Sabtu, 20 April 24

Mega Digulingkan, Meletus Sabtu Kelabu 27 Juli

Mega Digulingkan, Meletus Sabtu Kelabu 27 Juli
* Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri.

Jakarta, Obsessionnews – Dyah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri, itu nama lengkap Presiden kelima RI yang lebih populer dengan nama Megawati Soekarnoputri ini. Ia akrab disapa Mbak Mega. Mega tak hanya mewarisi kharisma ayahnya, Presiden pertama RI Ir. Sukarno, tetapi juga menjadi simbol perjuangan. Jika Sukarno menjadi simbol perjuangan gigih melawan penjajah, Belanda dan Jepang, sekaligus bersama Mohammad Hatta menjadi proklamtor Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, sedangkan Mega menjadi simbol perjuangan melawan tindakan represif pemerintahan rezim Orde Baru (Orba) dan rekan-rekan di partai yang mengkhianatinya.

Mega terjun ke dunia politik dan bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tahun 1987. PDI didirikan tanggal 10 Januari 1973, dan merupakan fusi (penggabungan) dari beberapa partai, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik. PNI adalah partai yang didirikan ayah Mega. (Baca: Megawati dan Tragedi Berdarah 27 Juli 1996)

Pada masa pemerintahan Orba hanya terdapat tiga partai, yakni Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan PDI. Golkar mesin utama Orba yang didukung ABRI, birokrasi, dan kader-kader Golkar. Partai beringin ini didirikan oleh Presiden Soeharto. Jenderal Besar ini juga duduk sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar. Oleh karena itu, Orba identik dengan Golkar dan Soeharto.

Rezim Orba dengan berbagai cara memenangkan Golkar. Dalam enam kali pemilu, yakni Pemilu 1971, Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992, dan Pemilu 1997, Golkar selalu tampil sebagai juara. Sementara PPP dan PDI menduduki peringkat kedua dan ketiga.

Soeharto berkepentingan Golkar tetap yang terbesar untuk melanggengkan kekuasaannya. Dia tak menginginkan PPP dan PDI menjadi besar. Oleh karena itu dia mengobok-obok kedua partai itu. (Baca: Waspadai Kebangkitan Soehartoisme)

Di bawah tekanan rezim Orba, pada Pemilu 1987 Mega berhasil melenggang ke Senayan, sebutan Gedung MPR/DPR di Senayan, Jakarta Pusat. Pada Pemilu 1992 Mega kembali terpilih menjadi anggota DPR.

Salah seorang tokoh yang berperanan besar mengajak Mega terjun ke pentas politik adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Soerjadi. Dalam Kongres IV PDI di Asrama Haji Pangkalan Mansyur, Medan, Sumatera Utara, 21-25 Juli 1993, Soerjadi terpilih kembali menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998. Namun, pemerintah tak mengakui Soerjadi, sehingga pemerintah membentuk caretaker DPP PDI yang dipimpin Ketua Umum Latief Pudjosakti. Caretaker ini bertugas menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, 2-6 Desember 1993.

Namun, terjadi kekisruhan. Sebagian besar peserta menolak Budi Hardjono yang didukung oleh caretaker DPP PDI dan pemerintah. Di saat yang amat genting itu, tiba-tiba para pendukung Mega secara resmi memunculkan nama Mega sebagai calon ketua umum periode 1993-1998. Tetapi, pencalonan Mega ditolak oleh kubu Budi Hardjono. Penolakan itu tak ada artinya, karena begitu kuatnya dukungan terhadap Mega dari arus bawah. Dan akhirnya Mega terpilih menjadi orang nomor satu di partai berlambang kepala banteng itu.

Terpilihnya Mega menjadi ketua umum PDI membuat pemerintah seperti kebakaran jengggot. Pemerintah jelas tidak senang, karena Mega menjadi ancaman bagi Golkar. Pemerintah khawatir PDI akan menjadi pemenang pada Pemilu 1997 dan Mega menjadi calon presiden dalam Sidang Umum MPR 1998. Pemerintah semakin gerah ketika pada akhir 1995 beredar formulir di kalangan anggota Fraksi PDI DPR untuk mencalonkan Mega sebagai presiden. Adalah Wakil Ketua Komisi VI DPR dari F-PDI Aberson Marle Sihaloho yang berinisiatif mengedarkan formulir tersebut.

Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menggulingkan Mega melalui kongres PDI tandingan. Dan upaya itu berhasil. Sebanyak 16 pengurus DPP PDI yang dimotori Fatimah Achmad mengkhianati Mega dan menggelar Kongres V PDI di Asrama Haji Pangkalan Mansyur, Medan, 20-22 Juni 1996. Kongres ini didukung oleh pemerintah dengan kehadiran Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memet, Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung, dan Kassospol ABRI Letjen Syarwan Hamid. Dalam Kongres V tersebut Soerjadi yang direstui pemerintah terpilih menjadi ketua umum. Padahal sebelumnya pemerintah tak mengakui Soerjadi ketika terpilih menjadi ketua umum dalam Kongres IV PDI di Medan tanggal 21-25 Juli 1993.

Penyerbuan Kantor DPP PDI

Sementara itu Mega tak mau mengakui kepemimpinan Soerjadi. Mega tetap menganggap dirinya adalah ketua umum PDI yang sah. Para pendukung Mega mengecam pemerintah yang memfasilitasi Kongres V PDI, dan mereka pun tak sudi mengakui Soerjadi sebagai bos PDI.

Kemarahan para pendukung Mega terhadap Soerjadi dan rezim Orba dilampiaskan melalui mimbar bebas di kantor DPP PDI, Jl. Diponegoro No. 58 Menteng, Jakarta Pusat. Yang memberikan orasi adalah tokoh-tokoh PDI dan sejumlah aktivis pro demokrasi, antara lain Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan Budiman Sudjatmiko.

Sabtu 27 Juli 1996, sekitar pukul 06.00 WIB, ratusan warga PDI pimpinan Soerjadi yang dibantu aparat keamanan dari ABRI dan Polri mengambil alih kantor DPP PDI yang masih diduduki massa PDI pimpinan Mega. Dalam peristiwa berdarah tersebut dikabarkan puluhan pendudukung Mega meninggal dunia dan banyak yang terluka. Selain itu sejumlah orang ditahan. Meletusnya peristiwa Sabtu kelabu itu menyebabkan kerusuhan di beberapa lokasi di Jakarta. (Baca: Kantor PDI Saksi Bisu Kebengisan Rezim Orde Baru)

Kantor DPP PDI yang rusak parah dinyatakan pemerintah status quo sampai batas yang tidak ditentukan dan dijaga oleh aparat kepolisian.

DPP PDI pimpinan Mega bersama pengacara RO Tambunan, Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mengadukan Soerjadi dan sejumlah pengurus DPP PDI hasil Kongres V Medan ke Polda Metro Jaya sehubungan penyerbuan markas DPP PDI. Namun, pengaduan itu dianggap angin lalu.

Diusir dari Kantor Baru

Intimidasi politik pemerintah terhadap Mega makin menjadi-jadi setelah pengambilalihan kantor DPP PDI. Mega menggunakan rumahnya di Jl. Kebagusan IV Jakarta Selatan sebagai tempat berkumpul dan melakukan konsolidasi partai dengan para pendukungnya.

Namun sejak Senin 9 September 1996 Mega dan Sembilan fungsionaris DPP PDI menempati kantor baru di Jl. Raya Tengah No. 1 Condet, Jakarta Timur. Di kantor baru itu mereka menyusun daftar calon sementara (DCS) anggota DPR untuk kepentingan mengikuti Pemilu 1997. Namun, ketika Soetardjo Soerjogoeritno, Kwik Kian Gie, Alexander Litaay, dan Haryanto Taslam, yang didampingi RO Tambunan, menyerahkan DCS ke Lembaga Pemilihan Umum (LPU), Senin 16 September 1996 siang, mereka ditolak oleh pejabat hubungan masyarakat LPU Zumady dan Wakil Kepala Biro Pengamanan Sayadi. Sebab, LPU hanya mengakui DCS versi PDI pimpinan Soerjadi yang direstui pemerintah.

Sebelas hari setelah daftar calon anggota legislatif (caleg) PDI pimpinan Mega ditolak oleh LPU, Mega dan fungsionaris DPP PDI diusir dari kantor baru berupa rumah bertingkat dua yang dikontrak itu. Walikota Jakarta Timur Sudarsono secara resmi melarang kegiatan DPP PDI di kantor tersebut, Jumat 27 September 1996.

Pada Pemilu 1997 Mega menyerukan kepada kader-kader PDI yang masih setia pada dirinya untuk menggunakan hak pilihnya. Tetapi, Mega sendiri tak menggunakan hak pilihnya.

Menolak Soeharto Jadi Presiden Lagi
Berbagai tindakan represif rezim Orba terhadap Mega ditambah krisis moneter sejak Juli 1997, membuat Mega semakin gencar melakukan perjuangan dan perlawanan demi kebenaran. Hal itu tercantum dalam pidato politik Mega pada HUT ke-25 PDI di rumahnya, 10 Januari 1998, meski acara tersebut dilarang oleh pemerintah.

Dalam pidatonya itu Mega menyatakan siap mencalonkan diri memimpin negeri dan bangsa Indonesia bila memang telah menjadi kehendak dan tuntutan rakyat.

Dalam kesempatan itu Mega juga menolak Soeharto dicalonkan kembali menjadi presiden ketujuh kali dalam Sidang Umum MPR 1-11 Maret 1998. “Pada kesempatan ini saya mengimbau seluruh rakyat Indonesia tidak lagi mencalonkan kembali Soeharto menjadi presiden ketujuh kali, karena masa jabatan presiden yang lebih dari 30 tahun cenderung menjurus pada upaya menjadikan diri Soeharto presiden seumur hidup. Bangsa Indonesia tidak boleh melakukan kesalahan untuk kedua kali. Mempersiapkan suksesi kepemimpinan nasional secara damai agar bangsa Indonesia mampu keluar dari krisis kepercayaan,” kata Mega.

Tetapi Soeharto kembali terpilih menjadi presiden dalam Sidang Umum MPR 1-11 Maret 1998. Dua bulan kemudian, tepatnya Kamis 21 Mei 1998, pukul 09.05 WIB, para pendukung rezim Orba bermuram durja. Pasalnya, saat itu Soeharto berhasil dipaksa keluar dari Istana Presiden oleh gerakan reformasi. Sang diktator itu kemudian digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie.

Setelah jatuhnya Soeharto itu banyak bermuculan partai-partai baru. Mega mendeklarasikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Stadion Utama Senayan, Jakarta Pusat, Minggu 14 Februari 1999, yang dihadiri ratusan ribu orang. Bendera PDI-P yang berlambang kepala banteng dalam lingkaran dikibarkan, sedangkan bendera PDI lama dengan gambar kepala banteng dalam segi lima diturunkan.

PDI-P berkantor di Jl. Lenteng Agung, Jakarta Selatan. PDI-P memenangkan Pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama di era reformasi. Dalam Sidang Umum MPR tahun 1999 Megawati terpilih menjadi Wakil Presiden, sedangkan yang menjadi Presiden adalah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Selanjutnya naik kelas menjadi Presiden pada tahun 2001, menggantikan Gus Dur yang diberhentikan oleh MPR.

Pada Pemilu 2004 perolehan suara PDI-P merosot dan harus puas duduk di peringkat kedua setelah Golkar. Perolehan suara PDI-P kembali melorot pada Pemilu 2009. PDI-P berada di urutan ketiga setelah Partai Demokrat dan Golkar.

Pada Pemilu 2014 barulah PDI-P bangkit kembali dan menjadi pemenang. Selain itu juga sukses mengantarkan seorang kadernya, Joko Widodo (Jokowi), menjadi Presiden periode 2014-2019.

Senin (1/6/2015) bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, Megawati meresmikan kantor baru DPP PDI-P di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta Pusat, Senin. Megawati menandatangani prasasti di depan kantor baru PDI-P tersebut. “Satu Juni 2015 ini dengan mengucapkan bismillah maka kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan yang dari dulu telah kita miliki dan telah dibangun kembali, dengan ini resmi dibuka,” kata Megawati yang disambut tepuk tangan meriah para kader PDI-P.

Rencana pembangunan kembali gedung lama PDI-P tersebut telah digalang sejak 10 tahun lalu. Gedung berdinding putih dengan pilar-pilar merah darah yang direnovasi dengan biaya Rp 42,6 miliar itu menggantikan kantor lama PDIP yang beralamat di Lenteng Agung, tepi selatan Jakarta. Seluruh kegiatan operasional dikendalikan di kantor baru sejak 17 Juni 2015, sementara kantor lama di Lenteng Agung dijadikan pusat pelatihan kader serta organisasi sayap partai.

Sejak dideklarasikan tahun 1999 hingga kini Mega awet memegang jabatan ketua umum DPP PDI-P. Hal ini membuktikan Mega amat dicintai kader-kader PDI-P. (Arif RH)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.