Rabu, 24 April 24

Listrik 35.000 MW, RR dan Bandung Bondowoso

Listrik 35.000 MW, RR dan Bandung Bondowoso

Oleh:  Edy Mulyadi*

Apa kabar program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW? Mangkrak! Paling tidak, begitulah diksi yang dipilih Presiden Joko Widodo tentang program ambisius yang digagas di awal pemerintahannya tersebut. Mantan Walikoto Solo itu menilai, progres pembangunan pembangkit 35.000 MW amat lambat. Bayangkan, sampai 24 November 2016, yang berhasil dieksekusi hanya 36% dari target kumulatif tahun 2016.

Memang, ada banyak kendala menghadang. Mulai dari penyediaan lahan, ketersediaan anggaran, regulasi dan perizinan, sampai pada pemilihan sumber energi yang tepat guna.  Namun yang pasti, jika tidak segera diatasi dalam tiga tahun ke depan Indonesia akan dilanda krisis listrik yang parah.

Berdasarkan data Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, kondisi sistem kelisrikan nasional memang  masih jauh untuk disebut aman. Sampai 21 November 2016 saja, sedikitnya masih ada tiga wilayah yang mengalami defisit. Yaitu, Kalimantan Selatan dan Tengah (Kalselteng), Kupang, dan Jayapura. Hanya tercatat tujuh wilayah yang bisa disebut normal, yaitu Jawa-Bali, Lombok, Batam, dan Tanjung Pinang. Tiga wilayah lainnya adalah Palu, Sulawesi Utara dan Gorontalo (Sulutgo), dan Ternate.

Dari sini jadi terjawab penyebab masih belum meratanya listrik di seluruh pelosok Indonesia. Menilik angka-angkanya, lumayan mengerikan. Bayangkan, hingga kini masih ada 12.659 desa yang belum sepenuhnya menikmati listrik. Bahkan, 2.519 desa di antaranya masih gelap-gulita.

Bicara tentang rasio elektrifikasi, di negeri ini memang masih terbilang rendah. Sampai akhir 2015, baru mencapai 88,3%. Bahkan masih ada empat provinsi yang rasionya berada di bawah 70%. Keempat provinsi itu adalah Kalteng, Sultra, NTT, dan Papua. Pertumbuhan rasionya juga masih lambat. Hingga September 2016, angkanya baru naik menjadi 89,86%. Jokowi berharap hingga akhir masa jabatannya di 2019, rasio elektrifikasi bisa dikerek menyentuh 97,35%.

Bagaimana dengan negara-negara ASEAN lainnya? Tabel di bawah ini menggambarkan kita berada di posisi paling buncit. Pada umumnya rasio elektrifikasi mereka mendekati 100%, kecuali Singapura yang sudah mentok di 100%. Indonesia bahkan kalah walau harus melawan Thailan dan Vietnam, yang masing-masing sudah mencapai 99,3% dan 98%.

Harus kerja ekstra keras

Sebetulnya, bagaimana progres rencana pembangunan pembangkit 35.000 MW. Berdasarkan data di bawah ini, kondisinya memang benar-benar memerlukan kerja ekstra keras. Dari target 35.000 tadi (tepatnya 35.627 MW), PLN kebagian jatah membangun 10.500 MW lebih. Sedangkan sisanya yang masih 25.000 MW diserahkan kepada swasta.

Bagian PLN itu sendiri masih 64% yang statusnya belum teken kontrak. Sedangkan jatah swasta yang belum ada power purchase agreement (PPA) dengan PLN tersisa 46%. Artinya, ya itu tadi, harus kerja ekstra keras.

Nah, dengan kondisi seperti itu, pertanyaannya adalah, bisakah ambisi program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW diwujudkan? Jika tidak, berapa yang riil bisa dieksekusi?

Warning dari RR

Sejatinya, sebelum Jokowi berang tentang pencapaian program ini, mantan Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli sejak awal sudah menyangsikannya. Menurut dia, target 35.000 MW terlalu ambisius. Tanpa bermaksud mendahului kehendak Tuhan, dia bahkan menyatakan terget tersebut tidak mungkin dicapai dalam lima tahun pemerintahan Jokowi.

“Terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan untuk itu. Bukan cuma soal regulasi dan peraturan yang masih berbelit, tapi kemampuan menyelesaikan secara teknis di lapangan juga tidak memungkinkan. Saya rasa, dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada, sampai 2019 paling banter yang  bisa dibangun hanya 16.000-17.000 MW,” tukas Rizal Ramli.

Menko yang kemudian dicopot karena berseteru dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama karena menghentikan proyek reklamasi 17 pulau di Pantai Utara Jakarta itu, akhirnya terbukti benar. Rizal Ramli, tentu saja, bukanlah dukun atau paranormal yang mengaku-ngaku bisa menerawang masa depan. Dia bersama timnya para anggota Forum Tujuh Tiga (Fortuga) ITB hanya melakukan sejumlah kalkulasi.

“Kita juga bisa berkaca dari pengalaman proyek 2 x 10.000 MW di masa dua periode pemerintahan SBY. Terbukti sampai akhir jabatannya, yang bisa dieksekusi hanya beberapa ribu mega watt saja. Nah,  bermacam kendala yang sama itu tidak kunjung dituntaskan di era Jokowi. Belum lagi keberadaan para mafia listrik di lingkaran Istana yang tetap saja eksis. Mereka hanya memegang lisensi tanpa sanggup merealisasi. Namanya juga calo, menunggu  pihak yang berani bayar tinggi. Ya, begitu lah…” paparnya menambahkan.

Tapi, baiklah, anggap saja Jokowi tetap ngotot memerintahkan agar pembangunannya dikebut. Itu artinya, seperti kata Rizal Ramli, pemerintah harus benar-benar membenahi bermacam hambatan. Mulai dari iklim usaha hingga sandungan di lapangan.

Batu sandungan di lapangan yang dimaksud itu antar lain, penyediaan lahan, negosiasi harga, proses pengadaan, dan masalah perizinan. Sudah? Tidak juga. Karena masih ada persolan lain yang membelit. Yaitu,  kinerja pengembang dan kontraktor, serta manajamen proyek.

Dari internal pemerintah juga bukan sepi hambatan. Masalah klasik yang selalu muncul adalah perkara koordinasi lintas sektoral. Masih kuatnya ego sektoral masing-masing kementerian dan lembaga tetap saja jadi hambatan yang lumayan serius. Soal lain yang juga sering jadi sandungan adalah jaminan pemerintah, tata ruang, dan masalah hukum.

Kalau serenceng pekerjaan rumah tersebut bisa dituntaskan, bolehlah kita semua berharap ambisi penyediaan listrik 35.000 MW sampai 20019 bakal terwujud. Tapi, apa mungkin? Mau pakai jurus Bandung Bondowoso yang, konon, membangun seribu candi hanya dalam semalam? (*)

*) Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.