
Jakarta, Obsessionnews.com – Kinerja Pemerintah Provinsi (Pemrov) DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di bidang urusan manajemen keuangan sangat rendah dan buruk. Ditemukan beragam kelemahan dan penyimpangan.
Penilaian tersebut disampaikan pengamat politik Network for South East Asian Studies (NSEAS), Muchtar Effendi Harahap, melalui keterangan tertulis yang diterima Obsessionnews.com, Senin (6/3/2017).

Muchtar mengungkapkan, penyerapan anggaran Pemprov DKI lebih buruk, pemanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR) tanpa melalui mekanisme DPRD, perolehan dana reklamasi sebagai out of budget atau tidak masuk jalur pendapatan daerah dalam APBD.
Selain itu Muchtar juga menyoroti Pemprov DKI yang membeli aset milik sendiri. Bahkan Pemprov DKI tak dapat mempertanggungjawabkan secara audit keuangan penggunaan dana hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Juga di era Ahok, menurut Muchtar, ditemukan kasus dugaan korupsi besar-besaran, seperti kasus Uninterruptible Power Supply (UPS), kasus pembelian armada bus Transjakarta, kasus pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras, kasus pembelian tanah milik sendiri di Cengkareng untuk rumah susun sederhana sewa (rusunawa), kasus reklamasi Teluk Jakarta atau pulau palsu, dan lain-lain.
“Kegagalan Ahok mengurus penyerapan anggaran jelas sebagai kendala bagi kemajuan dan pertumbuhan ekonomi DKI selama ini. Kegagalan dalam manajemen keuangan, juga berlaku pada urusan pendapatan daerah. Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Ahok tak mampu dan gagal mencapai target pendapatan daerah tiap tahun. Kondisi kinerja urusan pendapatan daerah ini tergolong buruk. Tidak pernah sekalipun Ahok meraih 100 persen target capaian,” tegas Muchtar.
Ia menambahkan, slogan kampanye Ahok, yakni kerja, kerja, kerja, ternyata hanyalah berlaku dalam kampanye. “No realitas objektif!” tandas alumnus Program Pasca Sarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1986 ini.
Kondisi Kinerja Pendapatan Daerah
Muchtar mengemukakan, selain mengalami kondisi perlambatan laju ekonomi, ternyata sepanjang 2013 Pemprov DKI tak dapat mencapai target realisasi pendapatan daerah.
Padahal tahun-tahun sebelumnya di era Gubernur Fauzi Bowo, kata Muchtar, realisasi pendapatan daerah DKI selalu mencapai target. Dan bahkan mampu melampui target dengan jumlah cukup meningkat.
Dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) 2013, Gubernur DKI Jokowi mengatakan realisasi rencana pendapatan daerah ditargetkan sebesar Rp 40,79 triliun, ternyata tidak tercapai sama sekali.
Hingga akhir 2013, realisasi pendapatan daerah hanya tercapai sebesar Rp 39,50 triliun, atau hanya 96,83% dari target capaian ditetapkan. Angka ini relatif masih tinggi, tetapi gagal meraih 100 persen
Bila dibandingkan dengan era Fauzi Bowo, realisasi pendapatan daerah tahun anggaran 2012, awalnya ditargetkan sebesar Rp 33,65 triliun. Faktanya, berhasil terealisasi melampaui target, yakni Rp 35,38 triliun atau 105,14%.
Kemudian pendapatan transfer yang direncanakan Rp 11,59 triliun, berhasil melampaui target, yakni Rp 13,33 triliun.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) banyak melebihi target. Seperti pajak daerah dari direncanakan sebesar Rp 16,53 triliun, dan terealisasi Rp 17,72 triliun. Kemudian retribusi daerah direncanakan Rp 901,22 miliar, dan terealisasi sebesar Rp 1,82 triliun.
Sementara itu pada 2014 Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Ahok merencanakan target pendapatan daerah yakni Rp 39,35 triliun. Namun, gagal mencapai target, hanya memperoleh Rp 31,27 triliun atau 78,67 %. “Angka capaian ini tergolong lebih buruk,” ujar Muchtar.
Dana Perimbangan pada 2014 direncanakan Rp 17,77 triliun, dan terealisasi realisasi Rp 9,67 triliun atau sebesar 54, 46%. “Angka capaian ini tergolong sangat buruk,” kritik Muchtar.
Pada 2015 juga di bawah kepemimpinan Ahok target capaian pendapatan daerah Rp 56,30 Triliun. Tapi, faktanya tidak berhasil mencapai target, dan terealisasi hanya Rp 44,20 triliun atau 78,51 persen. “Angka ini menunjukkan kondisi kinerja Ahok lebih buruk,” kata Muchtar.
Terkait PAD pada 2015 terealisasi hanya Rp 33,68 triliun atau 88,73 persen dari target Rp. 37,96 triliun. Menurut Muchtar, angka ini tergolong buruk.
Selanjutnya realisasi pendapatan transfer Rp 8,64 triliun atau 54,85 persen dari target Rp 15,7 triliun. “Angka ini tergolong sangat buruk,” tandasnya.
Realisasi Lain-lain Pendapatan yang Sah sebesar Rp 1,88 triliun atau 72,65 persen dari target Rp 2,58 triliun. “Angka ini tergolong lebih buruk,” ujar Muchtar.
Fakta menunjukkan pemasukan APBD 2015 merosot jika dibandingkan APBD 2014. Diketahui APBD 2015 mencapai Rp 69,2 triliun, lebih rendah dibandingkan 2014 yang mencapai Rp 72,9 triliun.
“Intinya pada 2015 era Ahok tidak ada satu pun komponen pendapatan mencapai target alias gagal,” tegasnya.
Bagaimana untuk tahun 2016? Secara keseluruhan, nilai pendapatan daerah APBD-P DKI 2016 sekitar RP 57,161 triliun. Sementara nilai belanja daerah pada APBD-P 2016 sekitar Rp 57,365 triliun. “Sangat mungkin Pemprov DKI juga tak mampu dan gagal mencapai target. Tahun 2016 tahun Ahok penuh konflik dengan umat Islam karena I a menista Islam. Kerja Ahok terkesan hanya untuk pencitraan diri untuk Pilkada DKI 2017,” kata Muchtar.
Menurut Muchtar, secara keseluruhan sejak 2013 hingga 2015 kondisi kinerja Pemprov DKI dalam mengurus pendapatan daerah rata-rata mencapai 82 persen dari target 100 persen.
Kinerja Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok bidang urusan manajemen keuangan, sungguh sangat rendah dan masih buruk.
Muchtar menegaskan rakyat DKI sadar dan paham betapa pentingnya manajemen keuangan. Ahok terbukti tak mampu mengurus manajemen keuangan, termasuk mengurus pendapatan daerah agar meningkat. Oleh karena itu diperlukan gubernur alternatif.
“Prospek kehidupan rakyat DKI lima tahun ke depan sangat bergantung pada kehadiran gubernur alternatif dimaksud,” pungkasnya. (arh)