Selasa, 23 April 24

Mbak Sukma Tidak Boleh Sinis pada Islam

Mbak Sukma Tidak Boleh Sinis pada Islam

Oleh: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute

 

Kontroversi baca puisi Ibu Indonesia oleh Mbak  Sukma sontak membawa saya ke massa silam. Ketika bapaknya, Bung Karno remaja mondok di rumah bapak HOS Cokroaminoto. Tokoh sentral Sarikat Islam.

Ulama dan aktivis pergerakan Islam yang waskita dan punya intuisi tajam ini berjasa besar dalam mendidik dan membentuk karakter Sukarno.  Bukan itu saja. Kalau kita resapi ceramah Dr Haekal. Pak Cokro kerap kali mempertemukan Bung Karno dengan beberapa ulama, kiai dan beberapa habaib. Untuk berguru dan berkhidmat.

Jikalau menghayati sekelumit sejarah bapaknya di kala muda, Mbak Sukma semestinya tidak boleh sinis pada Islam berikut atribut Islam yang menyertainya. Apalagi mengandung celaan dan nyinyir.

Anak biologis seorang tokoh memang jarang yang bisa mengikuti jejak orang tuanya. Namun saya sulit buat menghargai anak anak biologis yang tidak menghayati sejarah hidup dsn cita cita orang tuanya. Setidaknya anak anak biologis harus mencari tahu siapa dan melalui sarana apa orang tuanya jadi orang yang berhasil.

Kalau seorang Sukmawati membaca otobiografi bapaknya,  Penyambung Lidah Rakyat,  dengan hati dan pikiran terbuka. Seketika akan tersadar betapa besar andil para kiai dan ulama sebagai wasilah untuk menurunkan ilmu dan ajaran Islam ke dalam jiwa dan pikiran Sukarno.

Jikalau Sukmawati dengan hati dan pikiran terbuka menyimak pidato-pidato Bung Karno di acara kenegaraan seperti Maulid. Nuzulul Quran atau hari hari besar Islam lainnya. Nampak melalui pidato beliau ruh Islam memancar kembali dan hidup. Apinya Islam memancar. Bukan abunya Islam. Meminjam istilah Syech Amir Ali.

Hal itu tidak mungkin jika Sukarno belajar Islam lapis kulit luarnya aja. Pastilah melalui para ulama dan kiai. Ilmu dan ajaran Islam berhasil dipertautkan ke dalam pribadi Sukarno. Sang  Proklamator dan Presiden pertama RI.

Jasa dan andil sejarah Islam melalui wasilah para ulama dan kiai dalam membentuk karakter kepemimpinan Sukarno setidaknya harus tertanam dalam ingatan putra putrnya. Meskipun hanya anak biologis sekalipun.

Kecuali kalau sebagai anak biologis pun mereka tidak sayang pada bapaknya. Cuma merindukan sosok bapaknya. Tapi ogah menghayati  impian dan cita-cita bapaknya.

Sialnya, ini gejala umum yang juga terjadi pada putra putri biologis para tokoh nasional kita sekarang. Sukmati agaknya bukan satu satunya.

Inilah yang kadang bikin saya sedih.

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.