Jumat, 19 April 24

Kinerja Ahok Jelek di Mata BPK

Kinerja Ahok Jelek di Mata BPK

Oleh: Muchtar Effendi HarahapPeneliti Senior Politik/Pemerintahan Network for South East Asian Studies (NSEAS ), dan Alumnus  Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UGM,Yogyakarta (1982)

Debat pasangan calon (paslon) Pilkada DKI Jakarta 2017, Jumat malam, 13 Januari 2017, telah menampilkan sejumlah isu strategis urusan pemerintahan dan rakyat DKI. Namun, belum tampil satu isu strategis terpenting bagi Pemprov DKI, yakni  pengelolaan keuangan atau financial management.

Isu strategis ini sungguh selama Ahok jadi Gubernur belum terpecahkan dan dibiarkan berlangsung begitu saja dalam perdebatan publik. Tidak ada indikasi solutif bagi isu ini terutama dari pihak Ahok.

Telah diketahui publik DKI, Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) Provinsi DKI terbesar di Tanah Air. Kenaikannya pun sangat signifikan setiap tahun.

Pada 2012, APBD DKI Jakarta dipatok Rp 41,3 triliun. Pada 2014, APBD DKI melonjak menjadi Rp 72,9 triliun. Jumlah itu semakin bertambah pada 2015 menjadi Rp 73,08 triliun. Namun terakhir, 2016, jumlahnya menurun menjadi Rp 67,16 triliun. Bahkan, era Gubernur baru pasca Pilkada 2017, diperkirakan mencapai Rp 100 triliun.

Persoalannya, apakah APBD itu sudah dikelola dengan baik? Inilah jawabannya.

BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) menilai Pemprov DKI di bawah Ahok sebagai WDP (Opini Wajar Dengan Pengecualian). Menurut istilah akuntansi, WDP adalah pendapat diberikan ketika laporan dikatakan wajar dalam hal material, tetapi terdapat sesuai penyimpangan (kurang lengkap) pada pos-pos tertentu, sehingga harus dikecualikan. Pengecualian itu sendiri mungkin saja terjadi karena bukti kurang cukup, adanya pembatasan ruang lingkup, atau terdapat  “penyimpangan” dalam penerapan prinsip akuntansi berlaku umum.

Predikat WDP 2014 tidak berbeda dengan opini audit BPK pada laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta pada 2013 (awal era Jokowi-Ahok). Padahal pada periode Pemprov sebelumnya, Gubernur Sutioso dan Fauzie Bowo alias Foke,  selalu mendapat opini audit WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Predikat WDP diberikan kepada Ahok karena ada 70 temuan dalam laporan keuangan DKI senilai Rp 2,16 triliun, berindikasi kerugian DKI senilai Rp 442 miliar. Berpotensi merugikan DKI sebanyak Rp. 1,71 triliun. Lalu kekurangan penerimaan dana DKI sebanyak Rp. 3,13 miliar, belanja administrasi sebanyak Rp 469 juta dan pemborosan Rp. 3,04 miliar.

Beberapa temuan wajib menjadi perhatian Pemprov DKI. Yaitu aset seluas 30,88 hektar di Mangga Dua dengan PT Duta Pertiwi dianggap lemah dan tidak memperhatikan faktor keamanan aset; pengadaan tanah Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta Barat tidak melewati proses pengadaan memadai (ada indikasi kerugian senilai Rp 191 miliar); kelebihan bayar premi asuransi senilai Rp. 3,7 miliar; pengeluaran dana Bantuan Operasional Pendidikan tidak dapat dipertanggungjawabkan senilai Rp. 3,05 miliar; penyertaan modal dan aset kepada PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) tidak sesuai ketentuan. Hal terakhir ini menyangkut tanah seluas 794 ribu meter persegi, bangunan seluas 234 meter persegi dan tiga blok apartemen belum diperhitungkan sebagai penyertaan modal kepada badan usaha milik daerah.

Berdasarkan laporan BPK, dalam perjalanan Ahok selaku Gubernur DKI terdapat data dan fakta lain, ada  temuan BPK tentang beberapa “ketidakberesan” dalam penggunaan anggaran oleh Pemprov DKI tahun anggaran 2014. Atas dasar itu, BPK memberi opini WDP untuk laporan keuangan tahun 2014 lalu.

Hal ini tak berbeda dengan laporan keuangan pada 2013 sebelumnya, juga diberi penilaian WDP. Beberapa temuan BPK yang mengakibatkan DKI mendapat “rapor merah” antara lain sensus aset masih berantakan (Tempo, 7 Juli 2015). Ironisnya, Ahok selama ini diklaim sebagai bersih, jujur dan anti korupsi, justru  predikat WDP terus berlangsung   untuk anggaran tahun 2015, dan diperkirakan juga untuk Anggaran 2016.  Karena itu, di mata BKP kinerja Gubernur Ahok sejak tahun 2013, 2014 dan bahkan 2015 tergolong jelek dengan predikat WDP. Untuk anggaran tahun 2016, belum ada laporan penilaian BKP hingga tulisan ini dibuat.

Mengacu pada Liputan6.com, Jakarta, BPK telah menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK terhadap laporan keuangan tahun 2015. Dalam audit keuangan tersebut, Pemprov DKI kembali mendapat penilaian WDP. Empat poin utama yang dicatat BPK, semuanya mengenai bobroknya pencataan aset di DKI. WDP tahun lalu sudah ditindaklanjuti namun belum memadai. Tahun 2016 masih sama seperti tahun 2015. Hal diperhatikan pengendalian pengelolaan piutang PBB belum memadai, belum catat kewajiban konversi terkait kontribusi pengembang, pencataan aset tidak melalui sistem akuntasi dan inventarisiasi aset belum valid.

Jika debat paslon kedua mendatang dimunculkan isu strategis WDP Pemprov DKI dibawah Ahok sejak 2013 hingga 2015, sungguh cukup menarik. Isu ini akan merembet pada isu besar korupsi APBD, seperti isu pembelian bus Transjakarta, Uninteruptible Power Supply (UPS), pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras, pembelian tanah milik sendiri di Cengkareng, dan lain-lain. Sebagus apapun program kerja Gubernur, menjadi tidak efisien dan mencapai target jika manajemen keuangan tidak baik dan syarat penyimpangan atau korupsi. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.