Selasa, 28 Maret 23

Kikis Segregasi Sosial, Hentikan Eksklusi Atas Minoritas

Kikis Segregasi Sosial, Hentikan Eksklusi Atas Minoritas
* Slamet Jumiarto, warga non-muslim yang ditolak tinggal di Padukuhan Karet RT 8, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. (Foto: Arfiansyah Panji/kumparan)

Jakarta, Obsessionnews.com – Kasus Slamet Jumiarto, warga Dusun Karet Desa Pleret Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul menyentak publik. Setelah sempat ditolak oleh perangkat Rukun Tetangga (RT) setempat, Slamet dan keluarga akhirnya diperbolehkan tinggal di dusun tersebut. 

Slamet dan keluarganya sebelumnya dilarang tinggal di Dusun Karet, Desa Pleret karena berbeda agama dengan penduduk setempat yang mayoritas beragama muslim. Hal itu berdasarkan Surat Keputusan Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 tentang Persyaratan Pendatang Baru di Dusun Karet. 

Namun pada akhirnya oleh Bupati Bantul Suharsono surat keputusan tersebut dicabut. SETARA Institute sebagai salah satu organisasi sosial memberikan apresiasi kepada Bupati Bantul Suharsono yang langsung mengecam dan meminta aturan diskriminatif di Dusun Karet tersebut dicabut. 

“Standing position Bupati Bantul ini bukan sikap pertama yang menunjukkan kuatnya perspektif toleransi. Sebelumnya sikap dengan nada yang sama juga ditunjukkan dalam kasus penolakan Camat Pajangan oleh warga karena yang bersangkutan non-Muslim,” kata Halili, Direktur Riset SETARA Institute, Rabu (3/4/2019).

Aturan yang memuat eksklusi sosial atas non-muslim ini menjadi perhatian serius dari SETARA Institute, maupun organisasi sosial lainnya di Indonesia. Karena dianggap berpotensi mengikis segregasi sosial, maka kasus eksklusi atas minoritas diminta segera dihentikan.

Dalam kasus perusakan persiapan sedekah laut oleh kelompok intoleran. SETARA Institute juga menjurakan tabik kepada Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur DIY, yang melalui Sekda DIY menyampaikan sikap toleran yang sama dan menyatakan bahwa aturan tersebut mesti dibatalkan. 

“Juga kepada DPRD DIY dan lebih-lebih elemen masyarakat sipil DIY atas inisiatif yang baik untuk menghadirkan keadilan bagi korban,” katanya.

Atas munculnya kasus eksklusi atas minoritas, SETARA Institute memberikan pernyataan sikap, dengan harapan supaya daerah lain tidak memberlakukan hal yang sama. 

Pertama, aturan yang diskriminatif di tingkat lokal bukanlah fenomena tunggal di Pleret. Begitu banyak kebijakan negara yang diskriminatif mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat RT. Karena aturan itu bisa mendorong eksklusi sosial, melegalisasi intoleransi, melanggar hak dan mengakibatkan luka moral (moral injury) atas minoritas, khususnya minoritas keagamaan. 

“SETARA Institute mendesak pemerintah agar menghentikan eksklusi terhadap minoritas, dengan melakukan tindakan yang progresif untuk mengatasi regulasi lokal yang diskriminatif,” tegas dia. 

Kedua, belajar dari kasus Pleret Bantul, pemerintah, kata dia, juga harus memberikan perhatian terhadap pemukiman-pemukiman eksklusif yang menciptakan segregasi sosial berdasarkan agama seperti di Dusun Karet. 

“Dusun Karet bukan gejala unik. Dalam perkembangan kontemporer, banyak sekali pemukinan yang eksklusif dalam bentuk perumahan-perumahan berdasarkan agama tertentu. Di dalam iklim kemerdekaan, perumahan eksklusif berdasarkan agama tertentu merupakan kemunduran peradaban yang memuat kontra narasi atas kemajemukan,” ujar Halili

Fenomena ini lanjut Halili, akan menutup ruang perjumpaan antar identitas yang berbeda dan menebalkan kekhawatiran, kecurigaan, ketakutan dan keterancaman dalam melihat identitas yang berbeda. 

“Pemerintah harus segera mengikis terjadinya segregasi sosial semacam itu dengan menolak perizinan perumahan yang eksklusif berdasarkan identitas agama sebab berpotensi merusak kebinekaan Indonesia,” papar dia. (Has)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.