Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih melakukan pendalaman mengenai adanya laporan mafia migas yang diduga melibatkan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa dan juga pengusaha dari Pertamina Riza Chalid. “Semua laporan yang masuk ke KPK, akan terus di dalam terkait adanya mafia migas,” ujar Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja, Selasa (8/9/2014).
Namun, Adnan menegaskan KPK tidak mau terjebak pada persoalan black campaign, mengingat banyak pihak-pihak yang terkadang ingin memanfaatkan persoalan korupsi yang ditangani KPK ke wilayah politik, terlebih menjelang diselengarakanya Pemilu Presiden. “Tapi ingat, kita tidak mau Black campaign,” katanya.
Saat ditanya apakah ada kemungkinan untuk memanggil kedua orang tersebut, Adnan mengatakan, KPK akan bekerja sesuai dengan alat bukti. Jika bukti-bukti yang kuat sudah ditemukan maka proses hukum akan berlanjut. “Jadi intinya semua didalami nggak mungkin nggak didalami,” katanya.
Diketahui, dugaan keterlibatan kedua orang tersebut pernah dilaporkan oleh Direktur Pengolahan, Solidaritas Kerakyatan Khusus Migas (SKK Migas), Ferdinand Hutahayan. Ia mendesak mendesak KPK segera mengungkap praktik mafia di sektor migas yang telah membuat potensi penerimaan negara hilang.
“Akibat praktik mafia di sektor migas, negara setidaknya dirugikan 100 miliar rupiah per hari, atau 36 triliun rupiah potensi penerimaan negara menguap tiap tahunnya,” katanya.
Sementara itu, Wakil Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, mengatakan kedua orang tersebut memang sudah terkenal akrab. Mereka disebut memiliki kekuatan lobi yang kuat dalam persoalan bisnis minyak di pemerintahan.
“Bagi Hatta yang 13 tahun berada dalam pemerintahan dan memimpin Partai Amanat Nasional (PAN), tentu memerlukan sumber daya logistik yang besar,” kata Hasto.
Bahkan, kubu Jokowi itu menduga Riza Chalid berada dibalik penerbitan tabloid Obor Rakyat. Ia disebut sebagai donatur yang membiayai tabloid tersebut. Riza juga diduga menjadi otak yang menseting agar anak Hatta Rajasa, Rasyid Rajasa tidak dijatuhi hukuman, meski telah menabrak banyak orang hingga tewas.
“Kemampuan Hatta di dalam “membelokkan” kasus hukum yang menimpa anaknya, dan ternyata hukum memang terbukti tebang pilih di tangan penguasa, tentu juga memerlukan biaya yang tidak sedikit,” kata Hasto.
Senada dengan Hasto, Direktur Utama Aliansi Perkuat Aspirasi Masyarakat Indonesia (Pertamina) Syafti Hidayat juga mengatakan Hatta dengan Riza mempunyai hubungan yang dekat. Sebab kata Syafti Riza adalah orang yang mensuport dana ke Muchlis Hasyim sebagai wartawan senior yang ditugaskan untuk mengelola majalah miliknya.
Muchlis sendiri saat ini diketahui menjadi salah satu tim pemenangan Prabowo-Hatta. Sementara Hatta, kata Syafti merupakan orang yang selama ini memberikan akses untuk Riza bermain di sektor Migas tanah air.
Syafti menilai bahwa Hatta dengan Riza layaknya sepasang burung merpati yang selalu terbang bersama. Karena itu, Mafia migas, akan berdampingan akrab dengan mafia di bidang lain, termasuk mafia agitasi melalui penulisan provokasi yang tak bisa dianggap sebagai karya jurnalistik.
“Jika Riza Chalid membiayai serangan-serangan kepada Jokowi, tak perlu heran. Mengapa, karena Riza berada di lingkungan ‘burung sejenis’ yang pada pokoknya menggunakan kampanye hitam. Air tak bisa bersatu dengan minyak, jadi air ke air atau minyak ke minyak,” ujarnya.
Hatta sendiri, saat dikonfirmasi membenarkan bahwa dirinya kenal dan dekat dengan Riza Chalid. Namun dia membantah, memiliki hubungan bisnis dengannya. Bahkan ia menolak jika Riza telah menyokong dana untuk biaya kampanye dirinya termasuk biaya pembuatan tabloid Obor Rakyat. “Kalau ada sokongan dana, tentua sepanduk saya jauh lebih banyak dari mereka,” katanya.
Selain itu, Hatta juga menolak anggapan adanya mafia minyak di Indonesia. “Apa sih yang dimaksud mafia minyak? Kami mati-matian bangun kilang minyak. Di MP3EI jelas disebutkan kita tidak boleh jual gas,” tuturnya.
Menurut Ketua Umum Partai PAN itu, Indonesia terus mengimpor minyak karena tidak ada kilang minyak. Sementara investor asing juga tidak mau membangun kilang minyak di Indonesia. “Dulu Qatar mau membangun, tapi minta tax holiday. Pajaknya cuman lima persen, lalu mau minta lagi, ya kita tak mungkin berikan,” tegasnya. (Abn)