
Tony Prasetiantono (Pengamat perbankan UGM):

“Sukses BRI dalam mengembangkan “Branchless Banking” akan semakin prima dalam meingkatkan kualitas layanan yang menjangkau daerah terpencil di nusantara, jika BRIsat berhasil diluncurkan, pada 19 Juni 2016. Hanya bank BRI yang siap karena berpengalaman di daerah terpencil. Sehingga sebaiknya BRI dijadikan inisiator atau proyek percontohan dalam memperkuat jaringan di daerah terpencil. Sebaiknya bank lainnya menunggu. Apalagi jika semua bank diharuskan mengikuti aturan dari Bank Indonesia (BI) soal mobile payment services (MPS) masih memiliki banyak kelemahan dan berisiko untuk diberlakukan. Tapi tidak dengan BRI, yang semakin solid mengembangkan MPS dengan dukungan kualitas jaringan lewat BRIsat. Saya juga kagum dengan kesiapan BRI dalam menghadapi masyarakat ekonomi Asean (MEA). Langkah cerdasnya, lewat diluncurkannya BRIsat ini. Sehingga bisnis utama BRI, melayani UKM bisa semakin maksimal”.
David Sutyanto (Pengamat perbankan sekaligus Kepala Riset First Asia Capital) :

“Saya menilai hadirnya BRIsat merupakan komitmen dalam pelayanan kepada nasabah, khususnya yang ada di pelosok daerah. Ini akan memiliki nilai tambah dalam pelayanan dan operasionalnya kepada nasabahnya. Sebab BRI memang membutuhkan komunikasi cepat karena mayoritas nasabahnya berada di pelosok-pelosok daerah tidak seperti bank lain biasanya yang bermain di kota-kota dengan infrastruktur baik. Ke depannya, BRI akan dapat melakukan ekspansi ke pelosok nusantara tanpa harus khawatir mengenai jaringan telekomunikasinya. Dengan adanya satelit tersebut diprediksikan akan menarik bank lain untuk berkerjasama dengan BRI di mana selain dipakai sendiri oleh BRI, juga akan disewakan untuk kepentingan bisnis lainnya. Saya mengamati, BRIsat ada karena nature bisnis dari BRI untuk melayani nasabahnya, sehingga dengan satelit sendiri maka BRI dapat menghemat biaya telekomunikasi dan menjangkau pelosok nusantara tanpa hambatan yang berarti. Sedangkan bagi bank lain umumnya berada di kota-kota sehingga tidak membutuhkan komunikasi via satelit yang menggunakan jaringan kabel atau fiber optik.
Roy Suryo (Pakar Telematika):

“Kehadiran BRIsat merupakan bentuk dukungan terhadap kedaulatan Indonesia. Sebelumnya, pada tahun 1976, Indonesia memiliki satelit Palapa, namun kebanggan tersebut kini tidak ada lagi. Saat ini Indonesia memang membutuhkan satelit. Mengingat ide mantan Presiden Soeharto ketika masih menjabat mendukung adanya satelit Palapa A1 yang merupakan suatu bentuk kemerdekaan di wilayah objek atmosfer tanah air. Jika Indonesia tidak memilikinya, atmosfer Indonesia akan dikuasai satelit-satelit asing. Bersyukurlah dengan adanya BRIsat yang mengambil kembali slot yang dulu dipakai Palapa, Jadi artinya mengembalikan kedaulatan di satelit di objek atmosfer kita. Namun yang menjadi catatan penting, BRIsat harus memaksimalkan sisa transponder (pemancar). Total transponder yang dimiliki BRIsat adalah 45 buah, yang masing-masing terbagi 23 transponder untuk BRI dan empat transponder untuk pemerintah. Dari pengamatan saya, ada 18 transponder yang tersisa harus segera dimanfaatkan guna menghasilkan pendapatan yang sesuai untuk pemeliharaan satelit yang terbilang tidak murah. Tetapi tidak menjadi masalah jika diseimbangkan dengan kedaulatan afmosfer Indonesia. Pihak BRIsat harus memikirkan masa dua hingga lima tahun yang akan datang. Bagaimana sisa transponder bisa dimanfaatkan secara efisien. Kinerja BRIsat harus lebih maksimal lagi untuk mendapatkan kerjasama mengisi transponder yang tersisa, apalagi biaya pemeliharaan satelit tidak sedikit.” (Sahrudi, Gyattri Fachbrilian, Suci Yulianita/Majalah Men’s Obsession Edisi Juli 2016)