Jumat, 19 April 24

Kenapa Golkar Selalu Numpang Partai Penguasa?

Kenapa Golkar Selalu Numpang Partai Penguasa?

Jakarta – Sejak dulu Golkar, hingga kini berganti nama menjadi Partai Golkar, tetap saja maunya bergabung/berkoalisi menjadi bagian partai politik penguasa. Apakah Partai Golkar tidak mampu mandiri dan selalu minta ‘disusui’ meski sudah dewasa?  Ataukah Partai beringin ini tidak siap menjadi oposisi?  Bahkan, ada anggapan pula bahwa Partai warisan orde baru ini bisanya cuma mencari dana lewat APBN, semisal dengan menaruh kadernya jadi menteri untuk dijadikan ATM mesin uang Partai?

Lihat saja! Dalam pemilu presiden (Pilpres) 2009, Partai Golkar mengusung  pasangan Calon presiden (Capres) dan Cawapres, Jusuf Kalla – Wiranto. Namun begitu pemenang Pilpresnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono yang diusung oleh Partai Demokrat berkoalisi dengan PAN, PKB, PPP dan PKS. Ternyata, tiba-tiba Golkar nyelonong ikut masuk dalam Sekretariat gabungan (Setgab) koalisi partai pendukung SBY-Boediono. Imbalannya, sejumlah kader Golkar dijadikan menteri. Lumayan, gratisan menangguk sejumlah jabatan menteri ketimbang jadi oposisi tak ada uang.

Pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio menilai, Partai Golkar bermain dua kaki pada pilpres, karena Golkar sejak awal berdirinya memang tidak bisa lepas dari kekuasaan. Ia pun menilai adanya faksi-faksi di dalam tubuh Golkar bukan hal aneh. Sebab, sejak dulu Golkar memang terlihat seperti ada kubu di antara mereka. “Contohnya ketika Wiranto menang konvensi Golkar, dia menjadi capres tahun 2004, di sisi lain ada Jusuf Kalla yang menjadi cawapres mendampingi SBY. Mereka selalu seperti itu,” bebernya.

Kini, ada tudingan pula bahwa Golkar main dua kaki. Jusuf Kalla (JK) menjadi Cawapres dari Capres Joko Widodo (Jokowi) yang diusung PDIP, Nasdem,  PKB dan Hanura. Sehingga kalau menangi Pilpres, JK akan membawa sejumlah kader Golkar untuk menjadi menteri. Sementara Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie Cs menjadi pendukung Prabowo-Hatta dengan tawaran sejumlah jabatan menteri dan bahkan kabarnya Aburizal mau dijadikan Menteri Utama. Amanlah, siapa pun pemenang Pilpres, Golkar tetap bercengkerama dalam partai penguasa.

Dituding Golkar bermain politik dua kaki, Aburizal Bakrie pun tidak banyak berkomentar. Pentolan Partai Golkar ini hanya berkilah, dengan mengatakan bahwa Golkar akan mendukung siapa pun presiden terpilih nantinya, dengan tetap mengkritisi kebijakan yang dikeluarkan presiden tersebut. “Kebijakan baik kami dukung, kebijakan yang tidak baik akan kami kritisi,” kilahnya diplomatis.

Bantahan justru datang dari pentolan partai berlambang pohon beringin lainnya. Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso menyatakan, untuk kali ini dan seterusnya Partai Golkar tidak main dua kaki, apalagi tiga kaki. “Langkah yang diambil Partai Golkar saat ini, semata-mata demi kepentingan bangsa dan negara,” celoteh Ketua Umum DPP MKGR ini mengelak.

Namun, pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah, Prof Zaki Mubarak menilai, kondisi ini sama dengan Pemilu 2004. Saat itu, Golkar secara resmi mendukung pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid, tetapi membiarkan JK menjadi pendamping SBY dari Partai Demokrat. Ketika SBY-JK menang, Golkar pun tanpa kesulitan langsung berkoalisi untuk mendukung SBY-JK di parlemen. Sesudah pemilu tersebut, JK bahkan terpilih menjadi Ketua Umum Golkar.

Gelagat Golkar ingin tetap berkuasa, malah tercermin dari pernyataan Wakil Ketua Umum Golkar Agung Laksono. Tanpa maalu-malu, ia menyatakan siap berkoalisi dengan pemerintahan Jokowi-JK. Padahal, Agung sudah jelas-jelas nyata menjadi Tim Prabowo-Hatta bersama beberapa petinggi Golkar lainnya. “Kita tak bisa bicara tidak (berkoalisi). Bisa saja itu terjadi,” ucap Agung di Istana Negara, Senin (28/7/2014).

Agung mengatakan, arah koalisi Golkar bakal ditentukan setelah terpilihnya ketua umum baru. Dirinya yang yakin bisa menjadi ketua umum baru, akan mengubah haluan koalisi yang semula mendukung Prabowo-Hatta menjadi mendukung Jokowi-JK. “Selama ini Ical (Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie) arahnya Koalisi Merah Putih. Tapi itu bisa berubah kalau pemimpinnya berubah,” ucap Menko Kesra ini.

Pengamat politik CSIS yang juga Politisi Partai Golkar, Indra J Piliang, mengatakan posisi Golkar masih tetap bagian pemerintahan, sebelum ada forum pengambilan keputusan tertinggi berupa Munas Golkar yang memutuskan lain. “Artinya, diperlukan Munas Partai Golkar untuk memutuskan posisi politik Partai Golkar, apakah bergabung dengan pemerintahan atau berada di luar pemerintahan,” tegasnya.

Menurut Indra, pengambilan keputusan soal posisi Golkar dalam pemerintahan berlainan dengan pengambilan keputusan Golkar sebagai pengusung Prabowo-Hatta sesuai mandat yang diberikan kepada Ketua Umum oleh Rapimnas V Partai Golkar. Menurutnya, dokumen resmi Partai Golkar yang ada hanya pernyataan politik Partai Golkar dalam Munas VIII 2009, yang secara eksplisit dan implisit memberikan mandat kepada kepengurusan untuk bergabung dengan pemerintahan. Atas dasar mandat itulah Partai Golkar mengirimkan kader-kader terbaiknya sebagai anggota kabinet.

Sama halnya dengan pengakuan Politisi muda Partai Golkar, Poempida Hidayatulloh. Menantu Fahmi Idris ini mengungkapkan, Partai Golkar sedang di persimpangan jalan. Demikian judul artikel singkat, yang dipostingnya lewat akun twitter @poempida. Ia pun menyoroti keinginan segelintir elite Golkar untuk menjadi oposisi dalam pemerintahan ke depan. “Semoga pengambilan keputusan tersebut bukan tercetus dari emosi sesaat para elitenya,” tulis Anggota DPR RI ini.

Poempida menilai, sangat benar keputusan menjadi oposisi adalah hal terhormat pada komposisi berpartai dan bernegara. Tapi itu seharusnya dimulai dengan kronologi langkah-langkah yang terencana matang jauh-jauh hari sebelumnya. “Dan bukan karena salah kaprah negosiasi segelintir elite Partai ini, sehingga salah-salah langkah partai besar ini menjadi keterusan,” tandas Jurubicara JK ini.

Namun, sikap berbeda datang dari sejumlah petinggi partai Golkar yang mengaku  siap apabila Partai beringin tersebut  menjadi oposisi terhadap pemerintahan Jokowi-JK selama lima tahun ke depan. “Ya saya dengar siap, waktu di tempat Aburizal Bakrie, Pak Akbar Tandjung mengatakan itu. Waktu kita salat Idul Fitri di Golkar mereka berdua juga  mengeluarkan statement siap beroposisi agar koalisi merah putih ini tetap solid,” tegas wakil ketua umum Golkar, Fadel Muhammad, Selasa (29/7/2014).

Bahkan, Fadel menyatakan posisi Golkar yang menjadi oposisi merupakan sejarah baru dalam catatan partai beringin tersebut. “Sebagai sejarah baru, Golkar sebagai oposisi. Pak Ical (Aburizal Bakrie) dan Pak  Akbar Tandjung berbicara seperti. Itu saya sih tidak keberatan. Saya pikir bagus juga,” tutur Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ini.

Sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Akbar Tandjung mengatakan, apabila Partainya menjadi oposisi maka akan menjadi pembelajaran politik bagi masyarakat. “Menjadi opisisi  merupakan langkah yang tepat untuk memperbaiki sistem politik dan sistem demokrasi kita dengan adanya check and balance, jadi hal yang harus ada dalam pemerintahan itu adalah fungsi-fungsi,  seperti fungsi kontrol dan fungsi check and balance terhadap kekuasaan yang ada,” terangnya.

Akbar mengatakan, dengan posisi Golkar yang berada di luar pemerintahan akan mengurangi kemungkinan disalahgunakannya kekuasaan. “Kekuasaan itu punya kecenderungan untuk abuse of power. untuk disalahgunakan sehingga harus ada yang mengimbangi dan itu adalah hakikat demokrasi,” jelas Penasihat Tim Prabowo-Hatta ini.

Nampaknya, sebagian kader Golkar masih senang menjadi partai penguasa. Kalau kader muda Golkar yang militan seperti Indra Piliang dan Poempida Hidayatulloh saja berharap Golkar sebagai bagian rezim pemerintahan, apalagi kader tua yang suka dengan kemapanan. Namun, apabila benar sikap Akbar Tandjung yang meminta Golkar jadi partai oposisi diikuti oleh kalangan tokoh Golkar lainnya, maka Golkar bakal pecah permanen. Meski demikian, keputusan Akbar tersebut baru berlaku hanya jika Prabowo-Hatta resmi kalah di Pilpres 2014 pasca keputuan Mahkamah Konstitusi (MK) nanti. Yang jelas, Golkar akan membuat sejarah baru jika jadi oposisi. Tidak membonceng koalisi partai penguasa seperti selama ini. (Ars)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.