Senin, 11 Desember 23

CEDeS: ‘Kutu Kupret’ yang Tolak Hukum Mati Gembong Narkoba

CEDeS: ‘Kutu Kupret’ yang Tolak Hukum Mati Gembong Narkoba

Jakarta – Adanya sejumlah pihak yang menolak eksekusi hukuman mati terhadap begundal/gembong narkoba, dinilai aneh oleh Direktur Eksekutif Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS) Edy Mulyadi. Sebab, ditengarai kelakuan para penjahat pengedar narkoba tersebut bisa merusak mental generasi bangsa yang pada gilirannya bakal menghancurkan negara kita tercinta ini.

Bahkan, Edy Mulyadi yang juga Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Muballigh Jakarta (KMJ), menduga ada pihak yang dibayar dan dipesan geng tertentu untuk melawan penerapan hukuman mati terhadap gembong narkoba. Pasalnya, dengan dihapuskannya hukuman mati tersebut mereka bisa tetap merajalela mengedarkan narkoba untuk meracuni gerenasi muda kita.

“Iya, memang aneh bin kutu kupret! Kalau soal mereka dibayar atau dipesan, itu saya kurang tahu persis. Tapi memang patut diduga begitu. Namun sepertinya, orang-orang yang menolak/mengecam hukuman mati bagi para gembong narkoba itu membuta-tulikan mata dan telinga nuraninya,” tegas Edy Mulyadi kepada Obsession News, Senin (19/1/2015).

“Para gembong itu ingin merusak ribuan, bahkan jutaan generasi muda kita. Udah gitu, yang bikin kita lebih marah lagi, mereka adalah warga negara asing. Saya duga orang-orang yang protes (desak hapus hukuman mati- red) itu cuma ingin tunjukkan seolah-olah mereka adalah pejuang HAM, punya rasa kemanusiaan yang tinggi, dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain…,” ungkap Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah KMJ.

“Pernah gak sih mereka bayangkan, kalau yang jadi korban narkoba itu adalah anak, ponakan, adik, kakak, saudara, istri/suami atau bahkan diri mereka sendiri. Masih mau koar-koar soal HAM?” ujarnya mempertanyakan.

Pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menilai, pihak yang tidak menyetujui hukuman mati atas pengedar dan pengguna narkoba adalah termasuk zalim. Ketua Komite Pusat Gerakan Nasional Anti Narkoba (Gannas) MUI, Anwar Abbas, mengaku heran dengan pihak yang menolak hukuman mati tersebut.

Ia heran, ketika Jokowi menyetujui hukuman mati terhadap orang yang telah membunuh dan mematikan orang lain, malah mereka tidak setuju. Padahal, lanjutnya, apabila mereka konsisten dengan sikap mereka yang mengharapkan agar Jokowi berpihak pada rasa keadilan, maka semestinya mereka harus mendukung. “Karena Jokowi jelas-jelas sudah berbuat sangat adil seperti yang mereka harapkan,” tegasnya.

Sebelumnya, saat memberikan kuliah umum di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Selasa (9/12/2014) lalu, Presiden Jokowi  mengatakan, Indonesia sudah sampai ke tahap darurat narkoba. Menurut Jokowi, kesalahan para terpidana kasus narkoba sulit untuk dimaafkan karena umumnya adalah para bandar besar yang demi keuntungan pribadi dan kelompoknya telah merusak masa depan generasi penerus bangsa.

“Saya mendapat laporan, sedikitnya 4,5 juta masyarakat Indonesia telah menjadi pemakai narkoba. Dari jumlah itu, 1,2 juta sudah tidak bisa direhabilitasi karena sudah sangat parah dan antara 30 sampai 40 orang setiap harinya meninggal dunia karena narkoba,” ungkap Presiden ke-7 RI.

Oleh karena itu, Jokowi memastikan untuk menolak permohonan grasi yang diajukan oleh 64 terpidana mati kasus narkoba. “Saya akan tolak permohonan grasi yang diajukan oleh 64 terpidana mati kasus narkoba. Saat ini permohonannya sebagian sudah ada di meja saya dan sebagian masih berputar-putar di lingkungan Istana,” tegasnya sembari menekankan, penolakan permohonan grasi itu sangat penting untuk menjadi shock therapy bagi para bandar, pengedar, maupun pengguna narkoba.

Sementara itu, Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Sofwat Hadi, menduga ada campur tangan sindikat narkotik dalam gerakan menghapus hukuman mati. “Patut dicurigai gerakan-gerakan yang ingin menghapuskan hukuman mati di Indonesia berasal dari campur tangan sindikat narkotik internasional,” bongkarnya.

Ia menegaskan, kejahatan narkotik merupakan kejahatan yang sangat luar biasa, yang bisa membunuh kehidupan suatu bangsa. Karena itu, kejahatan yang bahkan melibatkan sindikat internasional ini tidak bisa disamakan dengan perkara pembunuhan biasa atau membunuh karena motivasi untuk membela diri.

Sopwat mengingatkan, Indonesia sekarang ini sudah menjadi pangsa pasar narkotik sindikat internasional yang besar. Tetapi hukuman terhadap pelaku kejahatan narkotik di Indonesia sangat ringan dibandingkan dengan negara Singapura dan Malaysia. “Di Singapura, pada tahun 2014 ada ratusan narapidana yang telah dihukum mati dalam kasus narkotik,” bebernya.

Dukung Eksekusi Mati Gembong Narkoba
Pengamat politik Dr Muhammad AS Hikam menyatakan setuju dan memberikan apresiasi serta dukungan terhadap keputusan tegas Presiden RI atas pelaksanaan hukuman mati terhadap gembong narkoba, karena kejahatan narkoba merupakan sebuah tindakan kriminal yang bukan saja merusak individu tetapi juga masyarakat, bangsa dan Negara.

Menurut Hikam, ketegasan Pemerintah perlu didukung oleh seluruh rakyat. Argumen bahwa hukuman tak akan menghentikan kriminalitas, termasuk narkoba, kendati ada benarnya, tetapi tidak berarti hukuman mati ditiadakan. Ada benarnya, sebab hukuman apapun, termasuk mati, tidak akan mampu membuat jera dan menghentikan kriminalitas secara total. Namun upaya untuk mencegah, mengurangi, memberantas kejahatan seperti narkoba tak boleh menutup kemungkinan diterapkannya hukuman paling berat, bahkan termasuk hukuman mati tersebut.

“Khususnya kepada para pengedar, sindikat atau kartel yang telah sedemikian rupa keberadaannya sehingga menjadi ancaman nyata bagi kehidupan bangsa, khususnya (tetapi tak terbatas pada) generasi muda. Bahaya narkoba bukan saja pada tataran pengguna langsung, tetapi juga masyarakat secara luas. Bahkan dalam kasus-kasus yang terjadi di beberapa negara, kartel-kartel narkoba juga ditengarai menjadi penentu kekuasaan politik dan bahkan mempersenjatai diri dan melakukan kekerasan termasuk terorisme,” tegas Hikam dalam akun facebook-nya, Minggu (18/1).

Senada pula, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menyatakan dirinya mendukung hukuman mati bagi gembong narkoba. “Soal hukuman mati, saya taat azaz hukum. Kalau negara memilih hukuman mati sebagai alat hukuman, saya kira itulah nilai yang kita anut. Indonesia tidak boleh main-main dengan hukum, harus sesuai dengan kadar kesalahannya,” tegasnya, Minggu (18/1).

Keputusan pemerintah Belanda dan Brasil yang menarik duta besarnya di Indonesia sebagai bentuk protes atas eksekusi hukuman mati salah satu warganya juga dinilai berlebihan. Dua negara itu seharusnya bisa menghormati sistem hukum di Indonesia. “Sikap yang diambil dengan menarik duta besar terlalu berlebihan. Mereka seharusnya dapat menghormati sistem hukum kita. Yang dieksekusi mati itu bandar narkoba, bukan penjahat biasa. Dan Indonesia sedang darurat narkoba,” tegas Ketua Fraksi Gerindra MPR RI, Edhy Prabowo, Senin (19/1).

Menurut Edhy, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia memang sesuai dengah sistem hukum positif selama ini. Bahkan, yang dieksekusi mati pada Senin dinihari kemarin tadi tak hanya warga negara asing melainkan salah satunya warga negara Indonesia bernama Rani. “Warga negara kami juga ada yang dieksekusi mati di luar negeri. Kami bisa menghormati sistem hukum negara lain meski kami juga tetap meminta kepada negara tersebut untuk membatalkan hukuman itu. Negara memang perlu berperan dalam hal diplomasi, tetapi pada akhirnya tetap harus menghormati aturan main masing-masing negara,” tegas anak buah Prabowo Subianto ini.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana menyatakan, bangsa kita tidak boleh kendur dalam pelaksanaan hukuman mati terhadap gembong narkoba, meski Belanda dan Brasil dalam protesnya menarik mundur Dubesnya. Ini menanggapi reaksi Pemerintah Brasil dan Belanda memanggil duta besarnya di Jakarta setelah pemerintah Indonesia mengabaikan permohonan kedua negara tersebut untuk mengampuni warganya yang dieksekusi di LP Nusakambangan, Minggu (18/1) dini hari.

Menurut Hikmahanto, Indonesia bisa memahami sikap dua negara yang mungkin tidak suka dengan pelaksanaan hukman mati. Tapi mereka harus juga paham bahwa ini masalah kedaulatan, penegakan hukum dan kejahatan narkoba yang Indonesia harus derita. “Dugaan saya Dubes ditarik lebih untuk merespons tuntutan dalam negeri mereka agar mereka lebih keras memprotes apa yang terjadi terhadap warga negara mereka. Toh pelaksanaan terhadap hukuman mati sudah dilakukan atas WN mereka,” paparnya.

Pengamat hukum tata negara UI, Dr Margarito Kamis, menganggap penarikan Dubes Belanda dan Brasil hanya gertak sambal. Untuk itu, Presiden Jokowi tidak perlu gentar dengan ancaman tersebut. “Ini cuma gertak sambal. Tarik saja!” tantangnya.

Menurut Margarito, Indonesia harus berdaulat penuh, termasuk dalam menjalankan konstitusinya. Apalagi, kedua negara tidak merasakan dampak langsung dari peredaran narkoba yang masif seperti di Indonesia. “Tarik saja (Dubes mereka). Belanda sudah menjajah kita 350 tahun. Tidak apa-apa. Lupakan Belanda itu!” serunya. (Ars)

Related posts