Kamis, 25 April 24

Kasus Ahok, Mendagri Tak Perlu Minta Fatwa ke MA

Kasus Ahok, Mendagri Tak Perlu Minta Fatwa ke MA
* Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Jakarta, Obsessionnews – ‎Menteri Dalam Negeri (Mendagri)  Tjahjo Kumolo berencana melakukan konsultasi dengan Mahkamah Agung (MA) terkait keputusan mengembalikan jabatan Gubernur DKI Jakarta kepada Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Sementara Ahok sudah menjadi terdakwa dalam kasus dugaan penistaan agama.‎

“Kami lebih enak minta ke MA untuk pendapat hukumnya,” kata Tjahjo usai rapat di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan di Jakarta, Selasa (14/2/2017).

Apa lagi yang masih diragukan oleh Tjahjo sehingga berencana melakukan konsultasi ke MA untuk mengatasi polemik ini? Banyak pakar yang mengatakan, keputusannya mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI jelas melanggar Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.‎

Politikus PDI-P ini mengakui keputusannya mengaktifkan Ahok sebagai gubernur menuai polemik‎ dan banyak ditentang masyarakat. Namun, ia mengklaim akan bersikap adil, bahwa ada beberapa kepala daerah meski sudah terdakwa tidak dinonaktifkan.

“Menurut kami ada tafsir-tafsir yang ini saya harus adil, karena kemarin ada gubernur yang terdakwa tidak kami berhentikan juga ada, karena ancamannya di bawah lima tahun,” paparnya.

‎Bunyi pasal 83 sudah jelas, sebagai berikut:

1. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.

3. Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.‎

‎Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, UU mengatakan bahwa kepala daerah yang yang diancam dengan hukuman lima tahun harus diberhentikan sementara. Karena itu, alasan Tjahjo menunggu tuntutan dari jaksa tidak dibenarkan.

“Menurut Undang-undang, Pasal 83 ayat 1 jelas seorang kepala daerah yang menjadi terdakwa itu diberhentikan sementara. Nggak ada pasal lain yang bisa menafikan itu,” kata Mahfud MD di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (9/2/2017).‎

Di pasal tersebut, kata Mahfud, sudah jelas, tidak ada kata atau kalimat yang meminta untuk menunggu tuntutan dari jaksa, tapi ancaman hukuman. “‎Tidak ada instrumen hukum lain yang bisa membenarkan Ahok itu menjadi gubernur kembali tanpa mencabut (pasal) itu. Karena undang-undang jelas menyebutnya bukan tuntutan seperti dikatakan Mendagri. Mendagri katakan menunggu tuntutan, di situ (pasal 83 ayat 1 UU 23 tahun 2014) disebut terdakwa berarti dakwaan kan jelas,”‎ paparnya.

Kalau Mendagri ngotot ingin mengaktifkan Ahok, kata Mahfud,  maka ‎Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus mengeluarkan Perppu. “Kalau memang Ahok ini dipertahankan juga ya cabut dulu pasal itu agar tidak melanggar hukum. Presiden boleh mencabut pasal itu dengan perppu, dengan hak subjektifnya,” tandasnya.

Dia juga menambahkan kalau penggunaan hak subjektif tersebut harus dipertanggungjawabkan secara politik jika ada anggapan bahwa Presiden mengistimewakan Ahok. Karena mengeluarkan Perrpu punya konsekuensi politik. ‎

“Asal mau menanggung seluruh akibat politik dari pencabutan Perppu itu. Itu politik ya, saya memberi jalan yuridisnya. Ada hak subjektif presiden, hak subjektif itu artinya alasan-alasannya ditentukan sendiri. Tapi dipertanggungjawabkan sendiri secara politik pada masa sidang DPR berikutnya,” ujarnya.

Ahok  didakwa Pasal 156 dan 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama dengan hukuman penjara lima tahun dan empat tahun. (Albar)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.