Jumat, 29 Maret 24

Breaking News
  • No items

M Natsir, KH Muslich, dan SM Kartosuwirjo

M Natsir, KH Muslich, dan SM Kartosuwirjo
* Buku "Kesederhanaan dan Jejak-jejak Perjuangan KH Muslich" karya Anif Punto.

Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah, Sekretaris Majelis Pakar PP Parmusi  

 

AKHIR Desember 1950, Perdana Menteri M Natsir menugaskan KH Muslich untuk menyampaikan Amanat Pemerintah RI kepada “Tuan SM. Kartosuwirjo”.

Kiai Muslich dan Kartosuwirjo adalah dua sahabat lama, sesama aktivis Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).

Sesudah Dua Kali Ikhtiar

INI adalah ikhtiar ketiga yang dilakukan Natsir untuk melunakkan hati Kartosuwirjo yang merasa ditinggalkan oleh Republik lantaran Perjanjian Renville telah mengosongkan Jawa Barat dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Di masa permulaan Renville, Kartosuwirjo diminta oleh Bung Hatta untuk menjaga Jawa Barat. Dia bolak-balik ke Yogya bertemu Wakil Presiden, dan mendapat bantuan anggaran.

Menjelang Proklamasi Darul Islam, Natsir sedang berada di Bandung melaksanakan tugas dari Wakil Presiden Mohammad Hatta berkomunikasi dengan masyarakat Jawa Barat agar tetap mendukung Republik.

Natsir meminta kesediaan gurunya yang juga teman dialog Kartosuwirjo, Ustadz Ahmad Hassan, membawa surat tulisan tangan Natsir kepada Kartosuwirjo. Isinya singkat: “Jangan proklamasikan Darul Islam. Mari berjuang di dalam Republik Indonesia.”

Surat itu sampai di tangan Kartosuwirjo, persis pada saat Proklamasi DI dikumandangkan. Terlambat!

Mengapa terlambat? Karena Kartosuwirjo dijaga sangat ketat. Sesudah tiga hari berada di markas Kartosuworjo, barulah Ustadz Hassan dibolehkan bertemu Kartosuwirjo. Itupun sesudah Ustadz Hassan berkali-kali memperkenalkan diri: “Saya Hassan, Hassan Bandung.”

Kalaupun tidak terlambat, tidak mudah meyakinkan Kartosuwirjo. “Baginya yang berat ialah menjilat ludah kembali,” kata Natsir.

Ketika Natsir menjadi Perdana Menteri, dia mengeluarkan seruan: “Mari  Kita Kembali ke Republik!” Seruan itu ditujukan kepada kaum DI, orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI), gerombolan Merapi-Merbabu Complex (MMC), Laskar Harimau Liar di Sumatera Utara.

Seruan itu kurang berhasil, antara lain karena menyangkut niat baik TNI untuk menerima mereka kembali sebagai teman seperjuangan.

Yang terjadi justru insiden seperti yang menimpa pasukan DI pimpinan Amir Fatah di Tegal yang hendak menyerahkan diri. Bukan diterima baik-baik, mereka malah ditangkap. Akibatnya, yang lain tidak jadi turun gunung.

 

Kartosuwirjo Melunak

DENGAN demikian, tugas yang diemban Kiai Muslich adalah ikhtiar ketiga untuk menyelesaikan persoalan DI tanpa pertumpahan darah.

Tugas itu dilaksanakan oleh Kiai Muslich dengan baik. Sama seperti Ustadz Hasan, Kiai Muslich  berhasil menemui Kartosuwirjo di tempat persembunyiaannya. Suasana pertemuan, bahkan berlangsung lebih baik.

Sebagai dua sahabat yang lama tidak bertemu, keduanya melepas rindu dengan saling berpelukan, saling bertanya kabar, dan saling bernostalgia.

Sesudah itu, Kiai Muslich menyampaikan missinya bahwa Pemerintah Republik ingin agar Kartosuwirjo kembali ke pangkuan Indonesia. Kartosuwirjo diharapkan bersedia berunding, dan menghentikan perlawanan bersenjata kepada Pemerintah RI.

Kiai Muslich menangkap kesan, sikap Kartosuwirjo melunak. Kartosuwirjo mengatakan, akan mempertimbangkan Amanat Pemerintah RI yang disampaikan oleh Kiai Muslich.

Bagi Kiai Muslich, sikap Kartosuwirjo seperti itu, merupakan sinyal positif.

Sesudah pembicaraan selesai, Kartosuwirjo memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengawal Kiai Muslich sampai ke tempat yang benar-benar aman.

Ketika rombongan sedang menuruni lereng, tiba-tiba terdengar serentetan tembakan. Rupanya ada sepasukan tentara yang sedang memburu Kartosuwirjo. Melihat ada rombongan keluar dari hutan, dan sebagian bersenjata, tanpa bertanya lebih dahulu, pasukan itu langsung memberondong rombongan Kiai Muslicg dengan tembakan.

Dalam insiden ini, Kiai Muslich selamat, tapi orang kepercayaan Kartosuwirjo gugur.

Kiai Muslich sangat menyesali peristiwa itu. Misinya yang sudah menunjukkan sinyal positif, meredup. Sejak saat itu, Kartosuwirjo tidak mau berunding lagi dengan siapa pun.

Sesudah Perdana Menteri Natsir mengundurkan diri, dan digantikan oleh Soekiman Wirjosandjojo, Kartosuwirjo mengumumkan: “Sejak saat ini tidak ada lagi hubungan dengan Pemerintah RI.”

Merawat Anak Kartosuwirjo

DUA BELAS tahun kemudian, tepatnya pada 12 September 1962, Kartosuwirjo yang telah ditangkap, dan diadili,  dieksekusi mati.

Tidak lama sesudah Kartosuwirjo dihukum mati, Kiai Muslich yang tinggal di Jl. Sunan Giri, Rawamangun, Jakarta Timur, kedatangan tamu yang membawa dua anak:  perempuan dan laki-laki.

Yang perempuan bernama Ratna adalah putri orang kepercayaan Kartosuwirjo, sedangkan yang laki-laki, biasa dipanggil Ucup, anak Kartosuwirjo.

“Pak Natsir meminta saya merawatnya,” kata Kiai Muslich, tokoh NU yang dikenal sederhana.

Ratna disekolahkan oleh Kiai Muslich hingga menjadi guru. Sesudah menikah, dia ikut suaminya.

Ucup hanya sekitar satu tahun tinggal bersama Kiai Muslich.[]

(Sumber: Anif Punto Utomo, Kesederhanaan dan Jejak-jejak Perjuangan KH Muslich, Jakarta, Sinergi Aksara, Januari 2019, halaman 109-111.)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.