Jakarta – Satu tahun sudah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Undang Undang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) berlaku. Ada sejumlah temuan yang ternyata semakin mengkonfirmasi kekeliruan pengaturan dan dampak negatif yang ditimbulkan. Untuk itu, sejumlah organisasi yang melakukan kajian dan advokasi terhadap kehidupan berserikat dan berorganisasi di Indonesia, yang berhimpun dalam Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB), menyelenggarakan konferensi pers tentang “Satu Tahun UU Ormas: Kewajiban Registrasi, Benih Represi”.
Bertindak sebagai jurubicara KKB pada konferensi pers digelar di markas Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Rabu (2/7/2014) ini, adalah Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri didampingi Aktivis ICW Febri Hendri dan Aktivis YAPPIKA Fransisca Fitri yang juga Koordinator KKB.
Ronald memaparkan, apa yang ditemui KKB selama satu tahun pemantauan implementasi UU Ormas (2 Juli 2013 – 2 Juli 2014) adalah ternyata keberadaan (R)UU Ormas tidak pernah digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah ormas, sebagaimana konteks latar belakang penyusunan (R)UU Ormas sendiri.
Menurutnya, ada ormas yang melakukan kekerasan, diselesaikan dengan merujuk pada ketentuan KUHP atau bahkan cukup melalui tindakan persuasi dan mediasi. Justru yang nampak adalah UU Ormas melahirkan dampak yang sesuai dengan watak aslinya yaitu, pengendalian kebebasan berserikat dan berorganisasi. “Kewajiban registrasi dipaksakan dan ini adalah benih represi yang menggejala di berbagai daerah,” tandas Ronald.
Kewajiban Registrasi, Benih Represi
Ronald Rofiandri menjelaskan, (R)UU Ormas akhirnya menjadi usul inisiatif DPR dan masuk ke dalam prioritas tahunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada penghujung 2010. Selama hampir dua tahun, Panitia Khusus (Pansus) DPR bersama dengan Pemerintah (diwakili oleh Kementerian Dalam Negeri) membahas (R)UU Ormas ini. DPR memperpanjang periode pembahasan hingga 7 (tujuh) kali masa sidang. Bahkan pengesahan (R)UU Ormas pada 2 Juli 2013 harus melalui voting, karena 9 (sembilan) fraksi DPR tidak mampu mencapai kata sepakat. Pengesahan ini pun sempat ditunda dalam dua kali rapat paripurna, yaitu 12 April 2013 dan 25 Juni 2013.
Paska UU Ormas disahkan, lanjut dia, KKB melakukan pemantauan kebijakan terkait UU Ormas pada level yang lebih operasional. KKB menemukan implementasi UU Ormas cukup masif di berbagai daerah. Pola utama yang ditemukan dari pemantauan adalah kewajiban registrasi organisasi pada kantor Kesbangpolinmas (Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat) di daerah. Bermacam bentuk/sebutan organisasi yang dimaksud seperti ormas, LSM (lembaga swadaya masyarakat), OKP (organisasi kepemudaan), yayasan dan lainnya diwajibkan untuk mendaftar dan memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
Ia menegaskan, pemantauan KKB menemukan pula bahwa pola utama ini biasanya didahului oleh kegiatan pendataan untuk memeriksa apakah organisasi tersebut terdaftar atau tidak, serta apakah SKT masih berlaku atau kadaluarsa. Kegagalan memenuhi kewajiban registrasi akan menimbulkan ancaman dampak dicabutnya ijin, dibubarkan, dicap sebagai organisasi ilegal atau liar, akses pada dana pemberdayaan ditutup, tidak diakui, atau hanya sekedar tidak dilayani.
“Salah satu temuan pemantauan yang memperlihatkan tafsir keliru dan berlebihan atas ketentuan pendaftaran antara lain (kewajiban pendaftaran ormas) ke kantor Kesbangpolinmas Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan 1 dan kewajiban ormas melaporkan keberadaannya dan rekomendasi pencabutan izin bagi yang tidak melapor sebagaimana yang diberlakukan di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi2,” ungkapnya.
Berbagai temuan dalam pelaksanaan UU Ormas ini, jelas dia, pada akhirnya merupakan bagian dari tantangan pemerintahan baru nanti khususnya implementasi UU Ormas (yang akan memasuki tahun kedua). Benih represi bagi kebebasan sipil akan lebih membelit ruang bagi masyarakat sipil untuk berperan dan berkontribusi dalam bangunan demokrasi Indonesia. “Di saat yang bersamaan, kehadiran UU Ormas telah menurunkan status kebebasan sipil (civil liberties) 2014 Indonesia dari free menjadi partly free (data Freedom House Index-FHI 2014),” tambahnya.
Ia pun mempertanyakan, beranikah pemerintahan baru nanti memasukkan RUU pencabutan UU Ormas di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019? “Apakah pemerintah baru akan melengkapi kerangka hukum pengaturan organisasi masyarakat sipil yang menjamin pemenuhan kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan berekspresi?” tegasnya pula. (Pur)