Kamis, 28 Maret 24

Breaking News
  • No items

Ke Langit Tertinggi Melalui Masjid Nabawi

Ke Langit Tertinggi Melalui Masjid Nabawi
* Suasanan belajar membaca Al Qur’an dengan ustad masjid. (foto: penulis)

Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M. Ag, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

 

Judul tulisan ini terilhami buku “Liannaka Allah. Ar Rihlah Ilas Samaa-is Saabi’ah” karya ‘Ali Jabir Al Fayfi. Buku best seller (al aktsar mabii-‘an) itu saya beli di toko sebelah Entry 6, lorong menuju terminal bawah tanah Masjidil Haram. Belinya di Mekah, tetapi baru sempat membukanya di kota Nabi, Madinatul Munawwarah.

Sebelum bicara tentang langit, apalagi yang ketujuh, dan dijamin hanya sebagian kecil dari Anda yang tertarik tentang hal itu, saya ajak Anda bicara soal yang enteng-enteng di sekitar masjid dulu.

Saat saya dan rombongan meninggalkan Mekkah (Jum’at, 08/09) dan berpamitan ke Ka’bah setelah 32 hari bersahabat dengannya. Subuh besoknya kami berangkat ke Madinah. “Ini pak, baju saya basah total,” kata Rizqon, ketua rombongan yang kedinginan di tempat Sa’i ruang ber-AC ketika menunggu teman lain yang sebelumnya semburat berlarian karena hujan deras bercampur batu dalam perjalanan menuju ke Masjidil Haram. “Sekian lho pak, batu-batu yang mengenai kepala saya pada hujan es yang disertai badai tadi,” kata jemaah lainnya sambil menunjukkan ibu jarinya, sebelum memulai tawaf wada’ bersama.

Setelah selesai tawaf, kami bersimpuh di marmer putih searah dengan Multazam untuk mengamini doa pamungkas berpamitan meninggalkan Mekkah. Inilah doa paling mengesankan selama saya di Mekkah, bahkan menghabiskan tissue di saku ketika mengamininya. Lebih-lebih ketika Ustadz itu berdoa, ”Wahai Allah, ampunilah kami yang bertindak tidak sopan selama menjadi tamu-Mu di sini, termasuk berfoto-foto di depan rumah-Mu, atau melangkahi orang yang bersujud, atau kami shalat di tempat sembarangan sehingga mengganggu orang-orang yang bertawaf.”

Suasana belajar tafsir Al Qur’an dengan syekh masjid

Belum sempat mengusap air mata, Ustadz itu melanjutkan doanya yang menambah kami histeris, “Wahai Allah, janganlah perjumpaan kami dengan Ka’bah ini menjadi kesempatan terakhir bagi kami. Tapi jika Engkau menghendaki ini kali terakhir, tak apalah, asalkan Engkau ganti dengan perjumpaan yang lebih indah dengan Nabi SAW di surga bersama ibu-bapak kami, anak cucu kami, dan semua orang yang kami cintai.”

Seorang jemaah berbadan kekar (90 kg) lalu merangkul saya sambil berbisik sesenggukan, ”Pak, saya mengakui, sering tak sopan atau kurang ajar di rumah Allah ini. Doa pamit ini saya rasakan seperti pamit beneran mau mati.” Rangkulan kuat itu menyisakan rasa geli pada pipi saya, karena kumis orang itu tebal dan kaku, bak kumis legendaris Pak Raden.

Tidak seperti di Mekkah yang harus oper bus dua kali menuju Masjidil Haram, di Madinah kami tinggal di hotel yang lebih dekat, Hotel Rawabi Az-Zahra (nomor 310) di jalan As-Salam searah dengan pintu nomor 7 ke Masjid Nabawi. Hanya butuh lima menit jalan kaki. Luar biasa syukur saya, meskipun hotel ini lebih sempit dan bintangnya semakin sedikit. Dalam ruangan sempit hotel itu, terdengar ungkapan yang ditujukan ke istri saya, “Enak, dekat dengan masjid. Sayang ya, rombongan kita tidak satu hotel,” kata ibu Riena, istri Sugeng Soelistyo, pengusaha properti terkenal ketika mencicipi makan malam dari Kementerian Agama RI. Teks di atas kotak nasi yang salah cetak, MADINH 2018 (seharusnya Madinah), tak terbaca para jemaah karena mereka sibuk membagi hadiah yang kedua kali setelah di Mekkah berupa kotak plastik berisi gelas kaca, sendok, gula, coffee creamer, kopi Mesir, teh, kecap, saos dan sebagainya untuk masing-masing jemaah Indonesia.

“Program shalat berjamaah 40 kali (Arba’in) di Masjid Nabawi kita perjuangkan dihitung mulai shalat Ashar ini,” kata Ustadz Mohamad Molik dalam group WA Kloter 61. Hal ini untuk meredam kekecewaan para jemaah karena program Arbai’in yang semula direncanakan mulai Zuhur hari itu tertunda karena keterlambatan bus.

“Kita harus menuntut Maktab jika Arba’in kita kurang,” teriak pehaji yang kurus tapi suaranya melengking di bawah tiang luar masjid dengan payung otomatis yang menjadi ciri khas masjid ini.

“Kok terbalik, justru di Mekkah yang pahalanya seratus kali lipat lebih besar dari Madinah mereka tidak pernah menuntut Arba’in,” heran saya dalam hati. Tapi saya diam saja, dan sesekali menjawab, ”Injih, injih, Abah” karena tujuannya mulia, yaitu menghapus kebiasaan berbohong, sok pamer kabaikan, dan sifat-sifat munafik lainnya melalui Arba’in.

Nah, inilah perbedaan lainnya antara suasana haji di Mekkah dan Madinah. Sejauh yang saya tahu dan berdasar informasi petugas, semua hotel sangat sepi pada waktu-waktu shalat, karena pehaji mewajibkan dirinya untuk shalat berjamaah di Masjid. Sedangkan di Mekkah, banyak pehaji yang shalat berjamaah di hotel masing-masing atau di masjid sekitarnya. Mungkin karena jauh dari masjid atau juga karena tidak diprogram, dan yang terakhir itu sebab paling dominan.

Suasana persiapan berbuka puasa sunah

Ketika shalat Maghrib pertama kali di Masjid yang menyediakan ratusan guru Al-Qur’an dan Syekh hampir di setiap lorong Masjid itu, suara sang Imam yang berdiri di panggung dekat makam Nabi bersaing dengan paduan suara batuk para jamaah. Jauh lebih kuat daripada suara yang sama di Mekkah. Selama shalat, tak ada satu detikpun lewat tanpa suara “gluk, gluk” itu, termasuk batuk saya sendiri. Bagi rombongan kami, mungkin disebabkan kehujanan batu menjelang keberangkatan ke

Madinah, atau karena sebab yang umum, yaitu para pehaji dari Pakistan, Indonesia, India dan Bangladesh rata-rata sudah sebulan lebih di tanah suci dan rata-rata gagal beradaptasi dengan cuaca yang jauh berbeda dengan cuaca di tanah airnya.

“Burung pelatuk terbang di angkasa. Pehaji batuk itu soal biasa,” pantun Agus Radiman, petugas kloter 61 yang juga ahli herbal Tutuh. Pehaji dari tiga negara Asia itulah yang paling banyak memenuhi Masjid Madinah. Sangat sedikit saya jumpai pehaji dari Afrika, China, maupun Turki sebagaimana di Mekkah.

“Oh, pehaji kulit hitam dan Turki baru tumplek blek memenuhi Nabawi setelah kita yang dari Asia ini pulang,” kata ustadz Zainuri, ketua KBIH Al-Wahyu yang datang bersama alumni UINSA yang lain, ustadz Saifuddin Zuhri dan ustadz Muhailil, kira-kira100 meter dari deretan kubah masjid (bukan payung) yang otomatis geser buka-tutup.

Jumlah ustadz dan syekh pengajar Al-Qur’an dan tafsir di Masjid ini jauh lebih banyak daripada di Mekkah. “Guru Al Qur’an dan syekh tafsir itulah yang siap mengajari siapa yang mau belajar setiap Maghrib, Subuh, Zuhur, dan saya sudah pernah mengikutinya, ” kata saya kepada teman sekamar ketika di depan masjid Sayyidina Ali bin Abi Thalib, 50 M dari Masjid Nabawi, tapi terkunci, dan ketika saya intip, sudah tidak difungsikan lagi. Mungkin agar tidak dijadikan tempat pemujaan oleh orang-orang Syiah.

Ada pemandangan lain yang tidak saya jumpai di Masjidil Haram, yaitu lingkaran orang menunggu datangnya Maghrib dengan jamuan roti dan kopi panas di depannya pada hari-hari puasa sunnah, termasuk yang saya lihat hari itu, Senin (10/9). Sponsor jamuan yang ada di beberapa tempat itu bersifat perorangan. Agar dapat peserta berbuka lebih banyak, tentu untuk memperbanyak lipatan pahala, beberapa anak remaja atau kecil dikerahkan untuk “promosi” dengan menarik tangan pehaji agar bergabung dalam jamuan itu. “Persis, tapi tidak seramai buka puasa Ramadan,” kesan pehaji yang pernah umrah Ramadan di masjid yang juga terkenal dengan sebutan Masjid Al Haram ini.

Nah, sekarang saya ajak Anda terbang tinggi meninggalkan Masjid ini. Ya, agar ada pengalaman lain. Ikatkan sabuk pengaman, dan siapkan kantong kecil jika tiba-tiba Anda puyeng dan muntah-muntah!.

Coba Anda baca terlebih dahulu QS. Al Mukmin [40]: 7-9. Dalam ayat itu dijelaskan, ada delapan malaikat paling elit dan paling perkasa yang dipilih Allah untuk memikul Arsy di langit tertinggi sejak penciptaan sampai kiamat. Menurut Ibnu ‘Abbas, yang masjidnya (atau makamnya?) kami kunjungi di Thaif beberapa minggu lalu, kaki malaikat itu terhunjam di dasar bumi dan kepalanya di langit. Mereka paling suci dan perkasa, karena Arsy yang dipikulnya adalah makhluk teragung, dan lebih berat daripada langit dan bumi. Dari sini saja, saya sudah merinding membayangkan penampilan malaikat itu. Merekalah yang terus menerus mendoakan Anda, orang tua, suami/istri dan anak cucu Anda agar terhindar dari dosa dan neraka, serta mendapat rahmat dan surga. Anda tidurpun, mereka tetap mendoakan. Anda melupakan merekapun, mereka tak kecewa, karena mereka tidak gila apresiasi seperti Anda.

Usai membaca ayat itu, dalam ruku’ shalat sunnah, saya mencoba terbang ke atas untuk bersilaturrahim dan berterima kasih atas doa para malaikat untuk saya, istri, dan semua keluarga itu. Ayat di atas adalah satu-satunya firman Allah yang berisi doa pengampunan untuk pasangan hidup. Ada memang doa tentang istri dalam surat Al Furqan ayat 74, tapi bukan doa pengampunan.

Oh ya, mengapa kita terbang mencari malaikat dalam posisi ruku’ dan sujud? Sebab, Nabi mengajarkan doa pada dua posisi itu, _“Subbuuhun qudduus, rabbul malaaikati war ruuh_ (aku bertasbih kepada-Mu, Tuhannya semua malaikat dan Jibril). ]Baca buku 60 Menit Terapi Bahagia, halaman 52,56].

Sayang, belum sempat dekat betul dengan para malaikat itu, azan Subuh dikumandangkan. Walaupun hanya sesederhana dan sesingkat itu, saya sudah gemetar dan bulu-kuduk berdiri merasakan wibawa malaikat. Itu murni petualangan spiritual saya sendiri. “Kok seperti gila sampeyan ini Cak,” mungkin begitu seloroh teman kepada saya. Tidak apalah, kan masih belajar terbang. “Lebih baik waras dikira gila, daripada gila dikira waras.” Hehe…

Masjid ‘Ali bin Abi Thalib dan prasastinya

Apa yang terjadi kemudian? Dalam shalat Subuh itu, dada saya rasanya “mak slep” dingin seperti diusap air Zamzam cold yang tersedia di setiap tiang masjid. Mengapa? Ternyata, dan inilah yang amat mengejutkan, sang Imam membaca ayat tentang delapan malaikat itu dengan nada suara datar, merendah, naik, naik, lalu turun, dan turun lagi, seperti turunnya ruh kita ke lantai masjid kembali.

Setelah sampai di hotel, dalam tayangan televisi dari Masjidil Haram Mekkah, ayat itu juga dibaca oleh Syekh Faris ‘Ibad. “Saya sedang disuruh apa oleh Allah, sehingga selalu berada dalam suasana ayat itu?,” tanya saya dalam hati.

Saya senang memilih shalat di sekitar Raudhah, tempat bersemayamnya Nabi SAW yang diapit dua mertuanya, sekaligus sahabat terbaiknya, Abu Bakar As-Shiddiq r.a dan Umar bin Khattab r.a. Sebab inilah tempat paling mustajab untuk semua doa, dan inilah yang menjadi magnit tertinggi untuk Masjid ini, sebagaimana Ka’bah di Masjidil Haram.

Sebelumnya, saya telah masuk ke dalam Raudhah dan shalat sambil berjalan keluar dari tempat itu, dengan didorong-dorong keluar oleh Satpam, tidak dengan gerakan shalat sempurna, karena tak tega berdesakan dengan orang yang lebih tua dan pasti lebih mulia dari saya. Itupun setelah berdiri menunggu antrean panjang dini hari, 02.30.

Dalam shalat dengan cara itu, saya menyapa Nabi SAW dalam hati, “Salam untukmu wahai Nabi. Maafkan saya shalat dengan cara seperti ini, karena engkau mengajari saya untuk mengalah, bahkan memberi contoh untuk mengutamakan orang lain daripada diri sendiri”. Lalu terlemparlah saya keluar. Di luar Raudhah itulah saya berzikir dan berkata, “Wahai Allah, berikut ini adalah doa yang seharusnya saya baca di dalam Raudhah. Saya yakin Engkau Mengetahui, dan Nabi-Mu maklum mengapa saya baca di sini.” Sinyal antar ruh pasti dapat menerobos betapapun kuat dan tebalnya dinding pembatas dan dari tempat sejauh manapun.

Pada Maghrib hari berikutnya, setelah ngobrol sejenak dengan dua pemuda dari Burma dan Palestina yang nyantri di masjid ini, saya berdiri shalat sunnah. Ketika sampai pada doa tasyahud, “Assalamu’alaina wa’ala ‘ibadillah as-shalihin (salam untuk kami dan semua orang-orang shaleh)” saya lalu belajar lagi berpetualang untuk menemui ruh para nabi, keluarga nabi, sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, dan sahabat-sahabat lainnya yang saya ingat. Wuh, sangat lama, karena saya sebut nama mereka satu persatu sambil mengingat biografi singkat masing-masing. Tak apa berlama-lama, toh waktu Isya’ yang ditunggu masih lama. Mau keluar masjid juga tidak jelas ke mana.

Sayang, putus juga untuk kedua kalinya. Peluncuran ruh pada saat tasyahud itu diskonek, karena azan Isya’ mulai dikumandangkan melalui sound system yang terbaik di dunia selain Masjid Mekkah.

Nah, pada saat shalat Isya’ itu, tiba-tiba mata saya tertuju ke kaligrafi di dinding teratas masjid di belakang Raudhah. Jujur, saya agak melayang, kurang khusyu’ saat itu, karena ayat yang dibaca imam sangat panjang.

Ternyata, semua kaligrafi dalam lingkaran itu adalah nama-nama sahabat nabi yang saya sebut dalam shalat tadi. Saya tak percaya dengan pandangan sekilas dalam shalat, maka saya pastikan kembali usai shalat. Benar, tertulis Abu Bakar, Abu Hurairah, Hasan, Husain, Sa’ad, Sa’id, Thalhah, Zubair, Hamzah, dan banyak lagi. Ajaib, ruh saya tersambung dengan para sahabat, sekalipun hanya melalui nama mereka pada kaligrafi. Ya, namanya belajar terbang, ya lumayanlah sekarang baru bisa terbang ke tembok atas masjid. Siapa tahu, nanti suatu saat keluar dari masjid, dan pelan-pelan secara bertahap sampai ke langit tertinggi.

Ketika hendak mengirim tulisan ini, saya dicegat di depan lift hotel oleh pehaji yang terkenal lucu dan nyentrik dengan sarung, ikat pinggang lebar berwarna-warni, kaos pendek, dan kaca mata hitamnya. “Pak, banjir, banjir air mata saya menangis selama tiga jam “ndoprok” (bersimpuh) di Raudhah sambil bersenandung Shalawat Burdah,” kata Imam Muji Syafei (64 tahun), pensiunan kantor Depkeu itu dengan mata yang masih sembab sambil menunjukkan buku saku “Introspeksi Melalui Burdah Al-Bushiry.” Saya malu, karena saya yang menulis buku itu belum merasakan kedekatan dengan Nabi SAW seperti dia. “Alhamdulilllah dapat inspirasi tulisan berikutnya, Burdah Pembasah Sajadah,” syukur saya dalam hati.

Saya berharap tulisan yang tidak ilmiah ini dapat menyemangati para pehaji untuk memanfaatkan waktu yang singkat di Masjid Nabawi ini untuk lebih dekat secara emosional dengan Nabi SAW, bukan secara fisik dengan makamnya semata. Dan, kedekatan spiritual dengan Rasulullah itulah sesungguhnya oleh-oleh termahal dari ibadah haji dan ziarah Madinah.

 

Sumber: kemenag.go.id

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.