Kamis, 25 April 24

Komnas HAM: Konflik Agraria akan Diproses Peradilan Pelanggaran HAM Berat

Komnas HAM: Konflik Agraria akan Diproses Peradilan Pelanggaran HAM Berat

Jakarta – Ada banyak pekerjaan rumah jika pemerintah saat ini tidak memprioritaskan persoalan kasus agraria. Jika tidak diselesaikan, persoalan masalah agraria ini akan menjadi catatan kelam saja. Dan Komnas HAM menganggap kasus agraria ini bagian dari pelanggaran HAM berat dimana berdasarkan UU 2006 tentang peradilan HAM.

“Dan kasus pelanggaran agraria ini kami akan proses melalui melalui peradilan HAM berat,” ungkap Dianto Bacriadi Komisioner Komnas HAM dalam peluncuran Catatan Akhir Tahun KPA 2014 bertema ‘Membenahi Masalah Agraria: Priorotas Kerja Jokowi-JK 2015’, di Jakarta, Selasa (23/12/2014), yang dihadiri Iwan Nurdin (Sekjen KPA), Massinto Pasaribu (Komisi III DPR RI) dan Aktivis Agraria Eva Bande.

“Menuru catatan kami pelanggaran HAM tidak ada berhentinya dimana tiap tahun meningkat tajam. Dari tahun 2012 ada kurang lebih 5 ribu kasus pelanggaran HAM. Kemudian di tahun 2013 sekitar 7 ribu kasus sedangkan di tahun 2014 ini di atas 7 ribu kasus berarti ada sekitar 20% kasus konflik agraria yang ada di tanah air ini,” papar Dianto.

Menurut dia, Komnas HAM menyatakan jika pemerintah sungguh-sungguh mau menyelsaikan kasus HAM dalam konflik agraria ini bisa selesai dengan cepat dan tepat. “Memang kami akui bahwa pemerintahan SBY yang lalu itu tidak memiliki keinginan untuk memprioritaskan penyelesaian kasus HAM. Dan pemerintah sekarang Jokowi, kami berharap mau menyelesaikan. Begitu pula DPR mau mendukung penyelesaian kasus-kasus HAM ini,” harapnya.

“Kasus-kasus ini juga sering di masukan dalam golongan PTUN dan Perdata yang kiranya tidak terpenuhi . Sehingga kondisinya dari tahun ketahun persoalan konflik agraria dan HAM tidak dapat diselesaikan padahal menurut saya tidak bisa di-PTUN-kan,” tambahnya.

Diungkapkan, data mengenai perdata ada kurang dari 1% itu pada petani sedangkan 99% itu ada pada korporasi. Sampai saat ini setiap kementerian ada satu unit birokrasi yang menangani persoalan agraria, namun sampa hari ini juga kita menemukan ada 60% luasan daratan kita dijadikan bisnis ekstraktif artinya 197 Ha masyarakat harus pindah dari tempatnya dia tinggal.

Ketimpangan karena konflik agraria ini sebagaimana di tahun 2003 ada 30% petani meningkat menjadi petani buruh ada sekitar 51%. Sedangkan di tahun 2013 petani buruh meningkat 55%, padahal mereka tidak perlu menjadi buruh di negara ini sebagaimana UU mewajibkan pemerintah menyediakan 2 Ha lahan pertanian bagi tiap KK yang mau bertani. “Saya fikir dikenankannya grasi Eva Bande bukan berarti penyelsaian kasus-kasus agraria sudah selesai”, tegasnya.

Hal ini juga dihimbaukan oleh Massinto Pasaribu tentang perlunya ada perhatian besar mengenai kasus-kasus konflik agraria dan HAM tersebut. Paslanya, hal ini sudah menjadi angka-angka statistik jumlahnya sudah begitu banyak sudah mencapai ratusan bahkan ribuan. “Pemerintah harus mengambil tratikal tapi dengan catatan keluarnya Eva Bande bukan akhir dari perjuangan kita karena masih banyak kasus-kasus yang lain belum terselesaikan juga,” desak Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP ini.

“Saya pikir lanjutnya SOP Polres harus ditinjau ulang dimana berdasarkan kasus-kasu yang ada keterlibatan polisi dalam kasus agraria begitu banyak . Dan saya pikir negara juga tidak boleh berpihak pada investor , kita butuh investor tapi bukan VOC yang datang menjajah dan mengambil serta merampas tanah rakyat. saya pikir keterlibatan aparat harus diperadilankan tidak boleh ada pembiaran perampasan hak rakyat disitu,” tandasnya.

Perjuangan Tidak Berakhir di Grasi
Aktivis Eva Bande mengatakan, sudah terlalu lama kasus agraria ini bergejolak di negara ini. Dengan pemberian garasi terhadap Eva oleh Presiden Jokowi, akan memberikan dirinya energi lebih untuk memperjuangkan tanah-tanah rakyat ke depannya.

“Menurut saya garasi merupakan star awal untuk melakukan kerja-kerja kerakyatan yang sesungguhnya. Karena masih banyak teman-teman saya yang ada dipenjara sekitar 214 orang lagi mereka berada di belakang jeruji besi. Grasi selesai tapi kasus agraria tetap belum selesai,” paparnya.

Menurut Eva juga bahwa Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) tidak akan bisa menyelsaikan konflik agraria tetapi pemerintahlah yang memilik kapasitas tertinggi sebagaimana memiliki kredibel pada bidangnya.

“Saya tahu bahwa rata-rata petani sekarang merupakan patani sewahan hal ini disebabkan karena tanah-tanahnya dirampas oleh oknum yang tidak betanggung jawab. Tanah kami dirampas dengan kertas satu dua lembar, begitupun bupati-bupati melegitimasi perusahaan dengan memberikan izin-izin usaha yang mempermudah proses pengoperasian mereka”, tuturnya.

Selama melakukan perjuangan perlawanan atas lahan rakyat yang di rampas di Sulawesi Tengah Eva sering mengalami berbagai intimidasi, dan tidak jarang keluar masuk penjara karena memperjuangkan lahan milik mereka di daerah.

“Selama ini saya bersama teman-teman daerah merasakan bahwa ketika kami memperjuangkan tanah milik kami berabagai macam penangkapan dan intimidasi, perlakuan kriminalisasi, namun sebagian malah kita tidak di percaya atas perjuangan kami”, katanya.

Eva juga meminta dukungan kepada media agar tetap berpihak kepada perjuangan-prajuangan rakyat yang nyata adanya. “Saya berharap melalui kesempatan ini selain kawan-kawan KPA, Kontras, Walhi, LBH dan yang lainnya media juga perlu mendukung perjuangan masyarakat. Tidak seperti media lokal di daerah pada saat kami malah di sebut komunis”, ungkapnya. (Asm)

 

Related posts