Sabtu, 20 April 24

Kabinet Koalisi PM Israel Terancam Bubar

Kabinet Koalisi PM Israel Terancam Bubar
* Knesset/Parlemen Israel. (Foto: ParsToday)

Seiring dengan pernyataan menteri peperangan Israel yang siap membubarkan Knesset, wilayah pendudukan Palestina dan kabinet koalisi Benjamin Netanyahu kembali mengalami kegagalan beruntun.

Seperti dilaporkan laman i24 News, Benny Gantz, ketua Partai Biru dan Putih di pidatonya seraya menyerang Netanyahu menyatakan, hari Rabu ia menyetujui rencana pembubaran parlemen (Knesset).

Menteri peperangan Israel menegaskan, Netanyahu selama beberapa bulan terakhir berulang kali berjanji meratifikasi anggaran belanja, namun ia sama sekali tidak menjalankan janjinya tersebut.

Sementara itu, Netanyahu beberapa waktu lalu di pidatonya meminta Gantz menolak pembubaran parlemen dan mencegah penyelenggaraan pemilu dini di Israel.

Mickey Levy, anggota Knesset juga menekankan, kesepakatan atas pembubaran parlemen mengindikasikan hal ini bahwa kabinet Israel mencicipi kondisi paling buruk dan sulit untuk mencegah kondisi ini.

Jika Knesset dibubarkan, maka akan digelar pemilu parlemen keempat di Israel dalam kuran waktu kurang dari dua tahun, dan ini merupakan kegagalan paling besar rezim ilegal Tel Aviv.

Eskalasi Friksi di tubuh Kabinet Israel
Friksi internal di tubuh kabinet rezim Zionis Israel dilaporkan terus meningkat.

Israel sejak November 2018 hingga Maret 2020 mengalami kebuntuan politik. Penyelenggaraan tiga pemilu dalam satu tahun tidak perujung pada perolehan suara mayoritas oleh satu kubu politik dan pembentukan kabinet baru Israel.

Akhirnya seiring dengan pandemi Corona, Benjamin Netanyahu, perdana menteri Israel sekaligus ketua Partai Likud mencapai kesepakatan dengan Ketua Partai Biru dan Putih, Benny Gantz terkait posisi perdana menteri bergilir selama 18 bulan dan pembentukan kabinet baru.

Kabinet Israel saat ini sejak terbentuk bulan Mei 2020 mengalami beragam kendala, namun kendala paling penting adalah ketidakpercayaan tinggi dan perpecahan internal. Faktanya, sejak hari pertama pembentukan kabinet, tidak ada kepercayaan yang cukup antara Netanyahu dan Gantz serta ada kekhawatiran Gantz serta sekutunya di Partai Biru dan Putih bahwa Netanyahu tidak akan menyerahkan posisi perdana menteri setelah 18 bulan mengingat ketua Partai Likud ini sangat haus kekuasaan.

Ketidak percayaan ini bahkan semakin bertambah ketika Netanyahu melakukan sejumlah langkah di tubuh kabinet Israel. Anggaran belanja merupakan friksi utama antara Netanyahu dan Gantz yang masih terus berlanjut. Netanahu bahkan di isu penting seperti kesepakatan dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain soal normalisasi hubungan tidak mengutarakannya dengan Gantz dan sekutunya di kabinet. Disebutkan bahwa Netanyahu bahkan tidak memberitahu Gantz soal kunjungannya ke Arab Saudi.

Di kasus friksi terbaru, laman televisi Israel, i24NEWS mengutip sumber terpercaya menyatakan Benny Ganzt, menteri peperangan Israel menentang permintaan Netanyahu terkait bergabungnya sejumlah perwira dan petinggi militer ke delegasi Israel di kunjungan ke Sudan. Gantz menyatakan selama tidak ada kesepakatan dan pengakuan resmi timbal balik, dari sisi keamanan, tidak rasional militer Israel dikirim ke Sudan, namun Netanyahu berencana memanfaatkan isu ini untuk kepentingan politiknya.

Sekaitan dengan ini Netanyahu mengkritik keras Gantz karena menindaklanjuti dan memanfaatkan instansi militer di kasus korupsi terkait pembelian kapal selam di mana perdana menteri Israel didakwa terlibat didalamnya.

Perbedaan dalam kabinet Israel tidak terbatas pada perselisihan antara perdana menteri dan rezim Zionis, tetapi ada laporan baru-baru ini tentang perselisihan antara perdana menteri dan kepala Kepala Staf Gabungan Militer Israel. Benjamin Netanyahu dikatakan tidak mempercayai Aviv Kochavi, Kepala Staf Gabungan Militer Israel, dan tidak peduli dengan pandangan pejabat militer penting ini tentang masalah keamanan, dan tidak ada kerja sama antara kedua belah pihak dalam masalah keamanan sensitif.

Koran Haaretz terkait hal ini menulis, Netanyahu memandang kepala Staf Gabungan Militer sebagai ancaman politik bagi dirinya di masa depan dan menilainya berencana merebut posisi perdana menteri mendatang. Dengan demikian ia berusaha untuk tidak mengatakan apapun yang Kochavi ingin gunakan untuk melawannya di masa depan.

Ketidakpercayaan ini sampai pada batas Netanyahu meski di saat pandemi Corona di bumi Palestina pendudukan tetap menolak memanfaatkan fasilitas dan peralatan militer untuk menanggulangi pandemi ini. Ketika Netanyahu tidak percaya kepada kepala staf gabungan militer dan berusaha membatasinya, Yossi Cohen, direktur Mossad mendapat dukungan perdana menteri dan sepertinya Netanyahu ingin mengadu Cohen dan Kochavi.

Poin terakhir adalah sepertinya dengan berakhirnya masa kepresidenan Donald Trump di Amerika Serikat, dan berkuasanya Joe Biden, posisi Netanyahu sendiri di struktur kekuasaan Israel juga kian lemah. (ParsToday/Red)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.