpati mereka kepada Rohingnya. Mereka malah menyalahkan orang  Rohingya sebagai pendatang dari Bangladesh yang tidak tahu diri. Sudahlah “mengambil” tanah orang, lalu membuat gaduh di sana, begitu kata mereka. Terhadap orang Indonesia yang ikut-ikutan membela Rohingya, kelompok ini berkata sinis sebagai berikut: tidak perlu jauh-jauh membantu orang Rohingya, masih banyak warga kita yang perlu dibantu itu urusan dalam negeri Mynamar, ngapain kita ikut campur; kalau mau berjihad, silakan saja pergi ke sana; ujung-ujungnya nanti yang disalahkan adalah Jokowi; dan sebagainya.  Perpecahan bangsa akibat Pilpres dan Pilkada masih berlanjut hingga ke masalah Rohingya ini. Astaghfirullah.

Padahal, tidak perlu menjadi muslim untuk ikut bersimpati kepada penderitaan warga Rohingya. Menjadi manusia saja sudah cukup untuk ikut merasakan nestapa orang Rohingya yang teraniaya. Mereka terlahir menjadi Rohingya bukanlah keinginan mereka.  Meski mereka tidak memiliki kewarganegaraan, tapi bukan berarti manusia, dalam hal ini tentara Myanmar, boleh semena-mena memperlakukan mereka sebagai anjing kurap yang harus dibasmi. Siapapun manusia di dunia yang teraniaya karena nasibnya yang malang, apapun etnis dan agamanya, maka sebagai manusia lain yang lebih beruntung minimal kita berempati kepada nasib mereka ini. Hak asasi manusia untuk hidup harus dihormati.

Di sisi lain, meskipun kita warga muslim Indonesia berempati dan membela Rohingya, jangan sampai pula kita membuat fallacy yang membahayakan. Meskipun mayoritas warga Myanmar beragama Budha, tetapi warga Budha di Indonesia sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kekerasan yang dilakukan warga Budha Myanmar terhadap warga Rohingya. Konflik di tanah Arakan itu bukan konflik berlatarbelakang agama.  Jadi, sungguh perbuatan salah jika vihara, bhiksu, dan warga Budha di tanah air menjadi sasaran kemarahan. Stop membuat kesimpulan ngawur dan sesat. (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.