
Lumajang – Nampaknya, budaya sebagian masyarakat kita masih menginginkan jalan pintas alias selalu mencari yang gampang tanpa mempertimbangkan resiko. Buktinya, masih banyak TKI yang berangkat secara ilegal tanpa lewat prosedural. Hal ini terlihat misalnya saat Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) melakukan sosialisasi “Pencegahan TKI Non Prosedural” terhadap masyarakat dan calon TKI di Kecamatan Pasru Jambe, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Kamis (4/12/2014).
Calon TKI yang lebih tergiur berangkat secara ilegal (non prosedural) ini terungkap dalam dialog dua arah antara masyarakat setempat dengan Direktur Pelayanan Penempatan Pemerintah BNP2TKI, R Haryadi Agah W SIP. Sosialisasi melalui media tradisional BNP2TKI tahun 2014 bertema “Bersama TKI Membangun Negeri” dengan subtema “Pencegahan TKI Non Prosedural” ini diselingi dengan kesenian setempat dan Reog Ponorogo sehingga banyak masyarakat yang datang.
Dalam kesempatan tanya jawab, sejumlah pertanyaan senada terlontar dari masyarakat: Mengapa menjadi TKI ilegal atau non prosedural lebih gampang dan lebih cepat diberangkatkan ke luar negeri? Masalah ini pun dijawab panjang lebar oleh Haryadi Agah hingga tuntas. Sebelumnya, pidato sambutan Kepala BNP2TKI dibacakan oleh Tenaga Profesional Hubungan Antar Lembaga Kepala BNP2TKI, Herry Hidayat.
Di depan masyarakat tersebut, Haryadi menjawab TKI legal lebih lama prosedurnya, tetapi aman saat berada di negara yang ditempati. “Kalau jadi TKI ilegal cepat, tapi tidak aman. Asal lewat calo/tekong, pokoknya bayar, bisa berangkat,” jawab Direktur Pelayanan Penempatan Pemerintah BNP2TKI.
“Yang ilegal itu lebib cepat, ibarat kalau kita mau terjun ke jurang, mudah. Tinggal lompat. Tapi kalau kita mau mendapat hasil panen, kita harus rajin memberi pupuk dan sebagainya,” tutur pejabat eselon II BNP2TKI ini.
Ia menjelaskan, TKI ilegal atau non prosedural bisa terancam bahaya saat di negara yang ditempati. “Kalau ada yang sakit, tidak diterima rumah sakit karena tidak punya identitas. Akhirnya tekong-tekong (calo TKI) membeli obat di warung-warung. Kalau TKI legal (legal/prosedural) disertai asuransi dan juga bisa berobat ke rumah sakit. TKI legal sebelum berangkat dicek dulu kesehatannya,” paparnya.
Ia menyesalkan ulah para calon ‘agen’ TKI yang memalsukan identitas calon TKI. “KTP dipalsu, dijadikan umur 18 tahun, padahal masih umur 14 tahun. Ini kasihan karena mentalnya belum siap dan bahkan tidak dibekali dengan pengetahuan. Makanya, kenapa ada TKI yang membunuh keluarga majikan, ini karena mentalnya belum siap. Jadi, kalau stres karena tidak siap, jangan berangkat,” ungkapnya.
“Makanya TKI yang legal melalui prosedur resmi, ada pikotest dan pembekalan tentang negara tujuan kerja yang akan ditempati. Kalau TKI ilegal tanpa test dan lain-lain, langsung berangkat, sehingga lebih gampang jadi TKI ilegal. Asal bayar calo atau tekong-tekong. Tidak ada perjanjian dengan agen dan majikan tempat bekerja di luar negeri yang ditempati,” jelasnya pula.
Jadi, tegas Haryadi, TKI hanya boleh ditempatkan di negara yang ada perjanjian kerja. “Kalau negara yang tidak ada UU Perlindungan TKI, kita tidak buka (tidak dijinkan bagi TKI untuk berangkat ke sana). Kita tutup bagi TKI ke negara-negara yang tidak ada UU perlindungan tenaga kerja,” tuturnya.
TKI Ilegal Terancam Bahaya
Diingatkan pula, TKI non prosedural tidak ada perjanjian kerja yang mengatur gaji, hak fasilitas yang didapat, jam kerja serta hari libur. “Kalau ada perjanjian kerja misalnya kerja 6 hari dalam seminggu, setiap hari hanya kerja delapan jam, satu jam istirahat,” bebernya.
Namun, lanjut Haryadi, jika TKI berangkat non prosedural ada yang tidak dibayar gajinya hingga satu tahun. Tapi karena TKI ilegal, tidak bisa mengadu ke Menteri Tenaga Kerja setempat, karena tidak ada perjanjian kerja antara TKI ilegal dengan majikannya. Tidak ada buktinya, KBRI pun tidak bisa mengurusnya.
“Kalau TKI prosedural, perusahaannya bisa ditutup oleh Menaker setempat. Kalau TKI ilegal meninggal, juga dibiarkan karena tidak ada identitasnya,” tandasnya.
Lebih jauh, Haryadi memaparkan, TKI legal melalui prosedural diberi pelatihan dulu serta harus menjalani psikotest. Selain itu, juga dikenalkan adat negara setempat. Bagaimana kita bekerja untuk melayani majikan. Perlu menguasai bahasa negara setempat agar tahu apa yang dimaui majikan, apalagi bagi TKI penata laksana rumah tangga (PRLT) atau sektor informal.
“Misalnya disuruh mengambil gunting, malah ambil pisau. Disuruh berbuat sesuatu malah mengerjakan hal yang lain. Ini karena tidak mengetahui bahaa setempat. Disuruh mencuci juga tidak bisa. Ini karena tidak dibekali pengetahuan sebelum berangkat. Karena berangkat melalui calo/tekong,” ungkapnya.
Lebih lanjut, jelasnya, kalau ada TKI ilegal atau yang ijin tinggal imigrasi sudah habis, bisa ditangkap aparat setempat. Pulang susah meski punya tiket, harus dipenjarakan (dikumpulkan) dulu dalam suatu penampungan jika melanggar ijin tinggal imigrasi.
Akibat tidak mengenal adat budaya di Arab Saudi misalnya, yang ketahuan membawa ‘jimat’ (barang yang dianggap musyrik), bisa dihukum mati. Hal yang kecil saja di Arab, bisa menjadi masalah. Misalnya, jika TKI wanita/laki-laki senyum terhadap suami/istri orang lain, atau sebaliknya, maka ini akan dapat kesulitan besar (terjadi masalah). Ini semua akan diberikan dalam pembekalan akhir pemberangkatan (PAP),” tandasnya.
Ia menegaskan, TKI legal (resmi) berangkat akan dilatih dulu dan dites kesehatannya. Sedangkan TKI ilegal tidak dicek kesehatan, sehingga kalau ada yang sakit di negara yang ditempati bisa mengalami kesulitan. “TKI ilegal tanpa melalui prosedur atau non prosedural, akan terjadi masalah, misalnya kalau meninggal di negara dia berada,” tuturnya.
“Ada TKI ilegal yang lari dari majikan, lalu sakit jantung dan meninggal di jalan. Dibawa ke kamar mayat, dibiarkan begitu saja, dan tidak dilaporkan ke KJRI karena mayat tersebut adalah TKI ilegal yang tidak punya identitas,” tegas mantan Atase Tenaga Kerja Keubes RI di Kuwait ini.
Padahal, lanjut dia, di negara tersebut ada batas waktu mayat yang udah 3-6 bulan haru dimakamkan. Tapi setelah sekian lama, tiba-tiba keluarganya baru tahu bahwa mayat TKI ilegal tersebut dikuburkan di negara dia berada. Keluarganya pun minta untuk dipulangkan dan dimakmkan di Indonesia.
“Lha KBRI kesulitan mengurusnya sehingga harus menyewa pengacara setempt karena harus mendapat ijin dari pengadilan. biasanya mengurusnya hingga mencapai satu tahun untuk bisa menggali mayat dalam kuburnya itu,” jelas Haryadi.
Acara sosialisasi yang didahului dengan laporan Kasubdit Pelaksanaan Penempatan, Ismain SE MM, dihadiri Wakil Bupati Lumaajang Drs Sa’at Mag, Kadisnaker Lumajang Ismail, Camat Pasru Jambe, Kapolsek, Danramil dan tokoh masyarakat setempat. Sebagai catatan, BNP2TKI pada tahun 2014 melaksanakan sosialisasi melalui media tradisional yang dilakukan di 7 provinsi, 14 kabupaten dan 28 kecamatan. (Pur)