
Jakarta, Obsessionnews – Prahara yang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Polri tidak hanya melibatkan pimpinan KPK dan petinggi Polri, tapi juga pihak-pihak lain. Baik dari kalangan politisi, maupun dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ataupun perorangan. Sehingga kasus ini tidak bisa disebut sebagai peristiwa yang berdiri sendiri.
Sebab, kasus ini bermula dari penetapan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka gratifikasi oleh KPK, kemudian berlanjut pada penetapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Selanjutnya, pimpinan KPK yang lain juga ikut dilaporkan ke Bareskrim karena diduga telah melakukan pelanggaran etik bahkan sampai pada pidana.
Misalnya, laporan tentang Ketua KPK Abraham Samad tentang dugaan pelanggaran Kode Etik tidak bisa lepas dari pernyataan Pelaksana tugas Partai PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto yang menyebut bahwa Abraham diduga telah ikut dalam permainan politik praktis pada saat menjelang pelaksanaan Pilpres 2014. Bahkan, Abraham disebut telah membantu vonis ringan politikus PDI perjuangan Emir Moeis.
Lalu sebenarnya Hasto melaporkan dugaan pelanggaran kode etik terhadap pimpinan KPK arahnya kemana? Apakah dia murni untuk membersihkan pimpinan KPK dari permainan politik? Atau hanya ingin bersama-sama pihak lain yang punya kepentingan untuk melemahkan KPK dengan cara melakukan kriminalisasi terhadap pimpinan?
Hasto sendiri membantah laporannya terhadap Komisi III DPR beberapa hari yang lalu sebagai upaya untuk melemahkan apalagi membubarkan KPK . Ia mengklaim dirinya bersama Partai PDI-P justru ingin menyelamatkan KPK dari manuver politik yang dilakukan oleh Abraham karena diduga kuat telah melanggar kode etik pimpinan.
Bahkan, ia menyebut dirinya tidak mungkin akan melemahkan KPK, lantaran berdirinya KPK tidak bisa dilepaskan dari semangat reformasi yang pada waktu itu juga diperkasai oleh Presiden Keempat Megawati Soekarnoputri pada tahun 2003. Mega sendiri juga dikenal sebagai Ketua Umum Partai PDI-P. Karenanya, ia membantah hal tersebut.
“Loh, itu Mega dulu yang tanda tangan berdirinya KPK,” ujarnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (10/2/2015).
Hasto juga mendukung kepada KPK untuk minindak kadernya yang terlibat dalam kasus korupsi tanpa pandang bulu. Terkait laporannya terhadap Abraham, ia hanya hanya menilai KPK tidak pantas dipimpin oleh orang yang melanggar kode etik dan penyalahgunaan wewenang. Ia juga membantah pernyataan itu berhubungan dengan penetapan Budi sebagai tersangka.
“Di tengah kewenangan besar, dengan harapan publik tinggi, atas misi mulia KPK memberantas korupsi, harus didukung oleh pimpinan yang punya etika. Yang tidak melakukan kebohongan publik,” terangnya.
Namun, Hasto sempat mengatakan bahwa gagalnya Abraham sebagai wakil presiden mendampingi Joko Widodo disebabkan karena Budi Gunawan. Dalam pertemuanya dengan Hasto, Abraham disebut sudah mengatahui jika PDI-P gagal mengusung dirinya. Karena itu, penetapan Budi tidak bisa dilepaskan dari satu peristiwa.
Untuk membuktikan Abraham terlibat dalam politik praktis, Hasto juga telah memenuhi undangan KPK pada Senin (9/2/2015). Dalam pertemuan dengan pimpinan KPK yang berlangsung selam dua jam, Hasto memberikan bukti-bukti berupa foto-foto Abraham dengan para tokoh politisi. Termasuk salah satunya dengan mantan kepala BIN Hendropriyono dan mantan Duputi Tim Transisi Andi Widjojanto.
Sebelumnya Deputi Pencegahan KPK, Johan Budi mengatakan, keterangan yang sudah disampaikan oleh Hasto masih sangat minim. Sebab, untuk membuktikan Abraham melanggar kode etik, Hasto hanya memberikan bukti foto. Padahal KPK berharap bukti yang disampaikan lebih dari sekedar foto.
“Informasi lebih dalam tidak sekedar foto kita butuhkan dari Pak Hasto sehingga dari penyelidian internal bisa memutuskan untuk menindaklanjutinya,” ujarnya, di KPK, Senin malam (9/2/2015).
Hasto juga mengaku punya bukti lain berupa rekaman percakapan antara Abraham dengan beberapa tokoh politik. Sedangkan Johan mengaku, bukti rekaman tersebut belum diserahkan kepada KPK. Karenanya, lanjut Johan KPK masih membutuhkan bukti atau keterangan dari pihak lain, untuk melengkapi bukti yang sudah ada.
“Setelah itu penyelidkan internal menyimpulkan lalu berundinglah pimpinan dan penasihat dan tentu di luar yang diindikasikan melanggar kode etik. Pimpinan mengeluarkan putusan untuk membentuk komite etik,” terangnya.
Sementara itu secara terpisah, Wakil Ketua KPK Zulkarnain juga menegaskan, pihaknya masih perlu membutuhkan banyak keterangan dan pendalaman, untuk bisa dijadikan alasan bagi KPK membentuk Komite Etik. “Kalau laporan masuk kan harus proses di internal. Artinya, kita tidak cerita di media tentu itu butuh pendalaman sendiri dalam proses di internal,” ujarnya di DPR, Selasa (10/2/2015).
Menurutnya, KPK tidak ingin hanya asalan-asalan membentuk Komite Etik, tanpa didasari dengan materi dan laporan yang jelas. Sebab katanya, keberadaan Komite Etik sangat penting untuk memastikan integritas pimpinan dan lembaganya. “Itu dilihat, sejauh mana apa yang terjadi, itu komprensif. Tidak serta-merta komite etiknya,” jelasnya.
Bomerang Bagi PDI-P
Sebelumnya, pengamat politik Yunarto Wijaya mengatakan, pernyataan Hasto yang mengenai Abraham dan dugaan melanggaran kode etiknya, justru berpotensi akan menjadi Bomerang bagi partainya sendiri. Perbuatan Hasto dinilai sama saja mengakui keterlibatan partainya dalam dugaan pelanggaran kode etik. Lantaran ada komunikasi yang dibangun antara kedua belah pihak.
“Yang jelas, PDI-P berpotensi bunuh diri secara poltik. Pernyataan Hasto seperti menunjuk partainya melanggar kode etik KPK, ujar Yunarto.
Menurut Direktur Charta Politik ini, pernyataan Hasto seolah-olah ingin memberikan penilaian buruk terhadap lembaga superbody ini. Padahal, data yang disampaikan sebenarnya tidak ada kaitanya dengan kinerja KPK selama ini. Termasuk apa yang disampaikan Hasto juga tidak ada hubungannya dengan penetapan Budi sebagai tersangka oleh KPK.
Ia mengatakan, paling tidak jika pernyataan Hasto terbukti kebenarnya, efek yang ditimbulkan hanya akan berakibat kepada Abraham Samad secara personal, bukan kepada KPK secara kelembagaan. Ia yakin, KPK tetap menjadi salah satu penegak hukum yang masih dipercaya oleh masyarakat dalam hal pemberantasan korupsi. (Albar)