Rabu, 24 April 24

Memprihatinkan! Penyelenggaraan JKN Masih Hadapi Sejumlah Masalah

Memprihatinkan! Penyelenggaraan JKN Masih Hadapi Sejumlah Masalah
* Jumpa pers Forum Nasional VIII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) di FK-KMK UGM, Rabu (7/11/2018). (Foto: Humas UGM)

Yogyakarta, Obsessionnews.com – Memprihatinkan! Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menginjak tahun kelima masih menghadapi berbagai permasalahan dalam pelayanan kesehatan, tata kelola, maupun pembentukan kebijakan. Sementara itu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan meski memberi manfaat kepada ratusan juta masyarakat Indonesia secara keseluruhan, namun berdasar hasil penelitian sementara terhadap delapan sasaran peta menuju JKN dapat dinyatakan belum tercapai semuanya.

Bahkan BPJS Kesehatan hingga kini mengalami defisit anggaran lebih dari Rp10 triliun. Jika dihitung dari tahun-tahun sebelumnya, tunggakan BPJS Kesehatan mencapai Rp16 triliun dan saat ini sudah dibayar oleh Kementerian Keuangan sebesar Rp4,9 triliun.

Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. dr. Laksono Trisnantoro., M.Sc., Ph.D menuturkan, defisit keuangan yang mendera Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sesungguhnya tidak hanya disebabkan peserta mandiri yang menunggak iuran. Hasil penelitian menunjukkan karena tidak tepatnya sasaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari pemerintah sebagai peserta JKN, serta sosialisasi yang salah juga turut menjadi andil penyebab membengkaknya angka defisit keuangan BPJS.

“Sumber defisit paling banyak dari kelompok mandiri atau PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah). Ini kelompok yang paling bermasalah,” katanya dalam jumpa pers Forum Nasional VIII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) di FK-KMK UGM, Rabu (7/11/2018).

Dikutip obsessionnews.com dari keterangan tertulis Humas UGM, Kamis (8/11), dalam jumpa per situ Trisnantoro menyebut sebanyak 46 persen peserta mandiri tidak teratur membayar premi, sehingga membuat anggaran BPJS Kesehatan minus. Premi yang dibayarkan dengan manfaat yang diperoleh peserta yang tidak seimbang juga turut andil dalam permasalahan ini. Premi PBPU kelas 1 hanya Rp80.000 sementara fasilitas yang diperoleh cukup besar.

Dr. dr. Deni Sunjaya, DES dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran menambahkan, faktor tunggakan peserta mandiri sebenarnya bukan satu-satunya faktor yang menjadi biang kerok defisit keuangan BPJS. Menurutnya, setelah dilakukan penelitian kondisi pelaksanaan program JKN di 13 kabupaten/kota di Jawa Barat maka ditemukan pendataan atau pemetaan peserta tidak tepat.

“PBI yang dulu didaftar sebagai peserta JKN oleh Kemensos (Kementerian Sosial), ternyata di lapangan banyak yang seharusnya PBPU (peserta mandiri). Ada PBPU yang juga sudah meninggal,” katanya.

Deni menjelaskan sosialisasi BPJS Kesehatan selama ini juga masih kurang tepat dan lebih patut disebut diseminasi informasi, bukan sosialisasi. Sosialisasi yang tepat, menurutnya, bisa membuat orang patuh membayar.

Ia mengakui untuk mengubah perilaku masyarakat Indonesia tidak mudah, karena banyak peserta mandiri yang membayar premi hanya di saat sakit. Mereka tidak paham jika membayar premi bisa membuat program ini terus berkelanjutan.

“Perilaku saat masih menjadi peserta Askes terbawa sampai sekarang,” tandasnya.

Kendati sudah ada standar pelaksanaan program BPJS Kesehatan secara nasional, Deni berharap berbagai inovasi di daerah perlu untuk mendapat perhatian. Pegawai BPJS Kesehatan di tingkat daerah harus mampu bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mencari terobosan yang tepat untuk peserta BPJS Kesehatan di daerahnya masing-masing.

Sementara itu Shita Listyadewi dari FKKMK UGM berharap penyelenggaraan Forum Nasional ke VIII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dapat memberikan masukan untuk pengambilan kebijakan masa depan JKN. Forum ini diharapkan pula berdampak adanya kerja sama antara pengambil  kebijakan di tingkat pusat dan daerah dengan para analis kebijakan di tingkat perguruan tinggi. (red/arh)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.