Selasa, 26 September 23

Kabinet Jokowi Harus Bersih dari Kurcaci Politik

Kabinet Jokowi Harus Bersih dari Kurcaci Politik

Jakarta – Presiden RI terpilih Joko Widodo (Jokowi) menginginkan agar menteri yang duduk di kabinetnya nanti melepas jabatan struktural di partai politik (parpol). Kabinet non struktural partai, dalam arti kalau hanya sebagai kader parpol tapi profesional, boleh saja duduk di kabinet. “Saya pribadi inginnya menteri tidak merangkap di struktur partai. Kader boleh lah. Tentu saja itu dibicarakan ke seluruh ketum partai,” kata Jokowi, Selasa (12/8).

Gagasan Jokowi ini tentu sangat tepat. Akan lebih bagus lagi jika kabinet ramping, tak usah terlalu gemuk. Mungkin cukup 12 hingga 20 anggota kabinet, agar managemen kabinetnya berjalan efektif dan efisien. Yang penting, kabinet harus beranggotakan kaum profesional dan intelektual. Tentu saja, pimpinan parpol harus melepaskan jabatan strukturalnya di parpol bila menjadi menteri. Kabinet pun harus bersih dari kurcaci-kurcaci parpol.

Bahkan, Jokowi menyatakan siapa pun kader parpol politik yang nantinya terpilih sebagai menteri harus menanggalkan atribut partainya. “Kalau saya ingin agar yang menjadi menteri itu lepas dari partai politik,” kata Jokowi usai rapat bersama Tim Transisi Jokowi-JK, Sabtu (8/8). Jokowi telah menyatakan keinginannya agar kabinet bersih dari orang parpol, seperti menegaskan kembali komitmennya saat kampanye Capres. Jokowi pun pernah menyatakan tidak akan ada bagi-bagi kursi dalam penyusunan kabinet. Maklum, koalisi bagi-bagi jatah kursi menteri merupakan politik transaksional.

Sebagai Capres yang diusung PDIP, Nasdem, PKB dan Hanura, Jokowi sejak awal mengaku tetap akan mempertahankan koalisi tanpa bagi-bagi kursi. “Saya orang yang paling bahagia, karena kemurnian kerja sama antar partai tanpa bicara menterinya siapa, cawapresnya siapa, tetap dipertahankan,” tegas Jokowi saat menghadiri deklarasi koalisi partai pendukung Jokowi di kantor DPP PDI Perjuangan, Lenteng Agung, Jakarta, Rabu (14/5/2014) lalu.

Jokowi pun menceritakan, bagaimana ia mulai membangun koalisi tanpa syarat itu dengan menemui Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Tak disangka, setelah bertemu 30 menit, Surya ternyata menyambut positif rencana koalisi itu. “Saya tanya ke Pak Surya, apakah Bapak akan ajukan menteri dan jumlah menteri? Tidak. Apakah Bapak akan mengajukan nama cawapres? Beliau juga bilang tidak. Pak Surya hanya mengatakan, saya dukung apa yang disampaikan oleh Mas Jokowi,” ungkap Jokowi tentang pertemuannya dengan Surya Paloh saat itu.

Berawal dari sini, Jokowi kemudian menjajakan idenya itu ke sejumlah partai. Gayung bersambut ketika ia bertemu Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar. Seperti Surya Paloh, Muhaimin juga tak meminta jatah kursi menteri atau melakukan politik transaksional apapun kepada PDIP dan Jokowi. “Waktu ke Ketua Umum PKB sama. Kita tentukan langkah-langkah, cocok. Seiring bahagia lahir-batin untuk Indonesia dan cocok, sekarang hanya menunggu konsultasi dengan kiai-kiai,” ucap Jokowi.

Menurut Jokowi, koalisi tanpa syarat itu akan memberikan kesempatan kepada pemerintahannya, jika nanti terpilih sebagai presiden, untuk melakukan perubahan hingga Indonesia menjadi lebih sejahtera. Jokowi pun ingin membuktikan, kerja sama antar partai saat pemilu presiden dapat terjadi tanpa harus melakukan politik transaksional.  Ia menyadari bahwa idenya membentuk koalisi tanpa bagi-bagi kursi dicemooh banyak orang. Bahkan dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin. Tapi sekali lagi Jokowi menegaskan, “Itu memungkinkan. Kalau kita punya niat dan kemauan, kerja ke depan untuk bangsa dan rakyat indonesia.”

Kini, Presiden RI terpilih periode 2014-2019 itu kembali mengingatkan sudah ada perjanjian sebelumnya, bahwa koalisi yang dibangun untuk pemenangannya tanpa syarat di kemudian hari. Joko berharap partai pendukungnya tidak meminta jatah menteri kabinet, karena anggota koalisi pendukung Jokowi-JK itu sudah sepakat memberikan dukungan tanpa syarat pembagian kekuasaan. Jokowi mengatakan, dukungan tanpa syarat pembagian kursi di eksekutif itu sudah menjadi komitmen sejak menjalin koalisi. “Dulu sudah saya sampaikan, syaratnya ya itu, tanpa syarat. Sudah jelas toh?” kata Jokowi usai menghadiri peringatan Hari Veteran Nasional yang digelar di Balai Sarbini, Jakarta, Senin (11/8).

Hal ini menanggapi kabar yang menyebut partai pendukungnya meminta jatah menteri. Sebelumnya terungkap, Ketua DPP PKB Abdul Kadir Karding mengakui kalau Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar telah menyiapkan 10 nama kader PKB yang akan diusulkan sebagai calon menteri dalam kabinet Jokowi-JK sebagai Presiden-Wapres terpilih. “Berdasarkan petunjuk Pak Muhaimin, beliau telah menyiapkan 10 nama kader yang akan dicalonkan menjadi menteri. Akan tetapi, kami tidak tahu siapa nama-nama orang tersebut,” ungkap Karding, Minggu (10/8), sembari menambahkan, PKB tidak setuju dengan wacana bahwa seseorang yang di angkat menjadi menteri harus melepas jabatan di parpol. PKB menyebut ide ini sebagai deparpolisasi.

Bahkan, pihak PKB merasa keberatan atas pernyataan Jokowi terkait menteri harus menanggalkan jabatannya di struktur partai politik. Menurutnya, tidak ada aturan yang mengharuskan menteri lepas dari partai politik. “Saya berharap ide-ide yang tidak diatur dalam konstitusi tidak dikembangkan karena akan menjadi kontraproduktif. Kami mendukung jajaran menteri Jokowi harus fokus pada tugasnya, tapi kami menolak ide itu,” kata Wakil Sekjen PKB, Jazilul Fawaid, Minggu (10/8).

PKB Muhaimin Dikecam
Akibat meminta jatah 10 menteri kepada Jokowi, PKB Muhaimin menuai kecaman dari berbagai pihak. Pakar politik dari President Unversity, Prof Dr Muhammad AS Hikam, mengingatkan Jokowi untuk konsisten dengan prinsip ‘koalisi tanpa syarat’ dan tidak usah menghiraukan PKB yang sudah menyiapkan 10 nama kader Partai pimpinan Muhaimin tersebut untuk posisi kabinet. Jika Jokowi konsisten, menurut Hikam, maka Kabinetnya tidak akan lagi dibebani oleh kepentingan parpol, yang umumnya memandang kursi menteri sebagai akses untuk melakukan transaksi bagi tawar-menawar dengan sumber-sumber keuangan dan kekuasaan baik di Pusat maupun Daerah.

Hikam mengkhawatirkan menteri dari parpol atau diusulkan parpol akan lebih fokus dengan pekerjaan terutama pada saat sangat diperlukan atau dalam kondisi yang sedang kritis. “Pengalaman Pak SBY menunjukkan bahwa dua tahun sebelum Pilpres, para menteri dari parpol umumnya sudah malas-malasan dan tidak efektif bekerja karena sudah tidak lagi fokus dengan pekerjaan,” papar Hikam di halaman facebook-nya, Rabu (13/8/2014).

Hikam mengingatkan, perubahan yang digagas Jokowi harus didukung oleh masyarakat dan para pemilihnya. Parpol tidak bisa lagi menganggap kursi menteri sebagai ‘hadiah’, melainkan harus sebagai amanah untuk memperjuangkan kemajuan bangsa dan NKRI. “Kita lihat saja apakah Jokowi akan konsisten dengan prinsipnya atau akan berkompromi dengan PKB Muhaimin,” tegas Mantan Menteri Riset dan Teknologi era Presiden Gus Dur ini.

Kalaupun Muhaimin mengklaim atasnama pihak NU yang meminta jatah kabinet, itupun terbantahkan. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sendiri mendukung sikap Jokowi yang ingin para menterinya harus melepas jabatan di parpol. Menurut Wakil  Sekjen PBNU, Masduki Baidlawi, langkah baik Jokowi itu untuk membangun pemerintahan yang baik melalui pembentukan zaken kabinet atau kabinet ahli, dengan mengambil kader-kader parpol yang bersedia melepaskan jabatannya di parpol. Ia mengaku, pihaknya tidak kecewa dengan rencana tersebut karena kepentingan bangsa ke depan jauh lebih penting daripada kepentingan parpol. “Demi kebaikan bangsa melalui pemerintah pemerintahan yang baik, saya kira kami (NU) tidak ada yang merasa kecewa. Justru kami mendukung langkah itu,” tegas Wasekjen PBNU, Rabu (13/5).

Seruan Jokowi bahwa menteri di kabinetnya yang berasal dari parpol harus mencopot jabatan di partai didukung banyak kalangan. Pengamat politik CSIS, J Kristiadi mendukung penuh pandangan Jokowi itu, apalagi menteri tersebut menjabat Ketua Umum Partai. “Saya sangat mendukung, jangan ada lagi Ketua Umum Partai jadi menteri,” kata Kristiadi, Minggu (9/8). Menurut Kristiadi, kabinet mendatang dibutuhkan sosok yang murni berkeja untuk kepentingan pemerintah dan rakyat. Jika masih mengurus partai apalagi menjabat ketua umum, sang menteri akan banyak tersandera. “Sekarang itu coba lah diubah, jatah ketua umum partai itu untuk presiden. Tak pantas Ketua Umum incar posisi menteri lagi. Lebih pas Ketum jadi Presiden,” tandasnya.

Pengamat Politik UI Prof M Budyatna menilai, usulan PKB kepada Jokowi  untuk memasukkan 10 kadernya sebagai menteri, jangan digubris. Pasalnya, kemenangan Jokowi tidak ada kaitannya dengan bergabungnya PKB dalam koalisi, karena tanpa PKB pun Jokowi bisa memenangkan Pilpres 2014. “Itu  usulan yang sama sekali tidak perlu diindahkan. Memangnya PKB sudah berbuat apa sampai berani meminta jatah 10 mentri? Tanpa PKB pun Jokowi bisa menang kok,” tegas Budyatna, Rabu (6/8).

Ia pun menyarankan Jokowi untuk tidak mengakomodir orang-orang yang sudah tersangkut dalam kasus-kasus korupsi selama karena hanya akan menjadi beban bagi roda pemerintahannya nanti dan akan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan kepadanya. Pemerintahan mendatang yang dipimpin  Jokowi adalah pemerintahan rakyat sehingga pilihan menteri pun harus menjadi pilihan rakyat. Jokowi harus  benar-benar memeriksa latar belakang para menterinya berdasarkan masukan-masukan dari masyarakat.

“Yah seperti Muhaimin dan Helmi  Faisal yang dari PKB itu kan dari pemerintahan sekarang juga sudah bermasalah dengan kasus korupsi, juga Marwan  Jafar yang plagiat itu, jangan lagi mereka dibawa dalam roda pemerintahan meski mereka adalah kader anggota partai koalisi. Jokowi harus bisa  menolak mereka karena kalau mereka dimasukkan akan merepotkan. Begitu juga dengan kader-kader PDIP yang mungkin dicalonkan, kalau bermasalah yah harus  ditolak. Mereka yang bermasalah ini seharusnya mundur saja  dan tidak usah memaksa jadi menteri,” bebernya.

Menurut Budyatna, Jokowi harus belajar dari pengalamannya menjadi  gubernur DKI karena salah menempatkan orang yang bersamalah seperti Mantan Kepala Dinas Perhubungan, dirinya pun  disangkut-sangkutnya dengan kasus korupsi pengadaan busway bekas berkarat. ”Itu mantan Kadishub, Udar Pristono kan jadi beban dia. Kasishub yang korupsi, dia ikut kena getahnya. Jangan sampai itu terulang juga hanya karena mau mengakomodir para pendukung yang bermasalah,” ungkapnya pula.

Jokowi diharapkan juga tidak  mengambil ketua-ketua umum partai menjadi menteri-menterinya karena nanti kementerian hanya akan dijadikan lumbung uang bagi partai politik dan kegiatan politik menteri-menteri tersebut. Masyarakat, menurutnya, akan mengawal secara aktif kinerja para menteri sehingga diharapkan tidak ada lagi menteri menggunakan lembaga yang dipimpinnya sebagai mesin pencari uang bagi kegiatan politiknya.

“Kita kan sudah lihat ketua umum yang jadi menteri menjadikan kementeriannya  menjadi ATM, makanya jangan diambil ketua-ketua umum partai itu karena akan jadi masalah juga buat Jokowi nantinya. Harusnya bisa mencontoh Surya Paloh dan Megawati yang tidak mau menjadi menteri. Jokowi dengan demikian menjadi tenang menjalankan tugas sebagai presiden tanpa harus berpikir ikut-ikutan menjadi ketua umum seperti yang dilakukan SBY sekarang. Politik pun menjadi lebih sehat,” tuturnya.

Sudah menjadi rahasia umum, menteri yang merangkap menjadi pimpinan parpol cenderung lebih konsentrasi untuk mengurusi partainya ketimbang memikirkan kepentingan rakyatnya. Mengingat pula, selama ini sudah banyak pimpinan partai yang bermasalah dan diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tersandung kasus korupsi. Akibatnya, waktu mereka akan tersita dan dihabiskan hanya untuk menyiapkan diri dari bidikan KPK.

Sebagai contoh, ketua umum PPP Suryadharma Ali tersita waktunya akibat sebagai Menteri Agama yang diperiksa dan ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar selaku Menteri Tenaga Kerja yang diperiksa KPK terkait keterlibatannya dalam dugaan suap di Kementeriannya, proyek Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID). Belum lagi dugaan keterlibatan Muhaimin dalam kasus ‘kardus durian’.

Lebih fatal lagi, Presiden PKS saat itu Luthfi Hasan Ishaaq yang ditahan KPK dan akhirnya divonis 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider kurungan 1 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Oleh karena itu, Jokowi harus waspada jika mengambil menteri yang merangkap menjadi pimpinan partai. Sebab, sudah menjadi rahasia umum, kalau kementerian bisa dimanfaatkan sebagai ATM mesin uang dalam memenuhi dana partai serta dijadikan lahan memberi proyek bagi kader partai di daerah-daerah maupun di pusat.

Jangan Bebani Presiden
Jokowi yakin kerja sama politik atau yang lazim disebut koalisi tanpa syarat yang diusungnya, tidak membebaninya kelak jika dia terpilih menjadi presiden.  Politisi PDIP ini menyatakan ingin memperkuat sistem presidensial. Maklum, setelah 16 tahun reformasi, praktik ‘dagang sapi’ membuat Indonesia semakin terpuruk. Buat para elit,  berkuasa berarti menumpuk dan menggelembungkan pundi-pundi yang digunakan untuk kembali melanggengkan kekuasaan. Bukan memikirkan dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Makanya apabila tidak hati-hati, Jokowi bisa mengulangi kesalahan SBY dalam menyusun kabinet. Di tengah lingkaran para penumpang gelap, Jokowi tidak mustahil bakal ‘dipaksa’ setuju dengan praktik ‘dagang sapi’ yang jadi tradisi kekuasaan di sini.

Menurut ekonom senior Rizal Ramli, cuma ada dua pilihan bagi Jokowi. Pertama, bagi-bagi kekuatan dengan elit. Pilihan ini membawa konsekuensi rakyat kecewa karena tidak akan pernah ada perubahan. Kedua, berkoalisi dengan rakyat dan meninggalkan elit negeri ini. Seharusnya, Jokowi memilih berkoalisi dengan rakyat. Dengan begitu dia bisa melawan dominasi serta hegemoni para elit politik dan ekonomi. Caranya,  pertama, jangan masukkan penganut dan pejuang mazhab neolib ke dalam kabinet. Kedua, buat kebijakan di bidang ekonomi yang berdasar konstitusi dan berpihak kepada rakyat.

Penyebab utama timpangnya kesejahteraan rakyat Indonesia adalah karena suburnya ekonomi rente. Kebijakan kuota impor adalah lahan subur bagi lahirnya berbagai mafia. Ada mafia migas, mafia gula, kedelai, daging, migas, dan lainnya. Kalau kebijakan ini dihapus dan diganti dengan sistem tarif, maka ekonomi berkeadilan akan terwujud. Jika langkah ini dilakukan, sudah bisa dipastikan Jokowi akan (kembali) mendulang simpati dan dukungan rakyat. Betapa tidak, harga berbagai kebutuhan yang selama ini dikuasai kartel akan turun dengan signifikan. Gula bisa anjlok hingga 70%, daging melorot sampai 80%, dan kedelai turun sekitar 30%.

“Dan yang tidak kalah kerennya, dengan memberantas mafia migas, pemerintah tidak harus menaikkan harga minyak dengan dalih mengurangi subsidi dan mengamankan APBN. Pembohongan publik atas nama subsidi BBM sudah semestinya dihentikan,” ungkap  Direktur Program Center for Economic and Democracy Studies (CEDeS) Edy Mulyadi.

Lebih jauh lagi, Prof Budyatna menyarankan Jokowi nanti ketika kabinet sudah berjalan untuk tidak segan-segan mengganti  para menterinya yang hanya  duduk di kursi, tandatangan dan terima setoran saja, tanpa mau turun ke bawah untuk mendengar langsung permasalahan rakyat dan kebutuhan rakyat. ”Kalau ada menteri tidak pernah turun ke bawah melihat kebutuhan dan kepentingan rakyat, maka ganti saja. Jangan lagi ada menteri berkunjung ke daerah hanya  menemui bupati, walikota atau gubernur saja!” seru pengamat politik UI.

Terakhir, lanjutnya, Jokowi harus berani mengedepankan kepentingan rakyat meski harus berlawanan dengan DPR sekalipun. Karena dirinya yakin dengan dukungan rakyat jika Jokowi dan para menterinya berjuang untuk rakyat, maka dukungan akan diberikan oleh rakyat sepenuhnya. ”Rakyat akan menyerbu DPR kalau Jokowi yang berjuang untuk rakyat dipersulit, demikian  juga sebaliknya kalau Jokowi ngaco, maka rakyat akan menyerbu Istana,” tuturnya mengingatkan.  (Ars)

 

Related posts