Selasa, 23 April 24

Kaleidoskop 2014: Penegakan Hukum Masih Compang-camping

Kaleidoskop 2014: Penegakan Hukum Masih Compang-camping

Kaleidoskop Bidang Hukum 2014:

Penegakan Hukum Sepanjang 2014  Masih Compang-camping

Sebenarnya untuk menciptakan ketertiban masyarakat yang muaranya kepada meningkatnya kesejahteraan rakyat secara menyeluruh, harus dan musti diawali dengan ditegakannya hukum. Pertanyaan dan persoalannya adalah apakah penegakan hukum di Indonesia sudah sesuai harapan kita?

Sampai saat ini, masyarakat masih menganggap penegakan hukum di Indonesia masih compang-camping, masih tebang pilih. Lihat saja beberapa macam kasus yang telah disidangkan selama kurun waktu 2014, vonisnya selalu saja menjadi pergunjingan. Keputusan hakim selalu dianggap tidak adil dan pilih kasih.

Misalnya kasus Anas Urbaningrum mantan Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat yang didakwa korupsi dan pencucian uang yang nilainya miliaran rupiah, ternyata hanya dihukum 8 tahun penjara dan denda cuma Rp 300 juta. Dan jika kita mau menengok ke belakang, misalnya kasus M Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini malah hanya dihukum 4 tahun 10 bulan penjara.

Padahal jumlah korupsi yang dilakukannya tergolong luar biasa. Bandingkan dengan kasus pelecehan seksual di Jakarta International Schol (JIS) yang pelakunya adalah orang kecil, hanya petugas kebersihan. Kelima terdakwa, yakni Afrisca Setyani, Agun Iskandar, Zainal Abidin, Virgiawan Amin, dan Syahrial dihukum cukup berat.

Dipenjara 7-8 tahun
Berat bagi ukuran mereka, karena Afrisca harus dibui selama 8 tahun, sedangkan lainnya yang empat orang divonis 7 tahun. Tidak hanya itu, mereka pun masih dikenakan denda sebesar masing-masing Rp 100 juta. Bandingkan dengan Anas, yang hanya didenda Rp 300 juta. Selain itu, jika kasus Anas dibela mati-matian oleh banyak pihak. Sementara kasus terdakwa pelecehan seksual di JIS vonisnya malah seolah-olah disyukuri dan hanya ditangisi keluarga mereka. Ironis.

Memang benar, bahwa dua kasus yang menjerat mereka sangat berbeda. Anas korupsi, sedang mereka berlima kasus JIS adalah pelecehan seksual.Juga pasal yang dikenakan kepada merekapun pasti berlainan. Namun begitu fakta di lapangan bahwa aparat penegak hukum kita masih tebang pilih, boleh kita telusuri dari hal-hal nyata yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Lihat saja sekarang Pemprov DKI Jakarta melarang sepeda motor melewati kawasan Jalan MH Thamrin dan Jalan Merdeka.

Ini artinya bahwa setiap motor yang lewat jalan tersebut, sejak larangan dikeluarkan, pasti tidak diperbolehkan. Dan jika tetap nekad hampir pasti akan ditilang. Juga lihat saja saat operasi Zebra di Jakarta dan daerah lain di Indonedsia beberapa waktu lalu, berapa ribu kendaraan yang telah berhasil ditilang karena surat-suratnya tidak lengkap, salah jalan dan sebagainya. Pertanyaannya adalah apakah perlakuan yang sama juga dikenakan kepada penggede dan mereka yang berduit?

Pasti ada pengecualian
Jawabnya tentu tidak dan hampir pasti ada pengecualian. Lihat saja iring-iringan kendaraan motor gede, yang kapasitas CC-nya wah, dan yang konon harganya selangit. Tanyakan kepada yang punya apakah mereka memiliki faktur penjualan, dan apakah punya  Surat Bukti Pemilik Kendaraan (BPKB)?  Jawabnya, diduga mereka tidak punya, kalau mengaku ada yang punya patut dipertanyakan memperolehnya darimana. Faktanya?

Meskipun tidak didukung surat-surat komplet, pertanyaannya adalah apakah ketika mereka di jalan ditilang? Tentu saja tidak, malah tidak jarang mereka dikawal bak raja, sehingga tidak jarang mengganggu kendaraan lain. Tidak hanya motor gede atau moge, mobil-mobil mewah semacam Lambrogini dan sejenisnya, juga kabarnya tidak dilengkapi surat-surat yang memadai. Pertanyaannya mengapa ada pengecualian?

Dari jaman VOC sampai jaman pemerintahan manapun pengecualian semacam itu akan selalu ada. Mereka dibedakan penanganannya karena perbedaan kasta. Meskipun masalah kasta hanya kita kenal dalam ajaran agama Hindu. Faktanya, di lapangan pengkastaan tetap masih berlaku. Para pemilik moge dan monil mewah tidak pernah ditilang, malah di jalan mereka dikawal, karena para pemiliknya umumnya penggede dan orang-orang kaya.

Bandingkan dengan pemilik motor biasa, motor bebek dan sejenisnya, umumnya adalah rakyat kecil, wong cilik, dan miskin. Mereka nyaris tidak memiliki nilai tawar yang cukup berart. Nilai tawar mereka hanya muncul cuma lima tahun sekali, dan itu pun hanya sehari saja, yakni saat Pemilihan Umum (Pemilu). Sesudah itu, rakyat kecil, wong cilik sepertinya tidak dibutuhkan lagi.

Terlihat compang-camping
Kondisi pengkastaan sedemikian rupa sehingga tidak heran jika wajah hukum Indonesia jadi terlihat compang-camping. Dan dampaknya bukan tidak ada, rakyat jadi lebih berani melakukan pelanggaran hukum, terutama mereka yang dianggap cukup banyak duwit. Lihat saja kasus penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) yang terjadi di Medan Sumatera Utara, dan di Jakarta Utara, baru-baru ini.

Mereka berani melakukan penganiayaan karena pertama mereka punya duwit. Kedua mereka yakin hukum kita bisa dibeli. Dan ketiga yang dianiaya atau korbannya hanya orang kecil yang dianggap tidak memiliki nilai tawar. Juga beberapa waktu silam di Tangerang, Banten kita pun dibuat terperangah, karena kedapatan puluhan pekerja di bawah umur di pabrik panik yang diperlakukan tidak manusiawi.

Itu semua kita anggap peninggalan pemerintahan masa lalu. Sekarang Indonesia dibawah Presiden Jokowi tentunya kita berharap akan terjadi banyak perubahan sektor hukum. Kita menginginkan wajah hukum Indonesia akan jauh lebih baik dari sebelumnya. Tidak lagi compang-camping, tidak lagi tebang-pilih. Misalnya di laut, tidak hanya satu dua saja kapal-kapal asing maling ikan yang ditenggelamkan, tetapi semuanya perlu dihajar sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya.

Di hutan,  tidak hanya tukang blandong, atau pencuri kayu kecil-kecilan yang ditangkap, namun kita berharap para perusak hutan dengan dalih pembukaan lahan perkebunan perlu ditindak tegas. Di darat, tidak hanya para Bandar narkoba yang harus dihukum mati dan ditolak grasinya. Namun kita inginkan para koruptor juga dihukum setimpal, terutama mereka kalangan oknum anggota dewan dan pejabat.

Di udara pun kita perlu penegakan hukum dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Supaya kita tidak diremehkan Negara tetangga. Jika alasannya karena perlengkapan kita masih kurang, sampaikan masalah itu kepada Pemerintah dan DPR agar mereka mengalokasikan anggaran demi kejayaan Indonesia. Akhirnya semoga di Pemerintahan Jokowi penegakan hukum benar-benar dijalankan. (Arief Turatno, wartawan senior)

 

Related posts