Sabtu, 20 April 24

Kaleidoskop 2016: Penistaan Agama dan Ajaran Sesat Memantik Disintegrasi

Kaleidoskop 2016: Penistaan Agama dan Ajaran Sesat Memantik Disintegrasi
* Aksi unjuk rasa umat Islam yang menghendaki penista agama mendapatkan hukuman setimpal.

Jakarta, Obsessionnews.com – Kekhawatiran masyarakat tanah air atas perkembangan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), membuka kalender tahun kabisat 2016. Aliran yang disebut sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu menyebar ke hampir seluruh daerah di Indonesia.

Jelang pertengahan tahun, kasus ‘lama’ Jemaah Ahmadiyah kembali mengemuka seiring dengan ajaran Syiah yang dianggap meresahkan masyarakat. Lainnya, isu mulai berkembangnya ISIS di tanah air ditandai dengan maraknya simbol-simbol organisasi sesat tersebut.

Menariknya, Sekretaris Umum MUI Jabar, KH Rafani Achyar mengatakan aliran menyimpang di tanah air rata-rata berasal dari Cirebon dan Bogor. Menurutnya, berdasarkan temuan sejak tahun 2000, ada sekitar 144 aliran di Jawa Barat yang dianggap menyimpang atau dicurigai menyimpang oleh MUI.

“Ada 144 aliran yang ditemukan. Ada yang aliran sesat, menyimpang, dicurigai, dan masih dilakukan proses investigasi,” katanya, Senin (1/2/2016).

Nama-nama aliran menyimpang cukup akrab didengar. Yaitu Surga Eden pimpinan Lia Eden, Al-Qiyadah Al-Islamiah pimpinan Musadeq, Milah Ibrahim, Al-Quran Suci, Hidup di Balik Hidup di Cirebon, dan Siliwangi Panjalu di Bogor.

Kasus dugaan penistaan agama yang paling hot adalah dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Pernyataan Ahok yang mengutip QS. Al-Maidah ayat 51 saat berpidato di depan masyarakat Kepulauan Seribu pada 27 September lalu, dinilai menistakan kitab suci umat Islam.

Kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok itu memantik kemarahan umat Islam hingga MUI mengeluarkan fatwa bahwa Ahok telah menistakan agama. Hingga detik ini, kasus Ahok masih dalam proses peradilan dengan mendapat perhatian penuh dari seluruh masyarakat muslim Indonesia.

Terhadap maraknya kasus penistaan agama dan ajaran sesat tersebut, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pernah mengatakan jika para tokoh agama perlu meningkatkan kemampuan untuk mendakwahkan ajarannya ke masyarakat. Hal itu dimaksudkan agar tidak akan ada lagi peluang bagi pihak-pihak lain seperti Gafatar untuk menebarkan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan pokok-pokok ajaran agama yang diakui di Indonesia.

Baik ajaran sesat maupun perilaku penistaan agama, jika tidak disikapi secara benar dan serius, hanya akan memantik disintegrasi. Pemerintah perlu bekerjasama dengan semua pihak untuk membenahi hal tersebut agar tidak semakin berkembang.

Komunitas Gafatar.

Gafatar

Pemberitaan terkait ajaran sesat Gafatar mencuat saat sejumlah orang diidentifikasi menghilang tanpa sebab. Isu merebak jika hilangnya orang-orang dari berbagai daerah itu disebabkan oleh Gafatar yang mengajak semua anggotanya melakukan hijrah ke Indonesia bagian timur.

Di Yogyakarta, dr Rica Tri Handayani dan bayinya menghilang. Rica adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS) RSUP dr Sarjito Yogyakarta. Ada juga nama Erri Indra Kausar (21) mahasiswa semester V Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (ITS PENS) juga sempat menghilang pada Agustus 2015.

Tak hanya itu, nama Silvi Nur Vitriani (20) termasuk salah seorang yang dilaporkan hilang sejak Desember 2015 lalu. Diduga, mahasiswi semester 5 Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo juga bergabung dengan Gafatar.

Anggota Gafatar berasal dari berbagai kalangan, mulai ibu rumah tangga hingga mahasiswa. Gafatar dikabarkan sebagai organisasi radikal karena juga sering melakukan pelatihan fisik di Kaliurang.

Setiap bulannya Gafatar juga mengeluarkan buletin dan tabloid untuk menyebarkan ajarannya yang menjadikan Abraham atau Ibrahim sebagai panutan. Bahkan Gafatar juga ditengarai memiliki sekolah yang bernama Sekolah Berbasis Rumah (SBR) di Yogyakarta yang disinyalirnya sebagai tempat untuk menyebarkan paham ini.

Pada 26 Januari 2016, pimpinan Gafatar yang bernama Mahful M Tumanurung menyatakan jika aliran itu keluar dari Islam dan menganut Millah Ibrahim yang ajarannya menggabungkan Al-Quran dan Bibel.

Keberadaan Gafatar di beberapa daerah mendapat tentangan, baik dari masyarakat maupun pemerintah setempat. Penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri pun kemudian menemukan bukti bahwa organisasi Gafatar mengarah ke aktivitas makar. Bukti-bukti yang dimaksud, yakni dokumen berisi struktur kabinet pemerintahan serta catatan soal ajaran gerakan itu. Diantaranya ada juga fase-fase pembentukan negara Gafatar.

Setidaknya terdapat enam fase pembentukan negara Gafatar. Pertama, fase Sirron atau dakwah terselubung. Kedua, fase Jahron, yakni dakwah terbuka. Ketiga, fase eksodus, yakni perpindahan umat dari domisili awal ke wilayah calon negara. Pada fase eksodus ini umat diminta untuk mempersiapkan logistik sembari berlatih perang.

Keempat, fase Qital, dimana pengikut Gafatar diwajibkan berperang melawan kelompok di luar Gafatar, termasuk berperang melawan bangsa dan tentara Indonesia. Kelima, fase Futuh, yakni kemenangan dengan membentuk sistem pemerintahan versi Gafatar, Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara. Lalu fase terakhir, Madinatul Munawarroh atau fase dimana Gafatar mendapatkan kejayaan.

Atas dugaan perbuatan makar dan penistaan agama itulah Bareskrim menangkap pimpinan Gafatar pada Rabu malam (25/5/2016). Mereka adalah Ahmad Musaddeq, Mahful Muis Tumanurung, dan Andri Cahya. Dari ketiganya, Bareskrim juga menyita sejumlah barang bukti berupa dokumen dan kitab-kitab.

Musaddeq berperan sebagai nabi yang bertugas membaiat orang serta menuntun mereka membacakan syahadat sesuai ajaran Gafatar. Sementara Andri sebagai Presiden Gafatar dan Mahful Muis berperan sebagai wakilnya.

Ahmadiyah dan Syiah

Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia sudah mendapat pertentangan sejak lama. Ajarannya yang dianggap menyimpang dari agama Islam itu mendapat perhatian serius dari pemerintah sehingga terbitnya peraturan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri dalam Negeri) No 3/2008 No Kep 033/a/ja/2008 dan No 199 Tahun 2008. Pemerintah berkilah, peraturan tersebut diterbitkan guna menjaga kerukunan antara umat beragama.

Permasalahan Ahmadiyah sesungguhnya sudah muncul sejak lima tahun setelah kedatangan Ahmadiyah di Indonesia pada sekitar tahun 1926. Sejak saat itu ditengarai terdapat dua golongan Ahmadiyah di tanah air, yakni Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). GAI tidak menganggap bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi sedangkan JAI sebaliknya.

Ajaran Ahmadiyah versi JAI inilah yang dianggap sesat. Kontan, aktivitas mereka pun tidak mendapat tempat di masyarakat. Alhasil, secara massif, masyarakat melakukan pengrusakan terhadap rumah-rumah ibadah Ahmadiyah. Selain itu, warga Ahmadiyah juga dilarang untuk merayakan hari besar keagamaan dan mendapatkan pelayanan kewarganegaraan.

Di Kabupaten Kuningan, misalnya, sebanyak 1772 warga Ahmadiyah tidak bisa mengurus KTP karena ada tekanan dari sejumlah ormas keagamaan kepada pemerintah daerah. Sementara sebuah masjid milik Ahmadiyah di Kelurahan Purworejo, Kecamatan Ringin Arum, Kabupaten Kendal, dirusak oleh sekelompok orang tidak dikenal.

Puncaknya, Jemaah Ahmadiyah di Srimenanti-Sungailiat, Kabupaten Bangka Belitung diusir warga setempat. Pengusiran tersebut dipicu oleh keluarnya surat edaran Bupati yang menyatakan agar warga Ahmadiyah kembali pada Islam atau meninggalkan desanya.

Seperti Ahmadiyah, masyarakat tanah air juga menentang keberadaan para penganut ajaran Syiah. Meski sebenarnya, menurut Ketua MUI bidang Hubungan Luar Negeri, Muhyiddin Junaidi, MUI tidak pernah melarang ajaran Syiah di Indonesia, kecuali menghimbau umat Islam agar meningkatkan kewaspadaan tentang kemungkinan beredarnya kelompok Syiah yang ekstrim.

Muhyiddin mengatakan, MUI pusat hanya menghimbau agar umat Islam meningkatkan kewaspadaan tentang kemungkinan beredarnya kelompok Syiah Ghulat dan Rafidhah yang disebutnya ekstrim.

“Dua sekte Syiah (Ghulat dan Rafidhah) ini menurut pandangan mayoritas umat Islam di dunia memang bertentangan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah, sementara Syiah secara umum, kita mengatakannya sebagai bagian dari Mazhab Islam,” jelas Muhyiddin.

Ia menambahkan, ada kesalahpahaman di kalangan sebagian ulama yang memiliki kecenderungan menggeneralisasi semua Syiah itu sama.

Kurangnya pemahaman tentang Syiah di kalangan masyarakat serta minimnya komunikasi di antara ormas Islam seringkali membuat kesalahpahaman dan konflik terjadi. Kontribusi pemerintah dan ormas dirasakan masih sangat kurang untuk memberikan pemahaman tersebut.

Alhasil, sepanjang 2016 beberapa kali terjadi konflik yang melibatkan Syiah dan Sunni di masyarakat. Pada Selasa (11/10/2016), misalnya, ratusan warga bersama beberapa ormas Islam Kendari, Sulawesi Tenggara, mendatangi lokasi perayaan hari Asy-Syura yang digelar warga Syiah Kendari. Perayaan Asy Syura oleh warga Syiah di Kendari diikuti sekitar 100 orang lebih di Hotel Kubra yang terletak di Jalan Edi Sabara, Kelurahan Lahundape, By Pass Kendari.

Dugaan Penistaan Agama

Pada kurun waktu 3 bulan terakhir umat Islam di tanah air digegerkan berita terkait penistaan agama yang diduga dilakukan Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Cerita dugaan penistaan agama ini berawal dari pernyataan Ahok yang mengutip QS. Al-Maidah ayat 51 saat berpidato di depan masyarakat Kepulauan Seribu pada 27 September silam.

Peristiwa itu diketahui masyarakat saat sebuah tayangan video diunggah melalui media sosial. Hasilnya, umat Islam pun meradang! Sejumlah Ormas Islam melaporkan Ahok kepada pihak kepolisian atas dugaan penistaan agama. Dan sejak saat itulah umat Islam berjihad menuntut keadilan hukum di negeri ini untuk seorang Ahok.

Tak ingin peristiwa itu berkembang ricuh, Ahok pun meminta maaf kepada umat Islam. Namun demikian, gelombang protes umat Islam terus berlanjut. Permintaan maaf Ahok dinilai tak tulus, hanya demi mengamankan citranya di mata masyarakat. Keesokan harinya, MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahok telah menistakan agama.

Menurut MUI, pernyataan Ahok soal kandungan surat Al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Al-Quran. Fatwa MUI tersebut langsung direspon umat Islam. Tiga hari kemudian, ribuan umat Islam pun ‘turun’ ke jalan di depan Balai Kota Jakarta. Pada unjuk rasa yang disebut sebagai Aksi Bela Islam 1 itu, massa mendesak agar Ahok segera dihukum!

Lambannya proses hukum atas kasus tersebut membuat aksi unjuk rasa berlanjut. Pada 4 November, Aksi Bela Islam jilid 2 digelar. Kali ini, jumlah massa pengunjuk rasa lebih besar lagi. Lebih dari 2 juta massa umat Islam dan ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI menyesaki jalan-jalan protokol di sekitar Balai Kota dan Istana Negara. Nyatanya, aksi itu tak hanya dilakukan umat Islam, melainkan juga turut diikuti Ormas Non-Islam. Oleh karenanya, semakin benderang jika tuntutan terhadap Ahok murni persoalan hukum, bukan persoalan Ras maupun agama.

Aksi itu berlanjut dengan gelaran Belas Islam Super Damai jilid 3 pada 2 Desember 2016. Kali ini unjuk rasa melibatkan lebih dari 7 juta massa yang mayoritas adalah umat Islam. Tuntutan pun masih sama: penjarakan Ahok. Pada aksi ini Presiden RI Joko Widodo ikut hadir bersama Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Meneteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin, Menko Polhukam Wiranto, Kapolri Jendral Polisi Tito Karnavian, dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

Namun demikian, kasus tersebut tak juga berakhir. Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, namun tuntutan massa belum terpenuhi karena Ahok masih belum dipenjara.

Massa kembali berunjuk rasa mengawal proses peradilan, sejak sidang perdana pada 13 Desember, lalu sidang lanjutan kedua pada 20 Desember. Bahkan pada sidang lanjutan ketiga esok, Selasa (27/12/2016), ribuan massa kembali turun ke jalan untuk mengawal proses peradilan tersebut.

Melalui kasus Ahok ini terlihat jelas betapa hukum di Indonesia masih sulit diterapkan dengan tegas. Masih ada kompromi-kompromi dari penegak hukum dan segelintir orang yang berkepentingan. Ini semua tentu menjadi pekerjaan rumah yang luar biasa besar dan tengah menumpuk di depan mata. (Fath)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.