Rabu, 24 April 24

Kasus Poso, Papua Perlu Pendekatan Masyarakat dan Pemerataan Keadilan

Kasus Poso, Papua Perlu Pendekatan Masyarakat dan Pemerataan Keadilan

Jakarta –  Komnas HAM menilai penanganan kasus Poso cenderung menggunakan pendekatan kepolisian itu merupakan sala startegi. Komnas HAM berharap agar pemerintah dalam menangani kasus di Poso menggunakan strategi pendekatan masyarakat dan pemerataan keadilan ekonomi. Apalagi Poso ini tidak bisa dilepaskan dari konflik yang berlatar belakang sentimen agama yang sempat diselesaikan lewat Perjanjian Malino.

“Pendekatan yang dilakukan pemeritah pusat dalam hal penanggulangan terorisme di Poso Sulawesi Tengah kami anggap salah strategi dan salah sararan. Pendekatan keamanan yang dilakukan selama ini terlihat justru menambah radikalisme dan dendam kepada aparat keamanan khsusunya kepada densus 88 dan kepolisian,” ungkap Ketua Komnas HAM Hafid Abbas. Kamis (8/1), dalam konferensi pers Laporan Komnas HAM tentang permasalahan Hak Asasi Manusia Aktual (contemprery) yang masih terjadi 2014.

“Perjanjian Malino itu sesungguhnya tidak benar-benar menyelesaikan masalah. Sebab masih ada pihak-pihak yang belum menerima dan masih menyimpan dendam. Tidak tepat kalau yang tidak puas tadi ketika melakukan kriminal di identikan dengan kelompok teroris atau direbranding terlibat di jaringan ISIS sehingga masuk di penetapan DPO, di culik ataupun ditembak mati. Korban sudah terlalu banyak berjathan disana,” paparnya.

Komnas HAM menilai adanya dominasi satu institusi intelejen Densus 88 saja dalam menangani kasus di Poso yang rumit, sehingga kondisi ini bagian salah satu faktor yang telah menyebabkan jatuhnya korban terlalu banyak. “Sehingga dianggap perlu juga melibatkan lembaga-lembaga lain sebagai bentuk sinergisitas sumber kebenaran suatu informasi,” tandas Hafid.

Begitu juga keadaan kekerasan di Papua, lanjut dia, seharusnya pemerintah lebih sensitif untuk memenuhi kebijakan yang lebih berpihak kepada mereka. Bukan melakukan pendekatan represif yang dilakukan aparat kemanan hingga menyebabkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia. “Kami pikir pendekatan represif tersebut sehingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan yang mengakibatkan jatuhnya korban aparat keamanan maupun masayarakat baik meninggal dunia maupun yang luka-luka,” tuturnya.

Meski sudah diberikan otonomi khusus bagi provinsi Papua, ungkap Hafid, ternyata kebijakan itu kurang menyentuh keadailan bagi masyarakat Papua. Hal ini masih banyaknya ketimpangan yang adal dalam kehidupan mayarakat Papua. Sebut saja kekerasan di Enaratali Panila Papua yang terjadi pada 8 Desember 2014 lalu, telah berujung pada penembakan berasal orang warga sipil dan empat lainnya Yulian Yeimo (16), Simon Degey (17), Alfius Gobay (17), dan Alfius Youw (17) telah dinyatakan tewas.

Komnas HAM meyakini akar permasalahan disebakan penyelesaian kasus yang ada tidak melandasi proses penyelesaian yang fair, adil dan terbuka terhadap pelanggraran HAM di Papua. “Baik korban atau keluarga korban telah terus berupaya memperjuangkan penyelesaian berbagai bentuk pelanggaran guna mendapat keadilan, baik menuntut pelaku serta menuntut adanya ganti rugi yang dialami oleh para korban,” kata Hafid.

Disi lain, lanjutnya, salah satu faktor pemicu disebabkan tidak adanya keseriusan dari pihak pemerintah juga untuk mengusut dan menyelesaikan berbagai permasalahan HAM dimasa lalu terkhusus seperti yang diselesaikan komnas HAM peristiwa Wamena dan Wasior, serta pembentukan pengadilan HAM dan KKR di Papua sebagaimana dimandatkan dalam UU No. 21 Tahun 2001.

Melihat kondisi tersebut, menurut dia, pemerintah dinilai berupaya membangun Papua tapi sesungguhnya tidak membangun Papua. ”Oleh karena itu kami dari Komnas HAM mendesak Pemerintah agar secara sungguh-sungguh memenuhi perjuangan korban untuk mendapatkan keadian dengan melalui berbagai macam cara baik melalui lembag adat, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun ke Komnas Ham dan bahkan sampai pada dunia internasiolan,” tegas Hafid. (Asm)

Related posts