
Jakarta, Obsessionnews – Tensi politik Indonesia tetap memanas. Tahun lalu diwarnai pemilihan presiden dengan ditandainya persaingan kubu politik Koalisi Indonesia Hebat (KIH) versus Koalisi Merah Putih (KMP). Kini, tarik ulur kepentingan politik tetap saja dimainkan. Namun, ia meminta Presiden Jokowi jangan mengadu domba parpol untuk mempertahankan kekuasaannya. Melainkan, Jokowi justru harus melibas para elit parpol yang korup.
“Istilah kubu-kubuan juga ternyata tidak sampai pada fenomena kubu KIH dan KMP namun berlaku dalam internal Parpol. Sebut saja Partai Golkar dan PPP akhir-akhir ini menuai persoalan pasca munas. Banyak pertanyaan yang muncul siapa yang salah dan siapa yang bertanggung jawab mengenai kemelut dalam Parpol tersebut,” ungkap Mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, La Ode Ida kepada Obsessionnews, Jumat (13/3/2015).
Oleh karena itu, La Ode menyarankan Presiden Jokowi harus tampil terbuka untuk menjelaskan masalah Golkar dan PPP, agar tak dianggap memelihara administrator otoriter dan pencipta politik adu domba.
Menurut La Ode, terus berlangsungnya konflik akibat dualisme kepemimpinan dua parpol (Golkar dan PPP), yang tak bisa dipungkiri pula sebagai akibat dari standar ganda yang diberlakukan oleh Kemenkumhan. “Bukan mustahil akan ciptakan kesan bahwa kepemimpinan Jokowi-JK akan praktikkan pemerintahan bergaya otoriter dengan mengacak-acak parpol yang berseberangan kubu politik,” paparnya.
La Ode menilai, perbedaan kubu politik adalah sangat wajar dan bahkan diperlukan dalam negara demokrasi, sebagai perwujudkan prinsip check and balances menuju kebijakan yang berkualitas, dan jadikan pemerintah tak sewenang-wenang dalam mengambil kebijakan atau menyelenggarakan pemerintahan. “Jadi, seharusnya diapresiasi dan dinikmati, bukan harus dihabisi dan diseragamkan. Tak boleh benci dengan perkubuan politik,” tegasnya.
Persoalannya, lanjut La Ode, memang ada kelompok elite di internal dua parpol itu yang tampaknya ‘membujuk’ pemerintah untuk intervensi, dan juga pihak aktor yang berada di sekitar Jokowi-JK barangkali juga menghendakinya. “Maka dicarikanlah berbagai caranya sehingga muncul keputusan administrasi politik hukum parpol dari Kemenkumham yang dinilai berpihak dan ciptakan kemelut di internal dua parpol KMP itu,” bebernya.
“Kemenkumham pun dianggap sudah jadi instrumen politik yang berkepentingan (dari pihak pemerintah dan kelompok elite parpol yang mau diintervensi itu). Sungguh sangat memprihatinkan,” ungkapnya pula.
Pertanyaannya sekarang, kata La Ode, apakah Presiden Jokowi benar-benar inginkan praktik demokrasi yang setback alias mundur? “Tentu, sebagai pendukung Jokowi-JK, saya tak inginkan hal itu akan jadi label bagi mereka, sehingga di sinilah Jokowi perlu berdiri khusus di depan publik untuk klarifikasi,” tandasnya.
Terkait persolan ini, menurut La Ode, akan lebih baik jika Jokowi konsentrasi pada wujudkan janji-janji politiknya, seraya mendorong ke arah kemandirian Parpol dan masyarakat sipil. “Terhadap Parpol, akan lebih produktif jika Jokowi membentuk tim khusus untuk pantau perilaku para politisi agar tak korup, disamping pastikan jajarannya agar tak transaksional,” jelas Mantan Aktivis ini. (Asma)