Rabu, 24 April 24

Komunikasi Politik Jokowi Jangan Dikotomi

Komunikasi Politik Jokowi  Jangan Dikotomi
* Ahmad Basara

Jakarta, Obsessionnews – Komunikasi politik memang penting dalam membangun pemerintahan yang demokrasi. Apalagi negara Indonesia menganut sistem presidensil. Mau tidak mau, suka tidak suka seorang politisi harus tunduk pada kepentingan partai, tapi bukan berarti partai tidak berpihak kepada rakyat.

Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya saat terpilih kembali sebagai Ketua Umum PDI-P dalam Kongres di Bali, Kamis (9/4/2015), mengatakan dalam sistem pemerintahan sekarang ada yang oportunis dan ada penyusup di tikungan, ada juga penumpang gelap. Mega juga menekankan agar pemerintah tetap berada dalam Nawacita-nya. Teguran ini secara tidak langsung menunjukkan komunikasi politik yang dijalankan Presiden Jokowi yang seumur jangung masih tidak efisien dengan partai pengusungnya.

“Tapi terkadang ini menjadi tuduhan berbagai kalangan. Ketika Jokowi ingin berkomunikasi dan berkoordinasi dengan partai pengsung dikatakan Presiden tidak independen, tidak mandiri, sampai saat kampanye yang lalu disebut presiden boneka dan sebagainya,” kata Politisi PDI-P Ahmad Basara dalam acara di salah satu stasiun televisi, Senin (13/4/2014).

“Secara psikologis sebetulnya ini mengganggu psikologi politik Pak Jokowi, padahal secara esensinya posisi politik seorang Presiden dalam desain ketatanegaraan kita jelas sekali diakui dalam pasal 6 a UU 1945, Calon Presiden dan Wakil Presiden diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik,” jelas Basara.

“Lalu UU Pilpres ditegaskan lebih tegas lagi bahwa visi misi yang didaftarkan Calon Presiden dan Wakil Presiden kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu dibuat dan ditandatangani oleh Ketua Umum Partai politik yang sekarang menjadi nawacita-nya,” tambahnya.

Ia pun menyebutkan, sangat wajar kalau seorang Presiden berkoordinasi dengan partai pengsungnya. “Perbandingan misalkan negara Komunis seperti di Tiongkok itu jelas posisi Presiden dengan partai pengusungnya. Di era 10 tahun sebelumnya, SBY sebagai Ketua Dewan Partai Demokrat menjadi Presiden membentuk Setgap partai-partai. Itu setiap hari rapat membicarakan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, dan agenda-agenda nasional di bawah pemerintahan SBY-JK dan Boediono,” ungkapnya.

Oleh karena itu, ia tidak setuju jika ketika Jokowi menjadi Presiden dan bukan ketua partai politik melakukan koordinasi dengan partai pengusungnya misalnya terhadap Ketua Umum PDI-P dengan Ketua Nasdem dan sebagainya adalah dianggap menggaggu independensi.

“Kondisi inilah yang kemudian menjadi embrio psikologi antara presiden dengan partai pengusungnya, tapi kalau kita mau berpikir positif menurut saya ini masih dalam batas hal-hal yang wajar, ada pepatah mengatakan mengawali itu memang sesuatu yang sulit,” tutur Basara.

Ia berharap agar tidak ada dikotomi bahwa orang berpartai itu bukan rakyat dan berbeda dengan kepentingan rakyat. “Jangan kita dikotomikan bahwa seolah-olah partai itu berbeda dengan kepentingan rakyat, partai itu bukan rakyat, kemudian tujuan partai politik itu berbeda dengan tujuan negara. Semua partai saya sudah periksa semua AD/ART, semua partai politik yang ada diparelemen saya pikir semua tujuan politiknya itu ada, dan sama dengan tujuan negara,” tegasnya.

“Begitu juga dengan PDI-P dalam AD/ART yang baru kami sahkan dua hari yang lalu, PDI Perjuangan itu sama mulai dari ideologinya kita sama ideologi pancasila, tujuannya, perjuangannya itu sama dengan yang dirumuskan UUD kita,” jelasnya.

Oleh karena, lanjut dia, Megawati menyatakan berkali-kali termasuk pada Presiden RI agar punya persamaan presepsi yang sama diantara pemerintah dan partai pengusung maka pegangannya adalah konstitusi, peganganya adalah peraturan perundang-undangan itu yang bisa mempersamakan antara kepentingan partai politik dan kepentingan pemerintah.

Ia pun menegaskan, ketika kepentingan partai politik berbeda dengan kepentingan yang diatur dalam  konstitusi dan UU maka kemudian tidak boleh partai politik memaksakan kehendaknya, begitu pula sebaliknya presiden RI juga tidak boleh menyelenggarakan kekuasaan pemernintahannya  keluar dari amanah konstitusi dan UU. “Saya pikir itu jelas sekali sebagai barometer perekat keduanya,” sarannya.

Kepentingan Bukan Sesuatu yang Dihindari
Pada kesempatan yang sama, Pengamat Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philip Vermonte mengatakan, partai politik itu pasti akan berusaha mempengaruhi dan membawa kepentingan.

“Tapi kepentingan itu bukan sesuatu yang dihindari tapi kepentingan itu harus dikelola. Mengelola kepentingan ini  membutuhkan pengalaman yang panjang itu pertama, kedua saya kira saya setuju kalau presiden berkomunikasi terutama dengan partai-partai pendukungnya,” belanya.

Philip mengakui bahwa sentimen publik  mengenai komunikasi politik Presiden sekarang lagi tergoncang oleh partai-partai politik, tapi Philip mengecualikan kalau bangunan presidensil power-nya ada di Presiden bukan dipartai Politik.

“Ketika seorang Peresiden terpilih maka dia menjadi Presidennya seluruh Indonesia, dia tidak hanya Presiden PDIP tidak menjadi Presidennya partai Nasdem misanya tapi presiden mungkin presidennya KMP misalya gitu,” katanya.

Menurut dia, kebijakan itu turunan dari visi dan misi, kalau Presiden memiliki perbedaan dari partai tidak apa-apa asalkan dalam koridor visi dan misi partai. Ia menghimbau agar mulai sekarang Presiden ini seharusnya mengelola semua kepentingan baik dari KIH dan KMP.

“Mungkin yang dilihat sekarang adalah komunikasi pemerintahan Jokowi dan PDIP, tapi mungkin itu ada sebabnya. Yang terpenting sekarang bagaimana DPP PDIP dan Presiden Jokowi menemukan pola hubungan yang tidak saling merendahkan satu sama lain, bagaimanapun konstitusi kita mengamanahkan bahwa Presiden adalah sentral power,” paparnya.

Dia juga melihat bahwa persoalan yang muncul disebabkan presiden memiliki perbedaan dari partai. Ia menilai juga persoalan komunikasi politik bukan hanya datang dari partai PDIP namun datang juga dari partai-partai politik yang lainnya.

“Pihak lain politik itu nasionaslimenya kurang tidak sekuat mereka sehingga selalu dianggap dia (Jokowi) keluar dari visi misi partai bahkan dianggap keluar dari Pancasila dan UU 45 dan seterusnya. Ini saya pikir yang tidak meonolong proses komunikasi politik kita,” kritiknya

Philip menegaskan, kaitan antara presiden dan Pak Jokowi  sebagaimana dicalonkan oleh partai PDIP , dimana Pak Jokowi  harus memperbaiki hubungannya dengan PDI-P. Menurutnya, Jokowi yang perlu memperbaiki hubungan dengan PDI-P. Begitupun sebaliknya, PDI-P harus menerima fakta politik baru, bahwa Presiden terpilih bukan ketua umumnya sebagaimana fakta politik yang harus diterima oleh PDIP.

“Dan Pak Jokowi paham betul PDIP yang mengusungnya, yang harus dilihat juga jangan sampai kedepan ketua-ketua umum yang mau mencalonkan kadernya itu menjadi presiden dia trauma dengan apa yang dialami PDIP, ternyata tidak membawa manfaat bagi perkembangan demokrasi justru dijadikan persoalan, investasi Bu Mega tidak menjalankan dirinya sebagai presiden itu invesatis luar biasa lho,” ungkapnya memuji Mega. (Asma)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.