Sabtu, 20 April 24

Khilafah Ginandjar Kartasasmita Ngawur Berat

Khilafah Ginandjar Kartasasmita Ngawur Berat

Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman, Mantan Anggota Komisi Hukum DPR, Wakil Sekretaris Pemimpin Pusat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama PBNU

 

Ginanjar Kartasasmita mengirim tulisan apik dari Boston soal khilafah. Masalahnya gebyah uyah, kata orang Jawa. Yang dimaksud adalah khilafahnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang baru dibubarkan Menko Polhukam Jenderal Wiranto pekan lalu dengan tuduhan anti-Pancasila.

Tapi dalam tulisan yang dikirim Ginandjar, karena pukul rata, semua istilah khilafah kena, hingga ke ISIS. Padahal, istilah itu merupakan terminologi dalam Al Qur-an dan Hadits, sejarah Islam, sejarah dunia, dan sejarah NKRI.

Akan halnya HTI, menurut hukum, prosedur pembubaran HTI, tak memenuhi syarat. Jadi masih panjang perjalanan pembubaran HTI di pengadilan.

Pembubaran itu kontra produktif. Timing-nya tak tepat. Yaitu di kala Bani Islam sedang berfriksi dengan Bani Kotak, sang penguasa, soal Ahok. Praktis jurus Wiranto terbaca sebagai bagian dari beleid serangan terhadap Bani Islam soal Congbi yang membuat umat Islam seantero Nusantara tahu surat Al Maidah 51, yang tadinya tak tahu. Sudah pasti ke depan Islamisme menguat secara signifikan yang niscaya pula menyulitkan para sekuler.

Beleid yang ceroboh, pembubaran dilepas pada saat Bani Islam sedang senafas sepenanggungan melintasi sektarianismenya melawan Congbi. Setelah ikut Orde Baru sekian lamanya menangani konflik ideologis, ternyata Wiranto belum lulus juga. Tak boleh sewenang-wenang!

Belum selesai kasus separatis Papua Merdeka, muncul separatis Minahasa, dengan segala ekspresinya. Itu wajib ditindak. Yaitu, sepanjang masih dalam bentuk recht idea (gagasan hukum) melawan Pancasila, NKRI, dilindungi HAM. Tetapi ketika diekspresikan seperti Papua Merdeka dan Minahasa Merdeka adalah melanggar hukum makar. Khilafahnya HTI masih taraf recht idea. Belum konsep politik. Walau banyak suara dari NU yang ingin membubarkan HTI, juga sekadar diskursus akibat gesekan kegiatan di lapangan. Tak berarti PBNU bersedia menjadi balak enam dalam pembubaran HTI. Kata Cak Su, Wasekjen PBNU, pemerintah jangan minta diurusi PBNU. Jangan dibalik. Negara yang harus mengurusi kita, bukan kita yang mengurusi penguasa.

Betul Cak Su. Penguasa memiliki obligation (kewajiban negara), sedangkan rakyat memiliki rights (hak), kata Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM.

Tampaknya PBNU sudah menarik diri soal pembubaran HTI. Disadari bahwa dengan mudah rezim melakukan pembubaran ormas, seperti kepada HTI. Berikutnya ormas mana lagi yang menyusul dibubarkan ketika berseberangan dengan pemerintah. Samalah dengan Orde Baru. Padahal khilafahnya HTI, baru recht idea.

Datanya, Hizbut Tahrir di banyak negara dibubarkan, kecuali di Inggris dan Amerika. Tapi pembubarannya karena ideologi tersebut sudah menjadi ekspresi. Saya lebih setuju dengan tulisan mantan Waketum PBNU, As’ad, yang juga mantan Direktur BIN soal HTI, harus dipisahkan mana Hizbut Tahrir mana Ikhwanul Muslimin.

Menanggapi Ginandjar

Ada baiknya kilas balik agar tidak gebyah uyah. Setahu saya, setelah Yani Alama bersaudara menggulingkan Sultan Mahmud II, Old Ottoman Empire tahun 1917, tak ada despotisme dan segala caci maki Kartasasmita terhadap khilafah di artikelnya yang dikirim kepada Kolonel Hascaryo yang di-share ke saya.

Yani membatalkan UU Khilafah, yaitu Din U Devlet, dengan alasan UU itu yang membuat kemunduran Islam, di antaranya yang terpenting, ada pasal yang menyebut “Sultan tak berdosa” yang membuat emperor tak terkontrol menyitir Prof Harun Nasution.

Setelah Din U Devlet dibatalkan, pemerintahan Young Ottoman Empire (Ostmany Muda), tidak lagi despot dan fokus ke kebangkitan kejayaan Islam. Gerakan Young Ottoman (tiga bersaudara) ini fenomenal. Jenderal Pasha bersaudara mengajak Jerman berkerjasama untuk mengambil alih kekuasaan dunia dari Agama Kristen.

Saat itu, agama adalah sumber kekuasaan. Dan kekuasaan yang bertarung adalah kekuasaan Kristen versus kekuasaan Islam, sejak tragedi Bizantium hingga Reinaissance. Jelas saja tak ada konsep negara bangsa (nation state) waktu itu karena memang belum ada (Ginandjar membandingkan yang tak ada dengan yang ada (fakta) sehingga sulit dicerna publik). Piagam Madinah yang lalu diobrakabrik untuk mencari pembenaran tentang Ukhuwwah Islamiah, Ukhuwwah Bashoriah, dan Ukhuwwah Wathoniah sebagai konsep demokrasi Barat. Ya ngawur. Sebab, hukum Islam tidak mengadobsi hukum Roman. Itu sebuah kesalahan Dinasti Umayyah, mengutip Prof Abdullahi Naim.

Pada abad-abad terakhir, ada 3 kerajaan Islam: 1. Moghul di India, 2. Persia, 3. Ostmani (Turki). Moghul dan Persia sudah jatuh ke kolonial karena kalah perang. Hanya Turki yang masih merdeka. Oleh karena itu, Turki menjadi pusat khilafah Islamiah dunia, pusat kekuasaan Islam dunia. Islam Hindia Belanda juga berpusat ke sana.

Pembunuhan terhadap Alexander Balkan memicu perang agama yang kemudian dikenal sebagai Perang Dunia Pertama (PD 1). Balkan artinya darah kemenangan. Ostmani Muda (belum ada nama Turki yang berasal dari Attaturk) bekerjasama dengan Jerman, disebut Entente (negara penyerang) melawan sekutu yang disebut Detente (negara bertahan).

Perang ini selesai tahun 1924, Entente kalah dan berada di bawah perjanjian Versailles. Sejak itu, semua kekuasaan Islam jatuh ke kolonial.

Sejak Ostmani Muda, Khilafat tak ada buruknya. Berada di tangan kaum muda idealis, Yeniseri diubah menjadi mesin perang. Yeniseri adalah tentara penjaga agama semasa Old Ottoman Empire (Ostmani tua). Old terakhir adalah Sultan Mahmud II yang digulingkan Young.

Setelah Young dikuasai kolonial, bentuk dinasti diubah menjadi republik oleh kolonial yang mengangkat Kolonel Kemal Attaturk (si Turki) menjadi presiden.

Otomatis kekuasaan khilafat bubar. Dewan Mahkamah Agung Islam diusir kolonial dari Turki, dan pindah ke Mesir, diusir lagi dari Mesir, pindah lagi ke Saudi (Ibnu Saud adalah anggota Mahkamah Agung Islam yang mengangkatnya menjadi calon Putra Mahkota Khilafah bersama Rasyid Ridho karena berdarah murni Kuraisy) di masa Muhammad Abduh ketuanya.

Di tangan Ibnu Saud, Dewan Mahkamah Agung Islam lenyap tak tentu rimbanya sampai kini. Tapi Dewan Mahkamah Agung Islam bermetamorfosis menjadi OKI kini. Dewan Mahkamah Agung Islam tadinya adalah jelmaan Pan Islamisme, kemudian Pan Arabisme. Cita-citanya adalah mengembalikan kejayaan Islam yang telah diimplementasikan oleh Yani Alama dan mengobarkan perang Sabil.

Setelah Attaturk berkuasa, sekularisme berhasil dilakukan berkat dukungan Detente, terutama Perancis yang mengenalkan demokrasi Barat dan kapitalisme ala Jean Baptis Say. Jelas paradok dengan khilafat yang proletariat (sosialime Islam). Bukan paradok baru itu. Melainkan metode untuk melumpuhkan kekuatan Turki. Setelah Erdogan jadi Presiden Turki, merujuk Dr Alfian Alfian tentang PKP, ruling party, Islam Politik Indonesia juga ikutan.

Komite Hijaz

Potongan sejarah dari Young ke Kemal Attaturk itulah yang menjadi rujukan Islam Hindia Belanda.

Akibat pindahnya Dewan Mahkamah Agung Islam ke Saudi, Islam Hindia Belanda membentuk Komite Hijaz. Di sini keterbatan penghulu NU, KH Hasyim Ashari, juga KH Muhammad Dahlan (Muhammadiyah), Cokroaminoto (SI), Haji Agus Salim, dan seterusnya.

Komite Hijaz ini bermisi agar Ibnu Saud tidak mengubah fatwa untuk Islam Hindia Belanda di mana pada saat itu sedang pesat-pesatnya berkembang mazdhab Wahabi di Saudi sebagai mazhab negara.

Komite Hijaz berangkat ke Saudi dan bertemu dengan Ibnu Saud. Tapi hanya dua dari tiga permohonan yang dikabulkan. Yaitu: (1) imam sholat Masjidil Haram, bergantian dengan 4 mazdhab. (2) penghancuran peninggalan Islam di haramain dihentikan. Sedang untuk tidak mengubah fatwa islam, tak dikabulkan.

Maka tahun 1926, ulama mendirikan Nahdlatul Ulama, yg berbeda dengan Wahabi, dan tidak lagi merujuk fatwa dewan Mahkamah Agung Islam, sementara ribuan ulama dibunuh oleh rezim Ibnu Saud karena menolak menjadi Wahabi.

Soal negara transnasional, adalah bab yang lain. Ayat 30 Al Baqoroh memang menyebut bumi saja. Tapi menurut Prof. Aqib Suminto, khilafah dalam surat itu hanya dimakomkan kepada Nabi Adam AS dan Nabi Dawud AS. Tidak kepada Nabi Muhammad SAW. Perdebatan mulai antara tekstual versus kontekstual.

Dalam faktanya ketika Sekutu Barat pemenang PD II mengumumkan, “Bangsa terjajah boleh memilih, mendirikan negara merdeka atau akan ikut kolonialnya” bangsa Arab tidak kembali ke khilafahnya Pan Islamisme maupun Pan Arabisme, tetapi membentuk negara merdeka sendiri-sendiri. Jadilah negara teluk kecil-kecil yang doyan berperang sesama.

Masalah baru muncul. Nasionalisme apa yang digunakan negara-negara baru terbentuk di Teluk yang sebelumnya adalah nasionalisme Islam mondial. Mahkamah Agung Islam menerbitkan fatwa bahwa nasionalisme yang tadinya berdasarkan peradaban berganti menjadi nasionalisme berdasar kebudayaan.

Nasionalisme Saudi berdasarkan ikatan kultural Arab Saudi. Mesir dengan kultural Mesir, Iraq dengan kulrural Iraq, dst.

Yang dimaksud peradaban adalah civilization ialah agama. Yg dimaksud kebudayaan ialah kultur (culture). Jadi dengan fatwa tersebut, nasionalisme internasinaonalized berhenti.

Bung Karno Versus Natsir

Berangkat dari perdebatan nasionalisme Turki ini pula yang menjadi tema diskursus antara Bung Karno versus Mohammad Natsir ketika merancang Pancasila di BPUPKI dan PPKI menurut Prof Yusril Ihza Mahendra.

Bung Karno menghasilkan Pancasila 1 Juni 1945 yang belum lama dibuatkan Keppresnya oleh Presiden Jokowi. Sedang Natsir menghasilkan Pancasila 22 Juni 1945, yaitu Piagam Jakarta. Jika 1 Juni menuju republik sosialis, yang 22 Juni menuju republik Islam.

Tentu saja pertarungan tekstual versus kontekstual khilafat tak berhenti. Sebab khilafat digunakan setelah Rasulullah mangkat. Yaitu kepemimpinan Khulafaurrasyidun (Khalifah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali), berakar pada Syariah Islam surat 54 Al Qur-an.

Setelah berlalunya 4 khalifah, berganti dengan bentuk dinasti, Muawiyyah, lalu Abbasiyah, khilafat terus digunakan selama 1300 tahun dengan varian yang lebih rapi dalam simbol amirul mukminin, kepala negara sekaligus kepala agama. Baru belakangan berubah sejak Revolusi Perancis mengenalkan separation of power dari recht idea Protestan. (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.