Kamis, 25 April 24

Kejam! Pelaut China Lempar Jenazah ABK Indonesia ke Laut

Kejam! Pelaut China Lempar Jenazah ABK Indonesia ke Laut
* adegan dalam video yang beredar soal ABK Indonesia yang di lempar ke tengah laut. (Foto: Youtube)

Sebuah video berita yang dipublikasikan oleh Munhwa Broadcasting Corporation (MBC) News, media dari Korea Selatan mendadak viral setelah diulas oleh influencer Jang Hansol melalui kanal YouTube-nya, Korea Reomit, pada Rabu, 6 Mei 2020. Video tersebut memperlihatkan jenazah anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal China, dilempar ke tengah laut.

Video viral yang disiarkan televisi berita Korea Selatan itu memperlihatkan jenazah ABK Indonesia yang dibuang ke laut dari atas kapal nelayan Cina. Video ini mengungkapkan perbudakan dan eksploitasi terhadap awak WNI di kapal tersebut.

Kanal MBC News merilis video tersebut dengan judul Eksklusif, 18 Jam Sehari Kerja. Jika Jatuh Sakit dan Meninggal, Lempar ke Laut. Hansol menarasikan, video tersebut adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) warga Indonesia yang bekerja di kapal China.

Video tersebut diberitakan terjadi 30 Maret di Samudera Pasifik, bagian barat. Pada video tersebut menggambarkan sebuah kotak dibungkus kain merah yang dikelilingi beberapa orang terdapat di geladak kapal. Hansol menarasikan, kotak tersebut adalah berisikan jenazah Ari, ABK warga negara Indonesia berusia 24 tahun. Tampak seorang kru memegang dupa dan menuangkan cairan sebagai bentuk upacara pemakaman di sana. Setelah itu, kotak berisi jenazah Ari tersebut dibuang ke tengah laut.

Video pertama kali diwartakan oleh MBC pada 6 Mei 2020, yang diberikan oleh awak kapal selamat kepada pemerintah Korea Selatan dan MBC untuk meminta bantuan saat kapal memasuki Pelabuhan Busan.

Menurut investigasi MBC, pembuangan jenazah ABK WNI terjadi di Samudera Pasifik pada 30 Maret. Video dibagikan kanal YouTube MBCNEWS berjudul “[Eksklusif] 18 jam kerja sehari, jika sakit dan meninggal, buang ke laut.”

“Jenazah yang dilempar ke laut adalah jenazah Adi, 24 tahun, seorang pelaut WNI yang meninggal setelah bekerja di kapal setahun lebih,” menurut MBC.

Pengamat Geopolitik Internasional, Indra Wardhana mengecam dugaan tindakan kriminal brutal seperti meninggalkan tubuh seorang pelaut dan menangkap hiu secara ilegal berlangsung selama 13 bulan. Inti dari klaim tersebut adalah bahwa puluhan hingga ratusan hiu yang ditangkap secara ilegal untuk diambil siripnya dan mayat hiu dibuang ke laut lalu mati.

Ketika para pelaut yang diperbudak dimakamkan di laut, kelompok-kelompok sipil domestik yang mengangkat kasus ini menyerukan penyelidikan menyeluruh atas kebenaran dari peristiwa tersebut.

Kelompok-kelompok sipil, seperti Federasi Gerakan Lingkungan Hidup dan lainnya pada tanggal 6, melakukan klaim bahwa tindakan ilegal dilakukan pada kapal milik Dalian Ocean Fishing Co., Ltd., berlabuh di Pelabuhan Busan pada tanggal 19 bulan lalu. Dan Ada 27 pelaut Indonesia di kapal tersebut.

Menurut hasil banding hukum yang mereka lakukan, tiga mayat pelaut Indonesia dimakamkan di laut selama operasi. Foto yang disajikan oleh kelompok sebagai bukti berisi adegan saat mereka melemparkan peti mati ke laut. Tubuh seorang pelaut yang mati dalam persalinan dan dimakamkan di peti mati tepi laut (Foto milik Federasi Gerakan Lingkungan).

Para pelaut di Indonesia bersaksi bahwa mereka tidak dapat mendarat di darat selama 13 bulan, dan bahwa mereka sudah terbiasa bekerja lebih dari 30 jam untuk menderita sebagai tenaga kerja. Penyebab kematian kru adalah karena eksploitasi oleh mereka. Juga terungkap bahwa salah satu kepala pelaut terus meminta kapten untuk dipindahkan ke rumah sakit, dari isi banding tersebut.

Pelaut Indonesia dikatakan telah kehilangan paspor mereka, setelah mereka naik kapal dan mengalami pemukulan terus menerus dari pelaut Tiongkok China.

Dalam kontrak kerja, sebagian besar para ABK Indonesia dalam kondisi yang tidak menguntungkan, seperti pengurangan upah yang signifikan ketika turun dari kapal untuk masalah apa pun, kasus ini paling banyak ditemukan. Selain itu, kontrak ditulis dalam huruf-huruf yang tidak bisa dikenali dan dibaca oleh para ABK laut, sehingga isi kontrak tidak dapat dipahami.

Bahkan jika kita terus bekerja sambil menanggung eksploitasi dari mereka, upah tidak dibayarkan sesuai kontrak, dan gaji tahunan yang diterima hanya sekitar 150.000 won.

Ada lebih banyak tindakan ilegal di kapal penangkap hiu tersebut. Mereka memotong sirip lalu melemparkannya kembali ke laut, padahal itu dilarang keras oleh hukum internasional. Apalagi ini dilakukan dalam skala besar. Akibatnya, hiu-hiu yang sudah dipotong siripnya tidak bisa berenang, akhirnya tenggelam ke bawah laut dan mati.

Dari bukti-bukti video yang dilakukan oleh kelompok tersebut terkuak mereka melakukan perburuan hiu yang terancam punah seperti hiu putih, hiu martil, dan hiu biru. Padahal kapal ini terdaftar sebagai penangkap tuna, jelas tindakan mereka adalah ilegal dengan menangkap hiu secara terorganisir dan sangat profesional.

Menurut laporan MBC pada tanggal 6, para pelaut yang menderita adalah tenaga kerja miskin dan kegiatan ilegal berubah dari kapal asli mereka ke kapal lain dan tiba di Pelabuhan Busan pada tanggal 14 bulan lalu. Namun, di ketahui salah satu pelaut mengeluh sakit dada saat menunggu di Pelabuhan Busan, karena takut sirip hiu yang ada di kapalnya akan tertangkap.

Pada akhirnya Pelaut itu dilarikan ke rumah sakit di Busan, tetapi meninggal pada tanggal 27 bulan lalu. Dengan kematian seorang pelaut, pihak banding menghubungi pelaut Indonesia lainnya untuk menyelidiki peristiwa tersebut. Pihak Banding meminta polisi untuk menyelidiki, tetapi dua hari kemudian, pada tanggal 29 bulan lalu, sebuah kapal Tiongkok meninggalkan laut lepas dan diumumkan bahwa tidak mungkin lagi untuk melakukan penyelidikan.

Dengan fakta-fakta tersebut, saya meminta pemerintah Indonesia untuk segera menindaklanjuti dan mengusut peristiwa ini, karena bukti-bukti sudah ada di tangan pemerintah Korea. Nyawa para awak ABK Indonesia yang bekerja di luar negeri bukanlah hal sederhana, karena mereka bekerja sudah seperti budak dengan perjanjian yang tidak seimbang dan sepihak dari perusahaan Tiongkok tempat dimana mereka bekerja.

Sementara itu, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga ikut berkomentar melalui cuitan di Twitter. Seperti dikutip dari money.kompas.com, Susi mencuit, “Illegal unreported unregulated Fishing = Kejahatan yg mengambil kedaulatan sumber daya ikan kita = sumber protein = Ketahanan pangan = TENGGELAMKAN, Saya sudah teriak sejak tahun 2005.”

Susi yang kerap menenggelamkan kapal pencuri ikan ilegal pada masanya menyatakan, itulah alasan Illegal Unreported Unregulated Fishing (IUUF) harus dihentikan. Menurut dia, penghentian IUUF perlu kerja sama internasional. IUUF adalah kejahatan lintas negara yang dilakukan di beberapa wilayah laut, oleh kru dan ABK dari berbagai negara. Hasil tangkapannya juga ilegal, seperti sirip hiu. Tak jarang, pelaku illegal fishing ini juga menyelundupkan berbagai komoditi termasuk narkoba melalui jalur laut yang sulit dilacak.

Mantan Komisioner Komnas HAM natalius Pigai menegaksna, kematian WNI Pelaut di Kapal China adalah merupakan tanggungjawab Luhut Panjaitan Menko Maritim. Hampir semua aturan-aturan internasional dan juga nasional yang mengatur tentang Pelaut (seafarer) bukan tanggungjawab Kemnterian Tenaga Kerja tetapi Kementerian Perhubungan dan tanggungjawab Menko Maritim.

“Berbagai landasan hukum international juga nasional telah memberi otoritas tetapi saya duga soal-soal ini diabaikan bahkan tidak diperhatikan,” tandasnya.

Ia mengemukakan, secara hukum international Indonesia telah memiliki kekuatan untuk menjamin kepastian bagi pelaut (seafarer) dan kapalnya.

1. Sejak 1961 Indonesia menjadi Anggota International Maritim Organisations (IMO)
2. International Convention for Safety of Life at Sea (SOLAS)
3. The International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW
4. Maritime Labour Convention (MLC) 2006.

Untuk Indonesia, Pemerintah RI sudah meratifikasi MLC 2006 dan menjadikannya UU RI dengan disahkannya UU nomor 15 tahun 2016.

Berdasarkan fakta bahwa fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah sektor maritim dengan program Poros Maritim Dunia-nya, maka perlindungan terhadap tenaga kerja sektor maritim terutama mereka yang bekerja pada kapal-kapal internasional sangatlah perlu untuk pemantapan, penegakan dan perlundungan pelaut.

Upaya penegakan hak-hak pelaut internasional belum Maksimal diterapkan oleh Pemerintah RI dalam kapasitas sebagai Negara Bendera maupun sebagai Negara Pelabuhan.

Upaya tersebut memerlukan kerja keras Menko Maritim dan Menteri Luar Negeri.
Apalagi soal Tenaga Kerja Pelaut, Keselamatan dan sertifikasi diurus Kementerian Perhubungan berdasarkan Permenhub 40 tahun 2019.

“Oleh karena itu saya mengecam Menko Maritim yang tidak peduli dengan keselamatan Pelaut ( seafarer). Menko Maritim harus bertanggungjawab mengusahakan proses hukum yang adil, ganti rugi yang pantas, dan membuat perjanjian bilateral dengan China,” ungkap natalius Pigai yang juga Aktivis Kemanusiaan. (*/Red)

 

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.