Rabu, 24 April 24

Kecanduan Impor Pangan yang Mematikan

Oleh:  Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

 

“Bayangkan, kalau uang impor produk pangan yang Rp24 triliun dipompakan ke dalam negeri.
Pasti petani dan petambak garam kita akan sejahtera. Sayangnya, uang itu justru mengalir ke
petani negara lain karena impor yang ugal-ugalan,” kata ekonom senior Rizal Ramli, kepada
wartawan di KPK, Selasa pagi (23 Oktober).

Mantan Menko Ekuin dan Menkeu era Presiden Gus Dur ini datang ke Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) untuk melaporkan dugaan tindak korupsi pada kebijakan impor pangan. Ditemani
sejumlah pengacara, dia membawa hasil laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
sejumlah materi lainnya. Di KPK Rizal Ramli diterima Komisioner KPK Basaria Panjaitan, Direktur
Litbang KPK, Direktur Penindakan KPK dan sejumlah staf lain.

Angka Rp24 triliun yang dimaksudkan Rizal Ramli itu adalah devisa yang mengalir ke luar negeri
karena impor beras, gula, dan garam. Jumlah itu belum termasuk nilai impor daging sapi dan
bawang putih. Sejatinya, angka yang disebut lelaki yang sejak mahasiswa dikenal gigih
menyuarakan ekonomi kerakyatan itu sangat konservatif. Jika dihitung ulang, jumlahnya bisa
dua kali kali lipat lebih besar.

Contohnya, impor bawang putih dari Cina yang 556.000 ton pada harga Rp4.500/kg plus ongkos
kirim Rp3.000/kg, maka angkanya mencapai Rp4,17 triliun. Sedangkan devisa yang terpakai
untuk impor beras asal Thailand dan Vietnam sebanyak 2 juta ton, mencapai Rp17,88 triliun.
Begitu juga dengan impor gula sebanyak 1,1 juta ton membuat devisa yang terbang ke luar
negeri sebesar Rp8,66 triliun. Sementara impor daging sapi yang 223.000 ton, nilainya
mencapai Rp14,33 triliun. Dengan demkian, total devisa yang terkuras untuk impor empat
produk pangan tadi mencapai sekitar Rp45 triliun.

Merugikan perekonomian negara
KPK selama ini membidik para koruptor dengan pasal2 ayat (1) UU no. 3/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukumannya pidana penjara dengan penjara
seumur hidup atau paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun. Ancaman lainnya
berupa denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

Badan antirasuah itu dan aparat penegak hukum selama ini fokus pada aspek merugikan
keuangan negara. Sementara aspek merugikan perekonomian negara relatif belum tersentuh.
Padahal dampak yang diakibatkan atas terjadinya tindakan yang merugikan perekonomian
negara jauh lebih besar dibandingkan ‘sekadar’ merugikan keuangan negara.

Dengan meminjam ucapan Rizal Ramli di awal tulisan ini, bahwa kalau uang impor produk
pangan yang Rp24 triliun dipompakan ke dalam negeri, tentu perekonomian nasional jadi
menggeliat. Petani dan petambak garam bisa menikmati hasil panennya dengan harga yang bagus.

Ini tentu akan berdampak pada meningkatnya daya beli. Jangan lupa, konsumsi
masyarakat menyumbang sekitar 63% dari total pertumbuhan ekonomi nasional.

Kebijakan impor ugal-ugalan juga telah menyebabkan rakyat Indonesia membayar produk
pangan jauh lebih mahal dibandingkan yang seharusnya. Pasalnya, sistem kuota impor telah
melahirkan kartel dan mafia impor pangan. Mereka inilah yang mendikte harga hingga meraup
keuntungan jauh di atas batas wajar. Dengan keuntungan yang mencapai ratusan persen itulah,
para mafia dan kartel impor pangan menyogok pejabat terkait sehingga bisnisnya bisa terus
berlangsung.

Kalau pemerintah menghapus sistem kuota impor dan digantikan dengan sistem tarif, tentu
praktik kartel dan mafia impor bisa ditekan sampai tahap minimal. Dengan begitu, petani dan
petambak lokal terlindungi dari serbuan produk impor. Ujung-ujungnya harga produk pangan
dapat lebih murah. Rakyat pun jadi happy.

Kebijakan impor seperti inilah yang diadukan Rizal Ramli dan para pengacaranya ke KPK.
Pengaduan itu berbasis hasil laporan audit BPK tentang perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan tata niaga impor periode 2015 sampai semester pertama 2017. Hasil laporan audit
itu menemukan sejumlah fakta hukum terkait dugaan tindak pidana korupsi.

Kecanduan impor
BPK menemukan sejumlah pelanggaran hukum oleh pihak-pihak terkait karena pelaksanaan
impor tanpa melalui rekomendasi dari pihak terkait. Pelanggaran juga terjadi karena impor
tidak sesuai persyaratan, tanpa berdasarkan rapat koordinasi atau tanpa analisis kebutuhan
yang diperlukan.

“Kami melihat ada fenomena import addictive atau kecanduan impor yang dilakukan sejumlah
oknum pejabat terkait. Orang-orang ini doyan impor, karena menguntungkan mereka dan
mendapatkan manfaat dari perburuan rente. Modusnya, antara lain dengan menciptakan
rekayasa kelangkaan atau artificial scarcity sehingga ada alasan untuk melakukan impor,” papar
Rizal Ramli.

Menjadi petani di negeri ini memang memerlukan daya tahan dan kesabaran ekstra. Petani
nyaris tidak mungkin kaya. Pokok pangkalnya, kebijakan produk pangan dari para pengelola
negeri cenderung tidak berpihak kepada petani.

Bukan itu saja, para pengemban kebijakan di sektor ini juga terkesan sadis. Betapa tidak,
mereka tetap saja ngotot melakukan impor beras, gula, garam, dan bawang justru menjelang
dan saat panen raya. Padahal suara petani yang menolak impor itu sangat nyaring. Ditambah
dengan sikap serupa dari banyak kepala daerah, teriakan itu sudah sangat gemuruh. Tapi entah
bagaimana dan apa sebabnya, Pemerintah bagai buta-tuli. Tetap ngeyel dengan rencana impor
beras tadi.

“Beras saya impor. Enggak usah (perdebatkan), karena itu diskresi saya,” kata Mendag
Enggartiasto Lukito di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (12/1) silam.

Pernyataan Enggar ini jelas menunjukkan sikap degil dan arogan penguasa. Bagaimana mungkin
seorang menteri bisa berkata demikian untuk keputusannya yang menyangkut hajat hidup
begitu banyak orang? Tidakkah dia menyadari, bahwa kecanduan impor yang dideritanya telah
kian memiskinkan petani dan menyusahkan rakyat Indonesia?

Lebih seru lagi, keputusan Mendag yang ngotot impor beras itu ternyata sama sekali tidak
didukung data akurat. Pada Raker dengan Komisi VI DPR, Kamis (18.01) pekan silam, dia
mengaku belum mengantongi data beras secara lengkap. “Masih banyak gudang yang belum
melapor,” ujarnya. Sungguh ironi dan tragedi besar. Ngotot mengimpor beras menjelang panen
raya ternyata hanya berdasarkan dugaan-dugaan.

Kisruh impor pangan sejatinya bisa diatasi, bahkan dicegah, kalau saja Presiden Jokowi
mengambil sikap tegas. Dia harus menentukan di mana posisinya. Bersama rakyat dan petani
Indonesia, atau terus menutup mata (dan bermain mesra?) dengan para pejabat dan
pengusaha penikmat rente? [*]

Jakarta, 23 Oktober 2018

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.