
Kisruh Golkar Harus Diselesaikan Mahkamah Partai:
Mahkamah Partai yang Mana?
Aturan organisasi mengatakan setiap ada persoalan, konflik atau kisruh internal organisasi, maka penyelesaiannya adalah melalui mahkamah organisasi bersangkutan, termasuk jika konflik di partai maka mahkamah partai bersangkutan yang lebih dahulu menyelesaikannya. Pertanyaannya adalah untuk menyelesaikan dua kubu yang tengah berkonflik, mahkamah partai yang mana yang musti menanganinya?
Bicara aturan main adalah seperti yang kita sampaikan di atas, tetapi itu dalam keadaan normal, dan mahkamah partai atau organisasi dalam kondisi berdiri netral, serta mereka cukup memiliki kewibawaan terhadap yang akan diadili. Namun kalau keadaan darurat di satu sisi, dan sisi lain jika mahkamah partai yang ada dianggap tidak netral, serta dianggap kurang memilik kewibawaan, lantas kemana dan siapa yang berhak menyelesaikan?
Dalam konflik Golkar demikianlah keadaannya, di satu kubu—kubu Aburizal Bakrie (ARB)—mengatakan bahwa mereka sikapnya sudah final, sebagaimana berkali-kali dikemukakan politisi Partai Golkar kubu ARB, Ali Mochtar Ngabalin. Final dalam artian tidak ada kubu-kubuan, artinya kubu Agung Laksono dianggap sudah tidak ada, karena menurut Ngabalin mereka sudah dipecat dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke IX Partai Golkar di Nusa Dua, Bali.
Berbeda dengan pendapat Yorrys Raweyai dari kubu Agung Laksono, bahwa ARB tidak punya kewenangan memecat mereka. Karena Munas Bali dianggap inikonstitusional, yang sah adalah Munas Ancol, Jakarta yang menetapkan Agung Laksono sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar. Dan ketika banyak pengamat politik mengatakan, konflik tersebut harus diselesaikan oleh mahkamah partai, Yorrys bertanya mahkamah partai yang mana?
Masalahnya adalah di sini, kalau persoalan tersebut harus diselesaikan lewat mahkamah partai, pasti kedua kubu akan menunjuk kepada mahkamah partai yang mereka bentuk. Tidak mungkin kubu ARB mau diselesaikan oleh mahkamah partai yang dibentuk kubu Agung. Demikian pula kubu Agung pasti ogah diselesaikan oleh mahkamah partai yang dibikin kubu ARB. Maka ini artinya nyaris tidak mungkin konflik tersebut diselesaikan lewat jalur itu.
Ada pendapat perlunya orang kuat di Golkar untuk menjadi penengah dalam konflik tersebut. Nampaknya yang seperti ini pun sulit saat ini untuk menemukannya. Jika dulu mungkin persoalan semacam itu dapat diredam, karena masih ada Pak Harto (almarhum mantan Presiden HM Soeharto) yang sangat disegani, ditakuti dan dihormati semua kader Golkar.
Sekarang meskipun ada kader Golkar HM Jusuf Kalla (JK) yang sekarang menjadi Wakil Presiden (Wapres), tetapi di sisi lain masih ada Akbar Tandjung, yang kita yakini tidak mungkin mau patuh dengan fatwa JK. Secara kebetulan dua figur ini juga berseberangan, yang satu dinilai lebih condong ke ARB, yang lain dianggap lebih simpati kepada Agung Laksono. Jadi Mahkamah Partai yang mana yang akan merampungkan kisruh Golkar ? (Arief Turatno wartawan senior)