
Bandung, Obsessionnews – Dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dapat membuat orang menjadi gila. Demikian ditegaskan Psikiater dari Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dr. H. Teddy Hidayat SpKj, Rabu (1/4).
Teddy menilai, tekanan mental yang menerpa seseorang, apalagi dengan tingkat kesulitan ekonomi yang tinggi akan membuat orang tersebut terguncang jiwanya. Gejala awalnya masyarakat terutama kepala keluarga akan merasa resah, cemas.
“Apakah hari ini dia bisa makan atau tidak, bagaimana dapat memenuhi biaya hidup, biaya anak sekolah terlebih di tempat kerja mulai terancam PHK,” ucap Kepala Program Studi Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Universitas Pajajaran (Unpad) ini.
Tekanan-tekanan tersebut akan menimbulkan krisis di masyarakat. Termasuk didalamnya perselisihan keluarga dalam hal ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian. “Menurut MDgs sendiri kesehatan jiwa berkaitan erat dengan kelaparan dan kemiskinan, orang sakit jiwa banyak yang menjadi miskin dan orang yang miskin banyak yang sakit jiwa,” papar pria kelahiran Cirebon 11 April 1952 ini.
Dokter yang pada tahun 1987-1988 pernah bekerja sebagai dokter umum di Kabupaten Toli-toli, Sulawesi Tengah dengan 5 jam perjalanan ke tempat kerjanya tersebut menegaskan, pihaknya masih menunggu hasil Riset Kesehatan Dasar/Riskesda Jabar atas hasil riset dari dampak kenaikan harga BBM dan krisis ekonomi lainnya terhadap kesehatan jiwa masyarakat Jawa Barat.
Selama ini, jelas dia, di Jabar sendiri orang yang defresi sekitar 3 juta orang dan defresi berat 72 ribu orang belum lagi ditambah permasalahan psikososial seperti anak jalanan, masalah sosial, masalah narkotika, seks bebas jika dijumlah akan besar sekali.
“Dari sekian banyak jumlah penderita tersebut yang mengakses layanan kesehatan hanyalah 10 persen, sisanya mereka tersebar di masyarakat, tidak terdeteksi, tidak diobati,” ungkap Teddy.
Ia memaparkan, angka gangguan jiwa terbesar saat ini di Jawa Barat berada di Garut, Sumedang, Bogor dua kali lipat dari data kemenkes RI 1,6 permil, namun di 3 kota tersebut sudah sampai 3,2 permil angka penderita gangguan jiwanya, bahkan menurut saya angka sebenarnya saat ini bisa lebih besar.
Teddy mengaku, pihaknya juga kecewa terhadap perhatian pemerintah yang sangat kecil, bahkan untuk kota dan kabupaten ada juga yang nol rupiah untuk penanggulangan kejiwaan ini, fasilitas, anggaran dan perhatian masih minim, sementara menurut UU No. 18/2014 tentang kesehatan jiwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkewajiban mengadakan sarana dan prasarana bagi pengidap gangguan jiwa.
Menurutnya, kenaikan harga BBM sendiri terhadap gangguan jiwa berat sangat minim, karena faktor yang paling kuat menjadi penyebabnya adalah internal atau dari dalam diri orang tersebut serta keturunan. “Kenaikan BBM akibatnya cenderung pada defresi dan bunuh diri, namun tetap saja apabila orang yang defresi kemudian mendapat berbagai tekanan ekonomi dan tidak dapat berobat, mereka akan kembali kambuh dan akhirnya juga sama menjadi gila,” tegas Teddy.
Akibat lainnya, lanjut dia, dari kemunculan defresi yang berujung pada kegilaan adalah bertambahnya jumlah kekerasan yang tiap hari terjadi seperti begal, curanmor (pencurian kendaraan bermotor) yang lama-lama menimbulkan masalah sosial.
“Yang perlu dilakukan saat ini adalah bagaimana mengatasi kesehatan mental, seperti programnya Pa Jokowi Revolusi mental, tapi harus diperjelas lagi karena masalah mental ini sangat luas,” tuturnya.
Dalam jangka pendek untuk memperkecil gangguan kejiwaan adalah penegakan hukum, menurutnya, aturan yang adil, tidak ada kompromi dan untuk jangka panjang harus ada pembinaan karakter bangsa yang dimulai dari masa TK, SD, SMP dan seterusnya harus ada pendidikan kepribadian, moral, spiritul dan keimanan sebelum mereka berumur 17 tahun. (Dudy Supriyadi)