Oleh: Jaya Suprana, Seniman dan budayawan, penulis buku Humorologi
Terlebih dahulu, mohon dimaafkan bahwa di dalam naskah berjudul “Lelucon Politik” ini, saya hanya berani menampilkan lelucon politik dari luar negeri.
Saya memang tidak berani menampilkan lelucon politik Indonesia agar jangan ikut menjadi korban wabah kriminalisasi.
Suasana ekonomi runyam akibat sistem politik runyam merupakan lahan subur untuk bercocok lelucon.
Seperti Rumania ketika di masa resim komunis sering krisis pangan, sampai rakyat harus antre untuk memperolehnya (dalam jumlah terbatas), melahirkan lelucon politik tentang sebuah pidato kepresidenan: “Kawan-kawan, tahun depan setiap warga negara Rumania akan memiliki sepeda. Setahun kemudian kita semua akan memiliki sepeda motor, tahun depannya mobil, dan setahun setelah itu setiap warga negara kita tercinta ini sudah dapat memiliki pesawat terbang !”.
Setelah bertepuk-tangan sambil bingung, akhirnya ada yang memberanikan diri bertanya: “Kawan Presiden, buat apa saya memiliki pesawat terbang?”.
“Buat apa !? Bayangkan, kau tinggal jauh dari ibu kota, lalu pada suatu hari mendengar berita bahwa di sana ada roti ! Nah, kalau tidak punya kapal terbang, mana bisa kau cepat-cepat terbang ke sana untuk ikut antre, supaya tidak kehabisan roti !”.
Ketika Uni Sovyet mulai melancarkan sistem Kolchos, para petani harus menyerahkan semua harta benda pribadi untuk menjadi milik kolektif.
Seorang petugas partai komunis berusaha menyakinkan seorang petani mendukung sistem Kolchos dengan metode dialong :
“Iwan Iwanowitsch, relakah kau menyerahkan sapimu untuk kepentingan kita bersama?”
“Rela !”
“Relakah kau menyerahkan babimu?”
“Rela !”
“Relakah kau menyerahkan kambingmu ?”
“Rela !”
“Relakah kau menyerahkan ayammu ?”
“Tidak !”
“Lho, kau rela menyerahkan sapi, babi dan kambing, kenapa ayam tidak ?”
“Saya cuma punya ayam !”
Rahasia negara
Politisi pengobral janji merupakan sasaran empuk lelucon. Seperti kisah seorang pasien wanita pergi ke gineakolog, mengeluh tidak bahagia akibat sudah menikah tiga kali, tetapi masih tetap perawan.
Dokter heran : “Kenapa bisa begitu ?”.
“Suami saya yang pertama impoten, yang kedua homoseksual dan yang ketiga : politisi”.
“Lha, yang ketiga kan bisa !?”.
“Siapa bilang! Dia bisanya cuma janji-janji, dan terus janji belaka !”.
Aneka ragam karakter dan perilaku pribadi para tokoh politik juga menjadi santapan lezat penggemar lelucon politik. Prestasi pemerintah Presiden Eisenhower mengewakan rakyat AS.
Maka lahirlah lelucon membandingkan beberapa presiden mereka. “Roosevelt membuktikan bahwa seorang cacat tubuh bisa menjadi presiden. Truman membuktikan bahwa setiap orang bisa menjadi presiden. Eisenhower membuktikan bahwa negara sebenarnya tidak butuh presiden !”.
Bahkan setelah Richard Nixon tergelincir akibat skandal Wagergate, lelucon politik kejam itu memperoleh lanjutan: “Nixon membuktikan betapa berbahaya punya seorang presiden”.
Lain lagi lelucon yang beredar pada masa pemerintahan Ronald Reagan : “Seorang kakek tua ditangkap karena corat-coret “Reagan is stupid!” di pagar Gedung Putih. Di pengadilan, hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara lima tahun.
Kakek itu protes keras : “Ini tidak adil! Dulu saya juga pernah corat-coret “Eisenhower is stupid”, lalu “Kennedy is stupid”, juga sama di masa pemerintahan Johnson sampai Carter, setiap kali saya selalu cuma didenda lima dolar. Sekarang kok penjara lima tahun !”.
Hakim menjelaskan : “Hukuman untuk orang yang berani menghina Presiden memang lima dolar. Tetapi bagi yang berani membocorkan rahasia negara, paling ringan memang penjara lima tahun !”.
Menular
Lelucon “rahasia negara” itu bukan asli made in AS, karena jauh sebelumnya, entah sejak kapan, sudah asyik beredar untuk mengejek para pimpinan negara di negara-negara Eropa.
Lelucon politik memang bisa menular dari negara ke negara akibat tampaknya rasa ketidakpuasan rakyat terhadap kaum politisi sama saja, di mana saja dan kapan saja.
Seperti halnya lelucon menyindir Margaret Thatcher ketika sudah terlalu lama memegang tampuk kekuasaan di arena politik Inggris dan tampaknya sang “Iron Lady” berambisi untuk — kalau bisa — bertahan di puncak kekuasaan politik lebih lama lagi.
Dari sana timbul suatu lelucon Thatcher ngobrol dengan cucunya yang baru berusia lima tahun. Sang nenek bertanya, “Kalau kau sudah besar nanti, mau jadi apa ?”.
Sang cucu spontan menjawab, “Mau jadi perdana menteri Inggris !”. Margaret Thatcher geleng-geleng kepala sambil menegaskan kepada sang cucu, “Tidak mungkin !. Perdana Menteri Inggris harus tetap nenek !”.
Lelucon semacam itu bisa saja dicangkokkan ke para tokoh politisi negara lain yang ketagihan berkuasa selama mungkin, kalau bisa selama-lamanya sampai akhir zaman.