
Ketegangan antara China dan Taiwan terus memanas dalam beberapa tahun terakhir. China terus mengertak Taiwan supaya berhenti mengupayakan kemerdekaan, dengan melakukan sederet latihan perang hingga mengirimkan puluhan jet tempurnya memasuki wilayah pertahanan udara Taipei.
Dilansir CNN, Presiden China Xi Jinping dan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen juga saling “serang” berebut kedaulatan melalui serangkaian pernyataan dan seruan.
Ketegangan yang terus meningkat ini memicu berbagai asumsi dan prediksi kemungkinan perang antara China dan Taiwan.
China merupakan negara dengan kekuatan militer kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat. Meski militer Taiwan jauh berada di belakang China, wilayah tersebut punya AS yang bersedia menjadi perisainya ketika konflik terbuka pecah.
Pekan lalu di depan rapat legislatif, Menteri Pertahanan Taiwan, Chiu Kuo-cheng, memprediksi China bisa melakukan invasi ke Taiwan dengan skala penuh pada 2025 mendatang.
Pernyataan dramatis itu diutarakan Chiu tak lama usai China mengerahkan puluhan pesawat tempur ke wilayah udara pertahanan udara (ADIZ) Taiwan.
Di awal-awal Oktober, menurut catatan ada sekitar 150 pesawat tempur yang memasuki wilayah udara Taiwan. Jumlah ini merupakan angka tertinggi aktivitas serangan yang dilakukan China sejak tahun lalu.
Meski sejumlah pejabat Taiwan telah mewanti-wanti kemungkinan invasi besar-besaran China, sejumlah peneliti geopolitik internasional menganggap China tidak akan menginvansi Taiwan dalam waktu dekat.
Pengamat lainnya bahkan menilai invasi Beijing ke Taiwan nyaris tidak mungkin terjadi apalagi tanpa peringatan.
Sebab China telah melancarkan rentetan agresi dan gertakan ke Taiwan bahkan sejak perang saudara berkecamuk pada 1949.
Pada awal 2000-an misalnya, para ahli menganggap China dapat merebut kembali Taiwan dalam rentan waktu dekade tersebut. Kemudian, pada 2013, Kemhan Taiwan juga memperkirakan China akan punya kemampuan untuk menyerang wilayahnya pada 2020.
“Tapi, kedua prediksi itu tidak terjadi. Terlepas dari manuver angkatan udara China terbaru, kehidupan masyarakat Taiwan tetap berjalan seperti biasa. Masyarakat sebagian besar tidak peduli tentang ancaman invasi dan serangan reguler hampir tidak pernah diberitakan di halaman depan surat kabar,” bunyi analisis CNN.
Meski begitu, itu bukan berarti tidak ada alasan bagi Taiwan untuk khawatir. Sebab, meski perang kecil kemungkinan terjadi, China akan terus melakukan segala cara guna membuat Taiwan “menyerah” atas ambisi kemerdekaannya dan kembali pada pelukan pemerintah pusat di Beijing.
Sebagai contoh, China terus memperkuat tekanan militer, ekonomi, bahkan diplomatik terhadap Taiwan demi mengisolasi wilayah itu dan mencapai tujuan “Satu China”.
Selama ini, China terus mengintimidasi negara-negara berkembang dan kecil yang semula memiliki hubungan diplomatik atau hubungan dekat dengan Taiwan untuk menghentikannya. Baik dengan menggelontorkan banyak bantuan finansial dan modal atau sanksi pemutusan hubungan dengan Beijing.
Para ahli juga khawatir jika para pemimpin Partai Komunis China merasa tak ada harapan untuk unifikasi dengan Taiwan secara damai, mereka bisa beralih mengambil tindakan yang lebih drastis untuk memenuhi ambisi mereka tersebut.
Bentuk Frustrasi China sampai Peluang Unifikasi
Salah satu tanda yang memperjelas kemungkinan invasi China ke Taiwan kecil juga justru datang dari mulut Presiden China Xi Jinping sendiri.
Dalam pidatonya pada 9 Oktober lalu, Xi mengungkapkan keinginannya untuk bersatu dengan Taiwan secara damai. Hal ini menyiratkan bahwa dia siap menunggu pulau itu secara sukarela mematuhi instruksinya. “Saat saya menilai apa yang dibilang Xi soal Taiwan, saya terkejut karena minimnya urgensi,” kata Glaser.
Menurut pengamat dari Universitas Nasional Australia, Wen Ti Sung, Partai Komunis China juga memiliki prioritas utama di tahun mendatang, yang justru akan memperumit rencana Beijing menginvasi Taiwan. Agenda seperti Olimpiade Musim Dingin Februari 2022, tentu akan membuat sibuk pemerintah.
Para ahli juga telah lama mengatakan setiap upaya paksa yang dilakukan Beijing terhadap Taiwan akan menelan biaya yang sangat mahal, dengan hasil yang tidak pasti.
Pengamat dari Institut Global Taiwan, J Michael Cole, mengatakan tindakan-tindakan China terhadap Taiwan justru menandakan bahwa Xi Jinping khawatir.
Para ahli lainnya juga menganggap semua tekanan diplomatik, ekonomi, hingga militer China terhadap Taiwan mungkin dapat berujung bumerang bagi China.
Hal tersbut bahkan bisa merusak tujuannya untuk menyatukan kembali Taiwan dengan China secara damai.
Frustrasi Beijing
Direktur Program Asia di German Marshal Fund Amerika Serikat, Bonnie Glaser, menganggap provokasi militer China terhadap Taiwan yang terus meningkat mencerminkan simbol frustrasi Beijing, alih-alih tanda awal kemungkinan invasi.
Meski begitu, Glaser memperingatkan provokasi China itu juga menjadi pengingat bagi Taiwan dan Amerika Serikat agar tidak melewati batas.
Sebab, AS kerap membuat China geram terkait hubungannya dengan Taiwan.
Washington pernah mengajukan Taiwan agar menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan siap membantu pulau itu jika diserang China.
Beijing pun geram, mereka menilai negara lain tak perlu turut mencampuri urusan internal termasuk memberi sinyal buruk dengan mendukung Taiwan.
Glaser mengatakan eskalasi militer China dapat terjadi jika batas-batas itu dilanggar Taiwan dan AS. “China ingin menahan Taiwan dan menggunakan lebih banyak tekanan terhadap Taiwan. Mereka ingin mengintimidasi Taiwan,” papar Glaser.
Terlepas dari jerih payah China menjinakkan Taiwan selama ini, Taipei saat ini terus mendapat dukungan internasional, terutama AS dan sekutunya. Pengaruh Taiwan di kancah global juga terus menjadi perhitungan dunia internasional.
Pencapaian Taiwan ini juga tidak lepas dari relasi dengan AS yang semakin erat. Peneliti senior lembaga think-thank Global Insitute Taiwan, J Michael Cole, mengatakan ketegangan AS-China juga tak luput membantu Taiwan menggenjot citra dan pengaruhnya di kancah internasional.
Beberapa negara lain di Asia juga terus mendukung hak kemerdekaan Taiwan secara terbuka maupun implisit. Sebagai contoh, Menteri Pertahanan Jepang Nobuo Kishi menuturkan Tokyo akan merespons segala upaya China yang ingin mengambil alih Taiwan secara paksa.
Menteri Luar Negeri Australia, Marise Payne, juga terus menekankan penguatan kerja sama dan hu bungan dengan Taiwan.
Jauh ke Eropa, Lithuania bahkan menjadi negara pertama di kawasan itu yang membuka kantor diplomatik Taiwan.
Peluang Unifikasi
Sementara itu, para ahli sulit melihat cara apa yang tersisa untuk memperbesar peluang visi penyatuan China dan Taiwan.
Beberapa pihak mengatakan ada kemungkinan Taiwan tidak bisa kembali pada China. Kecuali, ada perubahan besar-besaran sikap Partai Komunis tentang kebebasan sipil atau posisi Taiwan.
Dalam survei pada Juni lalu, dari 4.717 responden di Taiwan sebanyak 25,8 persen ingin wilayah itu merdeka, sementara 10 persen lainnya memilih tetap bersatu dengan China.
Sementara itu, mayoritas masyarakat Taiwan tetap ingin bertahan dengan status quo yang ada sekarang. (CNN/Red)