Sabtu, 20 April 24

Kisruh Calon Kapolri, Seperti Melihat Dagelan

Kisruh Calon Kapolri, Seperti Melihat Dagelan

Kisruh Calon Kapolri, Seperti Melihat Dagelan
Oleh: Gede Sandra
(Lingkar Studi Perjuangan & Eks Aktivis ITB)

Rakyat Indonesia, terlebih lagi segelintir elit politik di pemerintahan dan parlemen, terhenyak dengan aksi berani KPK menetapkan status hukum untuk Komjen Budi Gunawan (BG). Hampir seluruh elit di parlemen, yang selama beberapa bulan terakhir ditonton publik menampilkan kerasnya dunia persilatan politik, terlihat satu suara dalam hal calon tunggal Kapolri ini- memang kemudian agak buyar paska penetapan tersangkanya. Perwira tinggi yang kabarnya dekat dengan mantan presiden Indonesia ke-5, puteri Bung Karno, ini ketiban sial mendapati namanya dalam daftar “rekening gendut” yang ramai diberitakan belakangan.

Mantan Ketua PPATK dan Ketua KPK (aktif) menyatakan bahwa nama lulusan terbaik akpol 30-an tahun yang lalu ini sudah pernah mereka coret saat namanya muncul sebagai calon menteri Jokowi beberapa bulan lalu. Akhirnya yang kini kita lihat, sebentar lagi fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) dari BG akan diuji di komisi hukum parlemen. Kita tunggu suara rakyat yang diwakili para elitnya akan seeprti apa nanti menyikapi tentang gebrakan si lembaga anti rasuah.

Publik tentu masih ingat slogan kampanye dari kekuatan politik pemenang, yaitu kata “Hebat”, sangat mungkin meniru dari 3 kata yang kerap menyelimuti gedung KPK, yaitu: Jujur, Bersih, Hebat (harus berterima kasih kepada artis dan aktivis Pong Harjatmo atas penemuan ini). Dengan memanfaatkan kepopuleran KPK dalam memberantas korupsi di era pemerintahan SBY, kekuatan politik ini berhasil memenangi hati rakyat Indonesia yang menanti perubahan menuju Indonesia yang Hebat di 2014.

Maka sempat kita lihat, sebelum akhirnya (atau memang sejak awal?) memilih taipan Bugis menjadi wakilnya, Jokowi seolah memberi angin segar kepada Ketua KPK aktif untuk masuki istana. Jadi istilah (Hebat) dari gedungnya dipinjam, namun pemimpinnya batal dipinang. Sekarang KPK balik menghujamkan pedang keadilannya kepada kekuatan politik yang meminjam kata “Hebat” tersebut.

Namun menurut kami memang pemerintahan yang “Hebat” ini juga memiliki kehebatan lain, selain soal pemberantasan korupsi, yaitu soal pilihan garis ekonomi. Hebat sekali, akhirnya pada masa Jokowi subsidi untuk premium, BBM, dihapuskan sepenuhnya. Kita harus berterima kasih para penganut neoliberal yang membisiki Jokowi untuk melanggar konstitusi (Pasal 33 UUD 1945), karena dengannya rakyat dapat menjadi lebih pandai ke depannya- agar tidak salah memilih lagi. Karena penampilan sungguh dapat mengelabui, orang yang perawakan dan penampilannya terlihat berasal dari kalangan rakyat kecil, belum tentu berpihak kepada rakyat kecil itu sendiri.

Hebat memang, hanya pada masa Jokowi lah rakyat dipaksa mensubsidi korupsi dan rente elit pejabatnya. Mafia migas yang gembar-gembornya pada kampanye pilpres tahun lalu akan diberangus, malah berhasil melipat pemerintahannya. Begitupun para mafia yang lain, hampir di segala sektor yang menguntungkan, semua berhasil kadali Jokowi. Hebat, memang hebat, para mafia ini -yang juga jaringan pengusaha kelas kakap- bahkan sudah masuk ke parlemen dan pemerintahan, menyuarakan sayap kanan pemikiran.

Yang menurut kami lucu, seperti melihat dagelan, kubu yang saat ini menjadi oposan Jokowi, ternyata juga merupakan kekuatan politik yang juga menyokong neoliberal dalam 10 tahun pemerintahan SBY- juga sayap kanan. Atau dengan kata lain: jeruk makan jeruk. Berkembanglah kemudian adagium, meniru Teh Botol SOSRO: siapapun presidennya, neolib kebijakannya!

Jadi sebenarnya Negara kita “terbang” hanya dengan 1 sayap (yaitu sayap kanan yang neoliberal), makanya tidak pernah jauh kemajuannya. Sudah terlalu lama kekuatan politik sayap kanan (yang korup) bercokol di Negara ini, sejak Suharto hingga Jokowi sudah hampir setengah abad, mungkin hanya diinterupsi sejenak oleh Gus Dur.

Kemudian pertanyaan-pertanyaannya yang menyisa: tidakkah ada peluang munculnya kekuatan politik yang kritis terhadap neoliberal di masa depan, yang akan menggeser garis ekonomi kita setidaknya ke tengah? Jadi apakah lebih baik demokrasi yang anti terhadap kekuatan progresif ini, yang sangat pro terhadap oligarki (khususnya media), kita biarkan saja melenggang terus?

Benarkah kekuatan politik neoliberal ini seolah tidak mungkin dilawan, karena tampak sudah terlalu besar dan hegemonik? Mungkinkah keadilan sosial terjadi juga di kalangan rakyat banyak, tidak hanya di segelintir elit oligarkis saja? Mari kita bertanya kepada kaum pergerakan. (*)

Related posts