
Jakarta, Obsessionnews.com —- Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil menjadi sasaran serangan balik (fight back) para mafia tanah. Juru Bicara Kementerian ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi pun buka suara.
Menurut Teuku Taufiqulhadi, Sofyan Djalil menjadi sasaran serangan balik Mafia Tanah, karena Sofyan Djalil telah berhasil membuat kemajuan besar dalam bidang pertanahan.
“Paling utama dan sangat penting, Sofyan Djalil mengejar para mafia tanah sampai ke ujung langit,” kata Teuku Taufiqulhadi dalam keterangan, Jumat (22/10/2021).
Misalnya, Sofyan Djalil membentuk Satgas Antimafia Tanah untuk pertama kali dalam sejarah kementerian ATR/BPN. Bahkan ia bersumpah, negara tidak boleh kalah dengan para mafia tanah.
“Dulu, semua pihak menikmati kondisi yang tanpa Satgas Antimafia Tanah. Akibatnya para mafia merajalela. Tapi meski merajalela, semua menganggap aman tanpa mafia,” ungkapnya.
Kini berbeda, publik jadi tahu semua bahwa mafia itu sangat banyak karena langkah Menteri Sofyan Djalil ini. Para mafia menjadi kalang-kabut. Yang pada akhirnya mereka mengerahkan segala kekuatan untuk menyerang balik Sofyan Djalil.
“Bahkan ada meminta mundur. Tangan-tangan yang pro-mafia pun kini bergerak dengan kekuatan penuh, dan mempersoalkan hal-hal yang tidak relevan dengan wewenang Kementerian ATR/BPN, atau menggugat sesuatu yang telah baik di Kementerian ATR/BPN,” katanya.
Ia menyebutkan misalnya masalah HGU dan HGB. Untuk diketahui HGU ini adalah wewenang gubernur untuk memberikan kepada suatu korporasi. Sedangkan wewenang BPN hanya pada persoalan mengadministrasikan saja, yaitu memberikan hak berupa HGU atau HGB.
“Maka seharusnya ketika direkomendasikan, harus sudah dipahami keadaannya. Jika sudah diduduki masyarakat, maka sebaiknya diselesaikan dulu dengan masyarakat. Korporasi dan pemda harus sudah membereskan keadaan tersebut terlebih dahulu,” terang dia.
Konflik agraria kata Teuku Taufiqulhadi juga bisa terjadi di tanah negara. Misalnya tanah yang dikusai PTPN yang berkonflik dengan masyarakat. Konflik agraria di lahan PTPN tidak bisa diselesaikan oleh BPN karena itu domainnya Kementerian BUMN.
“Tapi Menteri BUMN pun tidak dengan gampang melepaskan aset negara agar konflik agraria selesai. Karena aset itu telah tercatat di perbendaharaan negara. Jadi Menteri Keuangan pun harus terlibat untuk menyetujuinya,”’papar Teuku Taufiqulhadi.
Soal pendapat pihak tersebut yang mengatakan bahwa ada surveyor kadaster luar yang bekerja untuk pengukuran tanah tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Menurut dia, hal itu merupakan pendapat yang salah sama sekali.
Teuku Taufiqulhadi menerangkan bahwa untuk pengkuran tanah, BPN bisa menggunakan tenaga dari luar yaitu juru ukur yang berlisensi. Juru ukur ini dapat lisensi dari lembaga resmi negara, yang telah lulus setelah mengikuti ujian dan dinilai layak mendapat lisensi.
“Mereka hadir karena dijamin oleh Permen Menteri ATR/Kepala BPN No. 33/2016 dan No. 11/2017. Ada undang-undangnya, dan karenanya dapat dipertanggungjawabkan,” ucap Teuku Taufiqulhadi.
Teuku Taufiqulhadi juga melutuskan tudingan pihak tersebut yang menyebut bahwa pengangkatan pejabat di BPN syarat dengan KKN. Menurut dia, justru sekaranglah pengangkatan pejabat dan mutasi pejabat di Kementerian ATR/BPN sepenuhnya berdasarkan prinsip-prinsip meritokrasi dan transparansi.
Setiap pegawai yang berminat untuk dipromosi, boleh mengajukan diri. Setelah itu, kementerian membentuk tim pemandu bakat. Ia diwawancara oleh tim ini, yang di dalam di antaranya ada menteri, sekjen dan para dirjen. Jika lulus, maka ia akan dimasukkan dalam “talent basket” dengan skor tersendiri.
Mereka yang telah berada dalam “basket” inilah diambil untuk mengsisi semua posisi di seluruh wilayah Indonesia dan juga pusat. Jika belum masuk “basket”, ia tidak bisa dipromosikan.
“Dengan sistem merit dan transparansi ini, Kementerian terhindar untuk bersikap like and dislike. Dan dengan demikian jauh dari KKN. Bahkan kini, Menteri saja tidak bisa sembarang menempatkan orang kecuali orang tersebut telah ada dalam basket tadi,” tukas dia. (Has)