Jumat, 19 April 24

Ketua DPD RI Ingatkan Pemerintah soal Mafia Tanah dan Reforma Agraria

Ketua DPD RI Ingatkan Pemerintah soal Mafia Tanah dan Reforma Agraria
* Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyampaikan Keynote Speech Seminar Nasional HUT ke-35 Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Pengurus Wilayah Jawa Timur di Dyandra Convention Center Surabaya, Jawa Timur (Jatim), Rabu (28/9/2022). (Foto: www.lanyallacenter.id)

Obsessionnews.com – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyinggung soal mafia tanah dan reforma agraria saat menyampaikan Keynote Speech Seminar Nasional HUT ke-35 Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Pengurus Wilayah Jawa Timur di Dyandra Convention Center Surabaya, Jawa Timur (Jatim), Rabu (28/9/2022).

 

Baca juga:

Menteri Hadi Tjahjanto: Kalau Ada Mafia Tanah, Jangan Takut, Harus Tegas!

Berantas Mafia Tanah, Kementerian ATR/BPN Gandeng Aparat Penegak Hukum dan Lembaga Peradilan

Hindari Jajaran Terlibat Sindikat Mafia Tanah, Kementerian ATR/BPN Berkomitmen Lakukan Perbaikan Internal

 

 

LaNyalla mengingatkan amanat Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disampaikan pada tahun 2017 lalu tentang mafia tanah yang harus diberantas hingga ke akarnya.

 

 

Saat itu Presiden Jokowi dengan tegas meminta agar mafia tanah digebuk saja tanpa pandang bulu. LaNyalla juga mengingatkan tentang konflik agraria dan tata ruang, terutama terkait dengan lahan-lahan perkebunan dan kehutanan.

Hal ini berkaitan dengan pola perambahan lahan tanpa izin dan praktik penyimpangan perluasan lahan di lapangan.

“Petani dan penanam kebun skala kecil adalah mereka yang kerap kali menjadi korban. Data tentang persoalan ini juga bisa kita akses di beberapa lembaga pemerhati persoalan agraria, terutama Konsorsium Pembaruan Agraria atau KPA,” ujar senator asal Jatim ini.

Menurutnya, mafia selalu identik dengan kelompok yang melakukan kejahatan secara terencana, rapi dan sistematis. Artinya jelas, dia tidak bekerja sendiri.

“Jadi kalau ada yang berhasil diungkap dan ditangkap oleh aparat penegak hukum, pasti rangkaiannya panjang. Ada big bos, ada pejabat, ada penghubung dan ada operator lapangan,” papar LaNyalla.

Para mafia menjalankan operasi kejahatan pertanahan yang melibatkan sekelompok orang yang saling bekerja sama untuk memiliki atau menguasai tanah milik orang lain secara tidak sah. Mereka terbiasa menggunakan cara-cara yang melanggar hukum, namun tersusun rapi, terencana dan sistematis.

Menurut LaNyalla, inilah tantangan bagi aparatur penegak hukum, khususnya Satgas Anti Mafia Tanah yang ada di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN), termasuk kejaksaan dan kepolisian.

“Di sini jugalah peranan para Pejabat Pembuat Akta Tanah dituntut untuk aktif terlibat memberantas mafia tanah,” tegasnya.

Menurut LaNyalla, PPAT harus bekerja ekstra keras melakukan mekanisme double check terhadap informasi dan pernyataan yang didapatkan. Mengapa hal ini penting, karena LaNyalla menilai akan menjadi masalah tersendiri jika data dan keterangan yang diberikan kepada PPAT ternyata palsu atau tidak benar.

LaNyalla juga meminta kepada Kementerian ATR/BPN untuk memberi ruang check and re-check yang mudah untuk diakses oleh para PPAT dalam melakukan validasi dan verifikasi. Ia juga meminta agar Satgas Anti Mafia Tanah juga harus dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat luas di semua lembaga, sesuai amanat Presiden.

“Saya terus terang saja, tidak sedikit masyarakat yang mengadukan persoalan penyerobotan lahan dan persoalan agraria ini ke kantor saya di DPD RI. Artinya masih ada kesulitan bagi masyarakat luas untuk mengakses meja atau desk Satgas Anti Mafia Tanah yang dibentuk kementerian dan aparat penegak hukum,” tutur LaNyalla.

Persoalan berikut yang dipaparkannya adalah soal reforma agraria, terutama dalam menangani persoalan tata ruang dan agraria terkait lahan perkebunan, kehutanan dan pertambangan.

Menurut LaNyalla, hakikat utama dari reforma agraria adalah usaha sistematis yang dilakukan negara untuk menata ulang kepemilikan lahan dan tanah agar tidak terjadi ketimpangan di suatu negara.

“Terutama dengan menitikberatkan kepada redistribusi lahan kepada petani kecil, masyarakat adat, dan masyarakat yang tidak memiliki tanah atau landless,” tutur LaNyalla.

Hingga hari ini persoalan ini masih menjadi bagian karut marut persoalan agraria di Indonesia, selain persoalan mafia tanah sebagaimana disebutkan di atas. Sampai hari ini pula LaNyalla menyebut pemerintah dan perusahaan perkebunan masih belum mengubah tata cara berbisnis di sektor perkebunan.

“Sehingga tidak heran bila wajah pembangunan di sektor perkebunan

masih sarat dengan konflik agraria, penyingkiran hak masyarakat, pelanggaran HAM, hingga pemiskinan masyarakat setempat secara sistematis akibat sistem kemitraan inti-plasma yang tidak berkeadilan, bahkan malah menghisap keringat petani kecil,” tegas LaNyalla.

Orientasi pembangunan ekonomi di sektor perkebunan pun tidak berubah, tetap berorientasi kepada kepentingan dan keuntungan pengusaha dan badan usaha besar. Orientasi ekonomi-politik semacam ini seolah negara kita belum beranjak dari sistem perkebunan di masa penjajahan dan Orde Baru.

Pemerintah masih memberikan HGU (Hak Guna Usaha) berpuluh-tahun lamanya. Dengan begitu hanya pengusaha dan perusahaan besar yang mendapatkan hak tersebut. Proses pemberian HGU yang dilakukan pemodal dan birokrat dilakukan secara tertutup, sehingga menyuburkan mata rantai praktik penyuapan.

“Ini sudah menjadi masalah yang akut dan bersifat struktural,” tegas LaNyalla.

Di sisi lain proses pemberian HGU tersebut juga bermakna sebagai pengambilalihan tanah masyarakat. Lanyalla megatakan, Presiden Jokowi memang telah melakukan penertiban atas tanah-tanah terlantar, sebagai jawaban atas kritik masyarakat.

“Tetapi lahan yang ditertibkan tersebut ternyata juga ditawarkan kepada kelompok-kelompok pemodal yang mampu mengelola dengan syarat feasibility studi yang memenuhi syarat, sama sekali bukan untuk re-distribusi lahan kepada masyarakat dan petani kecil yang tidak memiliki lahan,” jabar LaNyalla.

Hal itu terekam jelas dalam pernyataan Presiden dalam Kongres Ekonomi Umat ke-2 Majelis Ulama Indonesia, di mana Presiden menawarkan lahan-lahan tersebut kepada lembaga atau badan bisnis ormas yang mampu mengelola dengan pendekatan feasibility bisnis.

Di sinilah yang menurut LaNyalla menjadi letak persoalan krusialnya, karena yang akan mendapatkan tanah-tanah hasil penertiban tanah terlantar tersebut lagi-lagi kelompok yang mempunyai akses permodalan, menguasai teknologi, dan pasar.

“Artinya kelompok elite bisnis, badan-badan usaha besar, dan elite politik yang kembali yang akan memonopoli tanah,” jelas LaNyalla.

Padahal, lanjutnya, seharusnya prioritas paling utama peruntukkan dari hasil penertiban tanah terlantar dan HGU-HGU bermasalah ditujukan untuk agenda penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah terlantar bagi kepentingan rakyat kecil, buruh tani, masyarakat tak bertanah dan yang tergusur, serta hak-hak masyarakat adat.

Hadir pada kesempatan itu Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPN Suyus Windayana, Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Provinsi Jatim Jempin Marbun, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Mia Amiati, Kepala Kantor Wilayah BPN Jawa Timur Jonahar, Ketua Pengurus IPPAT Jawa Timur Isy Karimah Syakir, Ketua Pengda Kabupaten/Kota IPPAT se-Jawa Timur dan sejumlah tamu undangan lainnya. (red/arh)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.